Sibaya, Paman, Uncle
E. Halawa*
Sibaya, paman, uncle. Ketiga kata ini, yang kita temui dalam 3 bahasa yang berbeda, seringkali dianggap searti, memiliki satu pengertian. Benarkah ? “Ali adalah paman saya” mungkin tidak selalu sama dengan “Sibayagu zi Ali“, atau “Ali is my uncle“.
Dalam bahasa Nias, sibaya memiliki dua pengertian: (1) saudara laki-laki dari ibu, (2) kata sapaan untuk menyapa saudara laki-laki dari ibu.
Kalau Soböwö adalah adik atau abang dari ibu saya, maka Soböwö adalah sibaya saya. Maka saya katakan: “Sibayagu Zoböwö“, atau “Soböwö, sibayagu.” (Soböwö adalah saudara laki-laki ibu saya).
‘Saudara laki-laki dari ibu’ dalam hal ini adalah baik saudara kandung maupun saudara ‘dekat’ dan bisa diperluas kepada semua laki-laki dewasa yang semarga dengan ibu (dan kurang lebih segenerasi dengan ibu). Akan tetapi pengertian yang lebih luas ini (yang mencakup seluruh yang semarga dengan ibu) tidak begitu ‘populer’ di Nias. Barangkali hal ini karena di Nias orang yang semarga bisa kawin asalkan keluarga kedua pihak sudah cukup jauh ditinjau dari silsilah. Dalam hal ini, ‘sibaya’ sungguh-sungguh hanya terbatas kepada saudara kandung dan saudara ‘dekat’ dari ibu saja, karena seseorang tidak mungkin memanggil ‘sibaya’ kepada pihak lain yang semarga dengan ayah dan juga semarga dengan ibunya.
Pada pengertian kedua, sibaya merupakan ‘kata sapaan’ yang dipakai untuk menyapa saudara laki-laki ibu kita dalam percakapan. Kita mengucapkan: “Ya’ahowu, Sibaya“, atau “Ya’ahowu, Baya” ketika bertemu dengan sibaya kita, misalnya di tengah jalan atau di rumah ketika mengunjunginya. “He Sibaya, omasido fahuohuo khöu” (Hai Sibaya, saya ingin bercakap-cakap denganmu).
Hanya dalam pengertian kedua (sebagai “kata sapaan”) kata ‘sibaya’ disingkat menjadi ‘baya’. Dalam pengertian pertama, ‘sibaya’ harus diucapkan atau ditulis utuh, jadi: “Möido manörö khö ndra sibayagu“, “Möido ufaigi zibayagu“. Tidaklah tepat kita memendekkan ‘sibaya’ dalam contoh di atas menjadi: “Möido manörö khö ndra bayagu” atau “Möido ufaigi bayagu“. (Anak-anak Nias berumur 5 tahun ke bawah masih menggunakan pemendekan yang tidak tepat ini).
Sibaya merupakan kata tunggal, bukan perpaduan kata ‘si’ dan ‘baya’, jadi ‘si’ dalam kata sibaya bukan kata sandang seperti pada kata ‘si Ali’ atau ‘Si Kombe’. Ada sejumlah sampul kaset lagu Nias yang menulis ‘sibaya’ sebagai ‘si baya’, hal yang tentu saja menyesatkan.
“Ali adalah paman saya.” Kalau orang yang mengucakan itu adalah orang Nias, maka ‘paman’ dalam kalimat itu searti dengan ‘sibaya’, artinya “Ali adalah saudara laki-laki dari ibu saya’. Hal yang sama berlaku untuk beberapa suku bangsa lain seperti suku Batak. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 1990), paman dideifinisikan sebagai**: (1) adik laki-laki ayah atau adik laki-laki ibu, (2) panggilan kepada orang laki-laki yang belum dikenal atau yang patut dihormati.
Dengan demikian pengertian ‘paman’ dalam bahasa Indonesia cukup berbeda dengan pengertian ‘sibaya’ dalam Bahasa Nias.
“Ali is my uncle“. Di sini, pengertian uncle lebih luas lagi. Dalam The Free Dictionary (sebuah kamus online Bahasa Inggris, pengertian uncle dalam konteks keluarga adalah: (1) saudara laki-laki dari ibu atau ayah (The brother of one’s mother or father), (2) Suami dari bibi (The husband of one’s aunt).
Jadi menurut orang Inggris, uncle bisa berarti: ‘sibaya’, bisa juga ‘ama siakhi’, ‘ama talu’, atau ‘ama sia’a’ yang adalah saudara dari ayah atau bibi (saudari ayah).
Dalam bahasa Inggris, uncle bisa jiuga dipakai sebagai kata sapaan kepada orang yang lebih tua, terutama oleh anak-anak.
