Bolanafo dan Perempuan Nias

Thursday, February 4, 2010
By borokoa

Oleh: Esther GN Telaumbanua*

Selain laut dan alamnya yang indah, Nias dikenal dengan kekayaan budaya dan tradisi yang bernilai sejarah, dan berbeda dengan daerah lain, diantaranya peninggalan budaya megalitikum dan tradisi lompat batu (hombo batu), arsitektur rumah adat Nias, Fatele (tarian perang) yang prestisius, berbagai kreatifitas senibudaya, berbagai keunikan living tradition lainnya.

Inilah yang menjadi daya tarik Nias hingga sekarang. Peninggalan budaya leluhur ini masih nyata hingga saat ini tersebar di seluruh wialayah dan menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan ono niha. Omo hada (rumah adat) Nias yang berusia ratusan tahun merupakan salah satu world’s heritage. Rumah adat Nias dengan arsitektur khas ini disebut-sebut sebagai konstruksi rumah paling handal menghadapi bencana. Ironisnya, tingkat kesejahteraan masyarakatnya tidak selaras dengan kekayaan alam dan heritage yang dimilikinya.

Bencana tsunami (2004) dan gempa bumi berskala besar (2005) menempatkan Nias jadi pusat perhatian nasional dan dunia. Selama masa rehabilitasi berbagai program pembangunan dilakukan. Banyaknya kunjungan lembaga dan wisatawan dari berbagai negara telah mempromosikan Nias secara tidak langsung. Bagai kurva bergerak dinamis mengarah ke atas, demikianlah aktivitas kehidupan Nias saat itu. Tetapi lima tahun pasca bencana terlalui, kenyataannya perekonomian Nias belum bisa terdongkrak. Seiring dengan perhatian dan kunjungan pihak luar yang perlahan berkurang, kehidupan Nias kembali bergerak lamban. Bahkan saat ini berbagai usaha ekonominya termasuk kepariwisataannya mengalami kelesuan. Diukur dari tingkat tingkat hunian penginapan rata-rata di Nias, terjadi penurunan. Hal ini menyebabkan usaha jasa wisata dan kegiatan ekonomi di Nias menjadi lesu, fasilitasi yang ada tidak dapat terpelihara apalagi ditingkatkan, dan sama sekali belum dapat memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakatnya. Realitas ini mendorong perlunya terobosan baru untuk menggeliatkan kehidupan Nias.

Bolanafo, sebuah kearifan
Salah satu tradisi Ono Niha (orang Nias) yang masih hidup dan tetap dipertahankan sampai sekarang yaitu Bolanafo. Bolanafo, terdiri dari dua suku kata yaitu bola dan afo. Bola identik dengan pengertian tempat, sedangkan afo adalah lima ramuan dari tawuo (daun sirih), betua (kapur), gambe (daun gambir), bago (tembakau), dan fino (buah pinang).

Kelima unsur ramuan afo dihimpun dan disusun dengan rapi di dalam wadah (bola), yang secara utuh disebut bolanafo (tempat sirih). Bahan baku anyaman bolanafo terbuat dari sejenis rumput rawa-rawa Keleömö (Eleocharis dulcis) yang dikeringkan dan dipipihkan, lalu diberi pewarna dan dianyam. Proses pengeringan itu sendiri memakan waktu karena sudah pasti sangat tergantung pada kondisi cuaca, sehingga saat ini banyak yang menggunakan cara baru walau tetap masih dalam teknologi yang sederhana. Sehingga, tidak mengherankan membuat sebuah bolanafo ukuran standar 30 x 35 cm, memerlukan waktu 1-2 minggu. Bagian dalamnya terbuat dari daun tanaman pandan berduri, sinasa. Kedua bahan baku utama ini merupakan tanaman lokal Nias yang saat ini sudah semakin langka. Lingkaran bagian mulut anyaman bolanafo dibalut kain berwarna merah. Motif setiap ornamen bolanafo sangat unik dan indah dengan dominasi warna merah berkombinasi warna-warna alam yang cerah. Kaum pengrajin bolanafo tradisionil umumnya menggunakan pewarna berbahan baku alami, yang diambil dari buah, akar-akar pohon, dan dedaunan misalnya buah pohon sianuza digunakan untuk pewarna merah. Terutama saat ini, dengan bahan baku yang sudah mulai sulit ditemukan, untuk pewarna lain para pengrajin mencampurnya dengan pewarna buatan atau kimia.