Dalam masyarakat Nias, orang yang sedikit lebih tua dari kita (tapi tak punya hubungan keluarga) kita panggil ga’a (kakak), sedangkan orang yang jauh lebih tua, kira-kira seumur ayah, kita panggil ama. Dan kalau sudah makin akrab, biasanya kita panggil: “Zakhi” (dari Ama Sakhi), “Dalu” (dari Ama Talu), atau “Za’a” (dari Ama Sa’a) – sama dengan panggilan kepada saudara ayah atau bibi kita.
Kalau saya dipanggil ‘Om’ atau ‘paman’ oleh anak dari saudari saya, sebagai sapaan karena saya adalah ‘saudara dari ibunya’, maka saya merasakan ‘jarak’, kurang akrab rasanya. Tetapi kalau dia memanggil saya ‘baya’ atau ‘sibaya’, saya merasa dekat sekali. Bahasa adalah rasa.
Dan jangan lupa, “sibaya mbayakomo na mamasi” (*)
- Pengertian (1) ‘paman’ dalam KBBI (1990) agaknya terlalu sempit – hanya terbatas pada ‘adik’ dari ayah atau ibu. Padahal dalam pembicaraan sehari-hari kita menangkap pengertian ‘paman’ bukan hanya merujuk pada ‘adik’ tetapi juga ‘kakak’ dari ibu atau ayah. Paman sebagai ‘panggilan kepada orang laki-laki yang belum dikenal atau yang patut dihormati’ juga hampir tak pernah kita dengar.
- Penulis mengundang diskusi dan koreksi atas ini tulisan ini.
Contoh item 4-5 Ama Bram menarik ada perubahan baya → babaya. Lea Brown melihat reduplication, tepatnya initial syllable reduplication [mis: bago → babago ; bözi → böbözi ; taba → tataba ; tunö → tutunö]. Ada pula bentuk disyllabic reduplication mis: bago-bago ; bözi-bözi ; taba-taba ; tunö-tunö (mutasi dunö-dunö). Ref. Lea Brown “A Grammar of Nias Selatan†(2001).
Sekedar memperkaya gagasan resp #9, “Kata-kata: satarõ, salawa, satua, sabeto, sebenarnya bisa dianggap sebagai hasil bentukan imbuhan ’si’ dengan kata-kata sifat: atarõ, atua dan abeto, yakni: si+atarõ menjadi satarõ, si+atua menjadi satua dan si+abeto menjadi sabeto. Di desa-desa, saya sering mendengar anak-anak balita menggunakan imbuhan ’si’: gae si’ami -> maksudnya gae sami, manu si+ebua -> manu sebua, dan seterusnya.â€
Umumnya kata sandang ‘si’ tetap muncul menulisnya dipisah oontoh: si duhu, si fõfõna, si bongi. Tapi bila ‘si’ ketemu kata yg bunyi awalnya vokal, maka ‘i’ hilang dan ‘s’ ditulis serangkai contoh pd resp #9 “sabeto, satarõ, satua, salawa, sami, sebuaâ€. Bdk: onekhe-sonekhe, elungu-selungu, ambõ-sambõ, alio-salio, atulõ-satulõ, abõlõ-sabõlõ, aisõ-saisõ, esolo-sesolo, btn.
Bõlihae! Jangan pernah merasa lelah berdiskusi Bahasa Nias. Ya’ahowu!
Ama Bram no.20 : “Namun kamus Bu Laiya belum menyentuh makna: sibaya wakhe, sibaya mataluo, sibaya bawa, sibaya nangi. Ayoo… teruskan diskusi utk menambah wawasan.”
Di “Terangkum di Dalam Fondrakö” ada pendapat Pa’ S.W.Mendröfa : “Ya, luo adalah matahari memang. Tetapi oleh Orang Nias dahulu, oleh karena terangnya cahaya matahari, panasnya cahaya itu, matahari itu memberi kehidupan bagi manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan – jelaslah ia memberi berkat. Tanaman bertumbuh dengan baik oleh matahari, dan kalau dia marah, tanaman itu mati dan kering/layu, demikian juga bagi hewan dan manusia, dapat ia berkati dan hidup selamat, dan dapat dia kutuk dan tumpas. Di dalam mithos Ono Niha (Nias), beliau yang memberi nafas bagi manusia pertama itu, disebut: “Uwu Börö Danötanö, Sibaya Solohe Noso”. Dengan alternatif yang disebut di atas, maka Luo itu (luo dapat juga berarti upah atau pembalas jasa dan perbuatan) disebut “Sibaya”, dewa/ilah yang membalas segala perbuatan…”
Wahh… diskusi makin hangat… rupanya sibaya nama dewa sama-sama ada unsur kemarahan… Sibaya solohe noso [sibaya mataluo?] marah bikin kekeringan; sibaya bawa marah dia telan bulan; sibaya wakhe marah dia buat padi ndak berbuah; sibaya nangi marah datang angin ribut… Jangan-jangan asal kata sibaya di sini dari baya ‘menghantam’ spt kata bp Ama Bram (20)… Bukan sibaya ‘pemilik, penguasa’ [menrt Hummel & Telaumbanua] yg dibilang bp/ibu Sin Liong (19) 🙂
Bang Nasrun Zega (24) & Sin Liong (19), kyknya sibaya dgn makna ‘pemilik, penguasa’ itu tafsir baru. Hummel & Telaumbanua mengacu buku W.Gulõ (Benih yang Tumbuh XIII – 1983) h.210-11. Pak W.Gulõ sendiri mendasarkan uraiannya (ttg Sibaya Wakhe) pd ‘hasil diskusi Komisi Pemuda ttg Gereja dan Masyarakat’. Agaknya sibaya = pemilik/penguasa adalah simpulan dr perspektif peserta diskusi pd mitos sibaya wakhe. Ya’ahowu!