Diperkirakan ada ratusan ragam hias bolanafo terdapat diseluruh kepulauan Nias dengan berbagai motif yang sangat menarik dan berbeda. Setiap motif bolanafo mempunyai juga makna dan arti khusus selaras dengan namanya. Misalnya, dikenal motif Ni’ohulayo yang disebut bola Nina/bola dandrösa secara khusus dipersembahkan kepada ibu pengantin perempuan dalam pesta pernikahan sebagai penghargaan dan penghormatan tertinggi sekaligus untuk mengambil hati seorang ibu karena dia yang merawat dan membesarkan anak perempuannya dari kecil hingga saat menikah. Ada motif yang kemungkinan besar terinspirasi dari keindahan taburan bintang kecil dan bintang yang besar maka disebut bolanafo ni’odöfi dan bolanafo ni’omadala. Ada yang warnanya dominan ungu, mengingatkan warna ungu tanaman sayuran terung Nias. Ada juga bermotif meliuk-liuk menggambarkan daun pakis yang tumbuh banyak di Nias atau bercorak hola-hola galitö (lidah api yang sedang membara) seperti motif yang terdapat pada mahkota pengantin pria. Jadi, motifnya sangat kaya dan penamaannya unik sekali karena berkaitan dengan alam dan cerita kehidupan masyarakat Nias itu sendiri.

Tentang variasi corak yang ada, ada yang menyebutkan sebagai modifikasi atau percampuran dari bentuk motif dasar dari Bolanafo yang diwarnai dengan situasi daerahnya. Disebutkan motif dasar itu adalah Ni’otarawa (motif terawang), motif semi Ni’otarawa (semi terawang), dan yang polos. Apakah ini memang motif dasar utama di seluruh daerah di kepulauan Nias, ataukah dikarenakan motif dasar itu selalu ada dalam setiap ragam hias yang ada, penulis tidak bisa menyatakannya karena belum ada sumber otentik atau penelitian tentang ini secara khusus. Banyak yang menyebut Ni’ohulayo (bolanafo ibu) sebagai ragam hias karena motifnya merupakan percampuan, tapi mungkin karena Bolanafo jenis ini yang paling sering digunakan maka ada juga yang menyebutnya sebagai motif dasar. Sungguh sangat dirasa perlu untuk menelusurinya lebih lanjut.

Dalam ritual adat Nias, penggunaan motif Bolanafo selaras dengan status sosial penggunanya dan fungsinya. Ni’otarawa digunakan oleh para balugu atau yang berstatus bangsawan, yang semi terawang dan Ni’ohulayo digunakan oleh para banua atau masyarakat umum, dan yang motif polos konon digunakan oleh masyarakat dengan status sosial paling bawah atau sawuyu (kaum budak). Dalam keseharian, motif polos ini banyak digunakan umum untuk tempat sirih masyarakat Nias yang suka menyirih. Jadi, selain motif ragam hias, Bolanafo memiliki perbedaan fungsi dan bentuk dalam penggunaannya.

Siapa sesungguhnya yang memberi nama terhadap sebuah karya Bolanfo, dan bagaimana prosesnya, penulis belum menemukan catatan yang cukup tentang hal ini. Apakah sang perangrajin yang umumnya perempuan (ibu) Nias langsung memberi nama, melalui tokoh adat atau masyarakat penggunanya. Yang pasti nama itu sudah digunakan sejak dulu sampai sekarang. Menarik untuk diketahui sebab Bolanafo sesungguhnya bukan hanya sebuah karya seni, tetapi berkaitan erat dengan ritual dan proses budaya Nias. Disamping itu, untuk mengetahui sejauh mana posisi dan peran sang pembuat bolanafo memiliki arti dalam penciptaan sebuah kreatifitas budaya semacam Bolanafo ini. Kembali ke soal penamaan, selain fungsi utamanya, bisa jadi ini ini salah satu dari kearifan lokal masyarakat Nias untuk merekam peristiwa kehidupan, menyatakan penghargaan atas ciptaan, dan sebuah proses dokumentasi yang tidak dalam tulisan. Nias tidak memiliki aksara lokal dan hanya mengenal tradisi lisan yang dikenal dengan hoho (syair). Sama seperti relief-relief pada rumah adat yang mempunyai makna dan pesan, maka demikianlah corak pada bolanafo.

Sejarah yang tersembunyi
Makan sirih merupakan kebiasaan orang Nias. Selain untuk ramuan kunyahan, sirih memiliki arti khusus dalam tradisi Nias. Fame’e afo atau menyuguhkan sirih adalah sebuah tradisi penyambutan dan penghormatan tamu. Para ina (ibu) meramu sirih lalu menata kedalam bolanafo dan disuguhkan. Cara menyuguhkan kepada tamu juga dengan aturan tertentu dengan bersujud dan biasanya diawali dengan memberi salam penghormatan yang disebut Fangowai. Makan sirih mempunyai makna simbolik yang dalam. Penyuguhan dan makan sirih bersama disimbolkan sebagai upaya menyatukan pemikiran yang berbeda, merajut perpecahan dan membangun harapan bersama. Oleh sebab itu, makan sirih merupakan aktivitas awal dalam setiap pertemuan adat, keluarga, dan acara besar masyarakat Nias. Bila semua dapat duduk bersama makan sirih, maka dapatlah dikatakan bahwa sudah saling menghormati, menerima dan memahami, sehingga pembicaraan atau perhelatan yang menjadi inti pertemuan bisa dilakukan. Ini sebuah kearifan yang sangat bernilai.

Menganyam wadah atau Bolanafo dilakukan oleh pengrajin tradisionil Nias yang umumnya adalah para perempuan dan ibu. Pengrajin tradisionil bolanafo masih terdapat di desa-desa pedalaman Nias dalam jumlah sedikit dan mereka yang bertalenta itu merupakan ibu-ibu tua yang sudah mendekati usia uzur dengan penglihatan yang kurang baik. Kehidupan mereka sangat sederhana dan rata-rata berpendidikan rendah bahkan umumnya tidak mampu berbahasa Indonesia. Mereka tidak menyadari dibalik kesederhanaan itu ada karunia talenta dan jiwa seni yang sangat mengagumkan dari Pencipta yaitu ketrampilan membuat bolanafo. Keindahan bolanafo merupakan ekspresi dari perpaduan keagungan dan kekuatan perempuan Nias. Perpaduan sifat lemah-lembut, kesabaran, ketabahan, rela berkorban, loyalitas, disempurnakan dengan etos kerja, ketekunan, dayakreasi yang imajinatif, dan sikap gigih pantang menyerah.

Kapan dimulainya tradisi bolanafo ini belum ada dokumen sejarah otentik yang menyebutkan, tapi kalau ditelusuri lebih jauh, dalam mite tentang asal usul Ono Niha yang dipercayai secara kolektif oleh masyarakat Nias disebutkan bahwa orang Nias diturunkan ke Teteholiana’a (lokasi yang dipercaya di tengah pulau Nias) dari langit oleh Pencipta secara bijaksana dengan dilengkapi böwö atau adat istiadat dan perlengkapannya yaitu bolanafo dengan unsurnya tadi. Jadi, mungkin dapat dikatakan umur tradisi bolanafo ini adalah sepanjang sejarah kehidupan Nias, dan selama itulah para pengrajin perempuan Nias telah melakukan aktivitas menganyam bolanafo. Bagian ini sering kurang diperhatikan dan bahkan terlupakan bahwa ada peran nyata dan kapasitas perempuan Nias yang tidak pernah disorot dan dihargai. Ia menjadi sejarah yang tersembunyi. Peran signifikan dan prestasi sosok perempuan Nias ini, nyaris tidak terdokumentasi sebagai bagian yang utuh dalam sejarah Nias. Ada banyak tulisan tentang Nias dan sejarahnya tetapi tentang peran perempuan Nias belum diangkat seperti mengangkat peran dan posisi kaum prianya. Posisinya lebih banyak disorot sebagai objek bukan sebagai subjek. Padahal, melalui Bolanafo ini dapat dilihat perempuan Nias memiliki peran yang nyata dan signifikan. Dari sini, semoga hal ini semakin mendorong semua pihak untuk menelusuri kembali peran-peran perempuan Nias bagi kehidupan Nias yang masih tersembunyi. Diharapkan hal ini dapat merobah cara pandang yang lebih terbuka, dan mendorong semangat perempuan Nias untuk dapat lebih mengaktualisasikan diri.