Menurut Lea Brown sibaya ‘mother’s brothers’ asalnya dari -baya [babaya] ‘touch’. Sy masih bingung juga nih bgmn hubungan logisnya ‘touch’ → ‘uncle’?
Saohagölö bp Ama Bram penjelasannya… waktu bp pake kamus bu Sitasi kirain pendekatan bp linguistik… ehh ndak taunya bp main di semiotika pula… melacak makna mitos itu kan semiotika ala Roland Barthes… selamat melanjutkan diskusi bp 🙂
Sy bersetuju ‘sibaya’… mitos. Dlm diskusi kt bertemu 3 mitos: mitos nama dewa, mitos saudara laki-laki dr ibu, mitos pemilik-penguasa. Tiap mitos punya makna masing-masing, sebab mitos dihasilkan oleh generasi tertentu dlm masyarakat (Nias) sesuai zamannya (historis). Dgn demikian kt dah memenuhi undangan simpatik dr penulis artikel E.Halawa* utk ber-‘diskusi dan koreksi atas ini tulisan ini’. Yaahowu.
Selamat bertemu kembali kawan-kawan …
Bagi yang hanya merujuk buku-buku, dan tak pernah mengikuti situasi ril di Nias sana, khususnya ketika pihak Sibaya dari sang ni’owalu memberikan nasehat .. maka pengertian sibaya sebagai ‘pemilik, penguasa’ menjadi ‘tafsir baru’.
Padahal pihak Uwu sering kali menyebut diri mereka sebagai “Sokhõ” (pemilik) -> “Sokhõ ya’ami wõ ndra’aga !” (Kami ini pemilik kalian !) kata pihak Uwu kepada keluarga pihak ni’owalu. (Saya berbicara sebagai orang Nias Utara).
Jadi pengertian Sibaya sebagai “pemilik atau penguasa” bukanlah hasil tafsir Hummel dkk., ia adalah pengertian yang tumbuh dari Ono Niha sendiri. Bukan juga dari simpulan dari “perspektif peserta diskusi pd mitos sibaya wakhe”. Sebelum simpulan dari “perspektif peserta diskusi pd mitos sibaya wakhe” muncul, pengertian itu sudah ada. Singkat kata, setiap kali ada pesta perkawainan, pengertian sibaya sebagai “sokhõ” ditekankan lagi 🙂
Adalah sangat tidak adil apabila kita memberikan kredit kepada Hummel dkk dan mencabutnya dari Ono Niha yang telah memberikan pengertian khasnya kepada sibaya sebagai ‘sokhõ’.
Sebenarnya penjelasan SW Mendrõfa yang dikutip oleh Gloria Lase itu sudah oke sekali: “Di dalam mithos Ono Niha (Nias), beliau yang memberi nafas bagi manusia pertama itu, disebut: “Uwu Börö Danötanö, Sibaya Solohe Nosoâ€.
Penerapan semiotika pada pembahasan kata asal-usul ‘sibaya’ boleh-boleh saja, asal jangan terkesan dipaksakan 🙂
***
Pengertian atau tafsiran sibaya sebagai “dewa/ilah yang membalas segala perbuatan…†akan kita soroti kelemahannya pada komentar atau artikel berikut.
Salam,
eh
Uncle ‘paman’ konon asalnya dari avunculus (bhs Latin) yang hanya berarti ‘saudara laki-laki ibu’. Untuk ‘saudara laki-laki bapak’ disebut patruus, kata ini tdk dipakai lagi. Maka turunan avunculus → uncle berubah makna mencakup 2 jenis ‘paman’ tsb. Gejala ini disebut perluasan (extension) makna. Pada sibaya cenderung terjadi pembatasan (ristriction) makna → ‘saudara laki-laki ibu’ → ‘wife giver’, dari baya/sibaya yang polisemi.