Kegiatan menganyam bolanafo saat ini hampir punah walau tradisi fame’e afo tetap berlangsung. Pekerjaan menganyam dinilai kurang memberi manfaat ekonomi secara cepat. Bahan bakunya sudah mulai sulit didapat karena tidak ditanam secara khusus. Bolanafo anyaman menjadi barang langka, harus memesan terlebih dahulu bila meemrlukannya. Penghayatan terhadap nilai tradisi bolanafo mulai kurang sehingga aktifitas dilakukan seadanya dengan bolanafo dari kain. Diperlukan upaya menyelamatkan karya seni yang bernilai tinggi ini karena suatu saat dapat hilang dan tidak mampu digali kembali. Nilai bolanafo dapat diangkat dari berbagai sisi baik sebagai sebagai barang seni, sebagai piranti budaya, sebagai warisan leluhur yang memberikan kebanggaan tersendiri (proud dan pride) dan sebagai produk ekonomi yang bermanfaat bagi pembuatnya serta daerah Nias.

Potensi lokal ekonomi kreatif
Memelihara warisan budaya yang positif termasuk kearifan fame’e afo sangat berarti dalam pembangunan yang berbasis masyarakat, sekaligus mempertahankan tatanan budaya yang positif dan penghargaan terhadap jatidiri Ono Niha. Generasi masa kini Nias umumnya sudah kurang mengetahui fungsi dan makna bolanafo, macam ragam hiasnya, dan cara membuatnya. Hal ini karena terputusnya komunikasi antar generasi dan tidak adanya kesinambungan terhadap aktifitas kreatif ini. Karena itu perlu upaya untuk merevitalisasinya.

Bolanafo adalah sebuah karya seni, sebuah kreatifitas yang berbasis pada kearifan lokal. Sebagai sebuah produk seni, Bolanfo belum banyak dikenal oleh masyarakat di luat Nias. Diperlukan sebuah strategi promosi yang tepat untuk mengangkat bolanafo sebagi produk ekonomi kreatif berdaya saing dan memberi manfaat ekonomis. Strategi itu menyeluruh meliputi pengembangan sektor hulu sampai ke sektor hilir dimulai dari pengrajin, bahan baku, peningkatan produktifitas dan perluasan produk, usaha, sampai pemantapan citra sebagai produk berdaya saing. Pemberdayaan pengrajin dilakukan untuk meningkatkan kapasitasnya sebagi pekerja kreatif yang berdayakreasi, produktif dan inovatif.

Pengembangan yang optimal harus didukung dengan membangun iklim yang kondusif agar terbangun usaha atau bisnis produktif bolanafo memasuki pasar industri kreatif. Disini diperlukan kerjasama dan sinergitas dari pemda, masyarakat dan pengusaha/swasta. Mempromosi Bolanafo sangat potensil mendukung sektor-sektor ekonomi terkait terutama usaha kerajinan dan kepariwisataan Nias yang memperluas lapangan pekerjaan dan kelak bermuara pada peningkatan perkonomian Nias. Ditengah berbagai keterbatasan pemerintah daerah, hal ini juga berpotensi menjadi alternatif sumber pendanaan. Di tingkat masyarakat, ini diharapkan membangun kesadaran masyarakat Nias akan potensi diri yang dimilikinya dan kebanggaan atas karyanya. Upaya promosi Bolanfo juga mendorong semua pihak melakukan eksplorasi potensi daerah lainnya secara bersama-sama untuk tujuan pertumbuhan daerah. Penulisan ini juga dimaksudkan menjadi bagian kecil dari upaya itu. Ditengah keterbataan pengetahuan tentang bolanfo, kiranya akan mendorong berbagai pihak dapat melengkapi dan menyempurnakannya, hingga kelak semakin bolanafo kembali secara utuh, baik dan benar, terposisikan dalam kehidupan Nias dalam berbagai dimensi baru dan yang bermanfaat mengatasi berbagai ketertinggalan yang ada.

Bolanafo adalah simbol kreatifitas perempuan Nias dan penghargaan terhadap ciptaan. Bayangkan, bahkan sebelum Michael Porter merumuskan dan memperkenalkan kerangka rantai-nilai (value chain) tanpa disadari para ibu (perempuan) di Nias telah menggagas rantai-nilai dari rumput rawa-rawa kelöamö sampai ke konsumen akhir dalam bentuk Bolanafo. Karya cipta ini perlu dilindungi, dihargai, dan dikembangkan agar pelestarian rantai-nilai yang telah digagas tidak sirna begitu saja.

Melalui Bolanafo pula para ina (ibu) dan perempuan Nias dapat mengaktualisasikan diri dan meningkatkan ketrampilannya guna mendukung ekonomi keluarga. Bolanafo adalah warisan budaya, tentunya ini juga merupakan bagian dari kampanye besar pelestarian pusaka (heritage) secara nasional dan bahkan internasional. Bolanfo adalah dari, oleh dan untuk Ono Niha. Ya’ahowu!

* Penulis adalah Ketua Yayasan Tatuhini Nias Bangkit (YTNB)

21 Responses to “Bolanafo dan Perempuan Nias”

  1. Yanuarman Gulo

    Kearifan Lokal sebaiknya kita tetap jaga dan dengan penuh kesadaran berani untuk diterapkan sebagai masyarakat yang berbudaya-beradab.TIDAK CUKUP HANYA DIKAJI DAN DI MUSEUMKAN.Sebagai tindakan PRAKTIS, Jikalau ada yang mengunyah sirih yang muda-muda jangan merasa malu apalagi merasa hina, LEBIH HARAM LAGI KALAU DI HINA.Sebaliknya juga kepada para orang tua yang terhormat, jangan melarang anak-anaknya mengunyah sirih.Dengan aktif sebagai pemakai sirih, mari kita bersama mengadakan gerakan mengunyah afo sebagai bentuk pemeliharaan budaya dan pemeliharaan kesehatan masyarakat Nias dan Memaksimalkan DAYA SIMPANAN MASYARAKAT karena AFO sebagai bahan alternatif pengganti ROKOK .INGAT….mengunyah siriH berarti telah mengurangi PEMISKINAN ditengah MASYARAKAT NIAS.Berdasarkan Penelitian “Pengeluaran masyarakat Nias untuk Rokok terbesar dibandingkan dengan pengeluaran lainnya (pendidikan dll).SEMOGA BERGUNA UNTUK KITA SEMUA.Ya’ahowu.

    #15376
  2. Emanuel Harefa, Ir

    Afo dan Bolanafo memiliki arti dan makna yang penting dalam kehidupan masyarakat suku Nias terutama pada zaman dahulu, walaupun sekarang banyak kaum muda yang kurang memahami hal ini (malu mengunyah sirih lebih memilih mengisap rokok yang nota bene akan merusak mata pencaharian dan kesehatan).
    Tapi satu hal yang masih ada ditengah-tengah masyarakat Nias hingga saat ini dan perlu dilestarikan bahwa AFO adalah SUMANGE FONDREGE ZEBUA (Penghormatan yang tiada bandingnya) karena ini merupakan menu utama disetiap pertemuan / acara ditengah-tengah suku Nias setelah ucapan selamat / YA’AHOWU (FANGOWAI) dan peran kaum Perempuan Nias merupakan tokoh sentral dalam pengadaan AFO tsb.
    Satu hal yang menunjukkan bahwa dalam tatanan kehidupan suku Nias, tidak dapat dipungkiri oleh siapapun masyarakat yang merupakan bagian dari komunitas adat Nias, bahwa Afo dan Bolanafo merupakan satu acara seremonial yang wajib dilakukan oleh setiap pemuda/i suku Nias ketika membentuk mahligai rumah tangga yang dilakukan pada acara pesta adat pernikahan yang disebut FAME AFO (Menyerahkan sirih)dan FAMIDI AFO (membuat sirih).
    Bagi seorang pemuda Nias yang telah menjalani pesta pernikahan adat Nias tentunya pernah merasakan betapa bermaknanya acara FAME AFO ini, dan kalau boleh dikatakan bahwa inilah puncak acara adat pernikahan yang sangat bermakna ketika seorang pengantin laki-laki Nias menyerahkan Bolanafo sebagai penghormatan kepada kaum Perempuan (baik itu ibu mertua, tetua adat dan dari kaum kerabat yang dihormati di dalam tatanan adat suku Nias)dan dari cerita beberapa atau hampir semua yang merasakannya acara ini membutuhkan energi, emosional, dll sebagainya yang sangat banyak.
    Bagi Pengantin perempuan baru di Nias, ketika dia pertama sekali berada di rumah keluarga barunya, hal pertama yang dilakukan adalah FAMIDI AFO (membuat sirih) buat keluarga baru.

    Dua orang yang membentuk mahligai rumah tangga secara adat Nias, telah diajari untuk :
    1. Laki-laki memberi AFO dapat dimaknai merupakan tulang punggung dalam mencari nafkah kehidupan keluarga,
    2. Perempuan membuat Afo (Mamidi Afo) juga dapat dimaknai bahwa perempuan Nias mempunyai peran yang sangat penting didalam pembentukan & pengelolaan kehidupan keluarga suku Nias ditandai bahwa Afo diserahkan kepada kaum perempuan.

    Ini hal yang kami pahami mengenai Afo dan Bolanafo selain yang telah disampaikan oleh penulis dan rekan-rekan yang lainnya, semoga pemahaman ini dapat bermanfaat bagi kita dan jika tak berkenan atau dianggap tidak sesuai dengan norma di tengah-tengah masyarakat suku Nias kami mohon maaf anggap saja tulisan ini tidak pernah kami buat.

    Marilah kita dukung budaya Bolanafo dan Peran Perempuan Nias dalam kehidupan bermasyarakat.

    Ya’ahowu
    Kalimantan Tengah

    #15400
  3. esther gn telaumbanua

    Ya’ahowu Bapak/Ibu/saudara semua.

    Terima kasih untuk semua respon dan masukan yang sanat berarti dan bernilai terhadap tulisan opini saya tentang Bolanafo dan Perempuan Nias.
    Sebagaiana saya yakini bahwa sesunguhnya masih banyak dmensi dan hal tentang bolanafo yang belum kita ketahui dan pahami, namun merupakan sesuatu yang penting untuk dtelusuri berbagai kearifannya. Bak pepatah mengatakan, tak kenal maka tak sayang. Mudah2an, semakin luas dan dalam pengenalan kita tentang Bolanafo maka semakin tumbuh kecintaan kita dan kesadaran semua untuk melestarikannnya.

    Saya mengajak bapak/ibu/semua membangun kesadaran sosial ini mulai dari sekarang : mengangkat potensi lokal Nias, melestarikan warisan pusaka Nias dan tradisi budayanya, serta memberdayakan perempuan Nias, khususnya para pengrajin Bolanafo.

    Saya terbuka untuk diskusi dan informasi lebih lanjut tentang bolanafo melalui email : egnt45@yahoo.com.

    Bolanafo milik masyarakat Nias, dan kiranya dikembangkan untuk kebanggaan dan sumber kesejateraan hidup masyarakat Nias.

    Terima kasih NiasOnline utk ruang yang telah diberikan.Saohagolo.

    Esther GN Telaumbanua

    #15446
  4. nurzengky ibrahim

    SELAMAT YA BU Esther GN Telaumbanua ATAS SUKSES NIAS EXPO BUDAYA

    #15530
  5. nurzengky ibrahim

    Bolanafo dan Perempuan Nias Oleh: Esther GN Telaumbanua SUNGGUH SUKSES DAN BANGSA SAYA BUAT BU ESTER

    #15533
  6. agnes s.

    Makna bolanafo yg berwarna warni pd simbol Kabupaten Nias… melambangkan sifat keramahtamahan masyarakat Nias…!!! Mau nanya dikit Bu Telaumbanua, apakah ibu yakin (dgn data otentik) bhw yg buat bolanafo itu hanya kaum perempuan Nias saja? Jangan-jangan ibu dah bias gender nih… 🙂

    #15732
  7. esther telaumbanua

    Tentu tidak. Yang saya ketahui, menganyam bolanafo umumnya dilakukan oleh pengrajin perempuan Nias. Artinya, pria juga bisa menganyam dan kedepannya, bahkan bisa bukan oleh pria dan bukan kaum perempuan, tetapi mesin. Iya kan? Dalam prosesnya yang panjang saat ini, saya melihat kaum pria juga ambil bagian.

    Atau Agnes memiliki penjelasan lain? Misalnya apakah ada aturan adat bahwa harus kaum perempuan atau kaum pria?

    Bolanafo sebagai alat budaya, menyatakan posisi perempuan yang signifikan dan memiliki arti yang dalam. Karena itu, mengangkat bolanafo dan memberdayakan perempuan Nias menjadi sebuah langkah yang selaras dan strategis. Kelak akan memberi manfaat bagi semua, baik kaum pria dan wanita.

    #15966
  8. Yasinta H.

    Kak Ester yang baik,

    Kakak menulis:
    “Cara menyuguhkan kepada tamu juga dengan aturan tertentu dengan bersujud dan biasanya diawali dengan memberi salam penghormatan yang disebut Fangowai.”

    Tapi setiap kali saya pulang kampung, saya tidak pernah melihat ibu, kakak, atau siapa saja yang menyuguhkan sirih kepada tamu ‘bersujud’.

    Apakah kebiasaan ‘bersujud’ yang kakak sebutkan sudah ditinggalkan atau bagaimana ?

    Yasinta H.

    #15977
  9. esther telaumbanua

    Dear Yasinta, terima kasih untuk responya.

    Menyapa, pemberian salam dan penghormatan kepada tamu merupakan hal yang penting dan bernilai dalam relasi sosial orang Nias. Nilainya hampir sama tingginya, yang menunjukkan ada relasi diantara mereka, sebuah keakraban yang dekat. Kalau tidak salah, saya ingat kebiasaan menyapa dengan salam Ya’ahowu (dengan bersalaman tangan) dalam pertemuan antar masyarakat selalu dilanjutkan dengan kata ‘Yae nafoda’ (mudah-mudahan saya tidak salah menuliskannya) lalu mereka makan sirih bersama.
    Demikian juga, dalam sebuah keluarga sang suami akan meminta dipersiapkan (dibekali sirih) kepada istrinya saat berangkat ke suatu tujuan. Sang suami membawa sirih yang dipersiapkan istrinya ini dalam bolanafo (model sehari-hari), dan dalam setiap perjumpaan dengan kerabat selalu menyampaikan salam dan menyuguhkan sirih itu. Setelah itu baru disambung dengan percakapan atau apa yang ingin dituju dalam sebuah perjumpaan itu.

    Saya belum pasti dalam hal ini, tapi ada informasi mengatakan bahwa, penghormatan dengan kata “Ya’ahowu” dan “pemberian sirih” dalam tradisi adat Nias sangat penting dan bernilai bahkan dapat menggantikan sesuatu yang harus diberikan dalam bentuk materi yang tidak dapat dipenuhi. Begitulah nilainya secara adat, sangat tinggi dan menjadi bagian yang utuh.

    Hal yang sangat menarik juga kalau diperhatikan cara menyampaikan bolanafo ni’ohulayo kepada ibu. Ada hal-hal yang mengiringinya. Dimulai dengan salam dari menantu sambil bersujud, lalu ada gadis muda mengayun-ayun bolanfo itu sambil disambut dengan ‘hendri-hendri fanuno afo’ (tidak salah ya menuliskannya?) sambil ada penuturan-penuturan.. sangat menarik dan dinamis.
    Jadi,bebeapa contoh diatas menunjukkan dimensi penghormatan melalui pemberian/penyuguhan sirih dalm tradisi Nias ini sangat luas. Fame’e afo dilangsungkan bisa dalam bentuk beragam dalam pertemuan atau perjumpaan masyarakat Nias. Sangat menarik untuk menelusuri dan menemukan hal luhur ini kembali.

    Bagaimana sebenarnya tatacara penyuguhan Fame’e afo yang benar? Saya tidak dapat menyimpulkan hal itu disini, namun saya yakin hal itu ada aturannya dan sangat perlu diketahui. Hal utama disini adalah cara yang hormat dan menghargai. Sebagaimana makna fame’e afo adalah menghormati, maka tentunya tatacaranya selaras dengan tujuan itu, cara yang hormat dan santun berdasarkan norma budaya Nias. Apakah bersujud, berdiri, diawali menari…tentunya akan disesuaikan dengan bentuk acara yang dilangsungkan. Sekarang ini, memang terjadi pengikisan pemahaman terhadap nilai tradisi itu, sehingga banyak yang melangsungkannya dengan seadanya, sekedarnya. Sirih-nya pun ditata beragam ada yang utuh dalam bolanfo, ada di piring, ada dibungkus kain atau di dalam wadah lainnya. Memang perlu dikaji dan diajarkan kembali tatacara itu. Sehingga selaras upaya kita mengangkat nilai bolanafo, seiring itu pula seyogianya diikuti dengan mengajarkan tatacara penyuguhan yang benar sesuai acara adat yang dilangsungkan agar tidak mengurangi nilainya.
    Kelak generasi saat ini dan yang akan datang dapat mengetahuinya dan juga tidak salah dalam mempraktekkannya. Kesalahan dalam hal ini, sebenarnya dapat dikatakan sebagai penghinaan adat. Iya kan ?

    Karena itu, marilah kita sama-sama menggali kembali nilai budaya dan tatacara yang benar. Sayapun ingin mengetahuinya dengan lebih benar.
    Terima kasih Yasinta, penyampaianmu menginspirasi kita untuk lebih banyak lagi menemukan sisi-sisi bolanafo yang harus diketahui.

    Ya’ahowu.

    Esther Telaumbanua

    #16018
  10. ka’ Esther #17 “Bolanafo sebagai alat budaya, menyatakan posisi perempuan yang signifikan dan memiliki arti yang dalam.”. kyknya perlu dijelasin dech tiap makna ; bolanafo, afo, fame’e afo, penghormatan tamu.. katanya ortu jadul nich.. orang Nias ngormatin tamunya dgn cara; iowai, ibee dadaoma, ibidi nafo. Yg gak pake cara itu ke tamunya dicela adat. baru sekiranya tamu lama atau nginap bermalam diberi makan dipotong ayam atau anak babi. Itu di keluarga beda lagi penghormatan acara adat perkawinan, jadinya agak2 rancu klo bolanafo dikaitkan langsung sama posisi n peran perempuan, tanpa ngejelasin situasinya masing2. emang sich yg ‘bidi nafo’ biasanya perempuan.

    #16050

Leave a Reply

Kalender Berita

February 2010
M T W T F S S
1234567
891011121314
15161718192021
22232425262728

Kalender Berita

February 2010
M T W T F S S
1234567
891011121314
15161718192021
22232425262728