Oguna’õ Ginõtõ – Bagian 1 & 2

Monday, May 4, 2009
By nias

Catatan: Redaksi mendapat kiriman sebuah artikel cukup panjang dari Bapak Mathias J. Daeli (A. Ugi) dengan judul Oguna’õ Ginõtõ (Gunakanlah Waktu). Tulisan tersebut kami bagi atas beberapa penggalan, yang mulai kami tayangkan hari ini hingga beberapa hari ke depn. Selamat mengikuti.

Oleh Mathias J. Daeli

Bagian I
Judul di atas adalah bahasa Nias (li Niha). Penggalan kalimat nasehat orang tua yang sering saya dengar ketika saya masih kecil di kampung. Terjemahan bebas dalam bahasa Indonesia: “gunakanlah waktu”. Makna yang terkandung di dalamnya adalah nasehat agar menggunakan waktu dengan sebaik-baiknya – yang memiliki makna yang sama dalam bahasa Inggeris make the best of time.

Pada waktu kecil sehabis bermain dengan teman-teman, kami duduk berkumpul istirahat. Pada saat itu kadang-kadang ada orang tua yang sudah sepuh di kampung mendekati sambil mengomentari permainan kami dan memberi nasehat : “Oguna’õ ginõtõ. Bõi mirõrõ ami fawude” (Gunakanlah waktu. Jangan terlena dengan bermain saja). Juga nasehat seperti ini digunakan untuk mengingatkan anak-anak muda yang lebih senang fabude atau fakese (ngobrol) tanpa batas waktu dan pokok pembicaraan yang jelas sehingga seakan-akan tidak ada tugas lain yang perlu dikerjakan.

Makna tema dan pengalaman hidup sehari-hari menjadi dorongan bagi saya untuk berupaya menggugah kesadaran kita, betapa penting dan vital waktu bagi hidup dan kehidupan. Bagaimana memanfaatkan waktu sebaik-baiknya ? Apakah dengan mengikuti nasehat: ”Tidak lari gunung dikejar”. Atau nasehat yang berbunyi : “Waktu tidak menunggu”. Dua hal yang memiliki makna berbeda mengenai waktu. Atau nasehat lain yang mengatakan : “Jika kesadaran tentang nilai waktu yang dimiliki dan mau memanfaatkan dengan benar sesuai dengan peran kita saat ini, dimanapun kita berada, maka saat itulah kehidupan se-nyatanya baru dimulai”.

Manusia memang belajar dari waktu, namun ironisnya sering alpa – suka mengulang-ulang kesalahan. Di sisi ideal manusia berusaha mencapai peradaban setinggi-tingginya, menciptakan tanda kemanusiaan seagung mungkin. Di sebaliknya manusia juga merasa bangga kalau berhasil menciptakan alat penghancur kehidupan canggih seperti nuklir, manusia mencaplok milik orang lain, korupsi, menindas, egois. Pada hal pengalama sejarah membuktikan : peperangan, penindasan, dan sebagainya yang melanggar kemanuasiaan sungguh merendahkan nila kemanusiaan. Apakah tidak belajar dari pengalaman itu ? Kalau demikian apa yang diajarkan oleh waktu ?

Terus terang saya tidak memiliki pengetahuan dan kemampuan memberikan makna yang tepat mengenai waktu. Secara jujur pula mengakui bahwa diri saya bukan pengelola dan pemanfaat waktu yang baik.

Demikian maka artikel ini tidak membahas waktu secara luas. Pada bagian I saya mengajak anda – pembaca yang budiman merenungi makna nasehat orang tua tersebut pada judul. Kemudian pada bagian II menyampaikan beberapa pandangan mengenai waktu sehingga jelas peranan penting dan vital waktu bagi hidup dan kehidupan. Pada bagian III mengajak pembaca yang budiman bersama-sama melihat dahsyatnya nilai kerugian akibat tidak termanfatkan waktu dengan baik. Mengapa terjadi demikian ? Apa yang menjadi akarnya ? Sedangkan bagian IV merupakan hasil eksplorasi dampak kemajuan IPTEK dengan era globalisasi informasi pada mutu hidup dan kehidupan. Bagian V atau bagian akhir artikel ini berisi saran “membaca” sebagai wahana merebut informasi dengan memanfaatkan waktu dengan baik dan benar.

Sekali lagi penulis tegaskan bahwa usaha ini hanya didorong oleh keinginan berbuat sesuatu dan tidak karena keinginan metransfer keahlian yang memang tidak dimiliki.

Bagian II
Waktu atau inõtõ (bahasa Nias atau li Niha). Apa yang disebut waktu itu ? Bagaimana wujudnya ? Bagaimana sifatnya ? Apa waktu adalah seperti yang ditunjukkan angka-angka jarum jam yaitu: detik, menit, jam ? Berlanjut menjadi hari, minggu, bulan, tahun, abad, dan seterusnya ? Atau waktu itu seperti yang ditulis dalam artikel Nias Online ini, yaitu yang ditunjukkan oleh alam ? Seperti: miwo manu si fõfõna, miwo manu safuria, mohede riwi, moli gara-ara danõ, otufo namo, dan sebagainya (lihat: “Ungkapan Waktu Dalam Tradisi Masyarakat Nias” oleh E. Halawa). Di mana dalam pengertian ini waktu tidak mengenal komporomi dengan “apa” dan atau dengan “siapa”. Waktu tidak pernah menunggu apa dan siapa. Termasuk alam semesta yang bertambah menua. Kita sering mendengar ungkapan “dimakan waktu”. Dalam pengertian ini waktu itu kaku. Mungkin karena itu oleh Iwan Fals mencoba menggambarkan waktu sebagai “sombong”. Ini terlihat dalam bait lagunya yang mengatakan “tergilas oleh waktu yang sombong”.

Kenyataan. Adanya waktu memungkinkan manusia memikirkan segala hal relevan: merencanakan, memprediksi, menangguhkan, mendahulukan; pada saat bersamaan tah kemungkinan berhasil dan kesediaan menerima kegagalan. Karena berencana, manusia belajar menentukan prioritas; apa yang penting, mendesak, harus didahulukan, atau ditunda. Ada yang berpendapat bahwa kita hanya bisa memaknai waktu sekarang (saat kini), bukan masa lalu sebab telah ada dalam kenangan, bukan pula masa depan karena masih dalam angan-angan. Tegas Seneca: “hiduplah sekarang, sebab segala yang akan terjadi adalah milik wilayah tak menentu”. Yang sedang terjadi selalu ada dalam masa kini, tak peduli berapa lama. Itu sebabnya kita selalu bilang masa lalu tak perlu jadi ancaman, sementara masa depan jangan sampai dikhawatirkan. Satu hal pasti, kita yakin, selama ada waktu, segalanya masih mungkin terjadi; hanya saja kita sendiri yang bisa merasakan apa kesempatan tersebut masih terbuka lebar atau sudah sempit dan nyaris tertutup.

“Kamus Besar Bahasa Indonesia” memberikan 4 arti kata “waktu”. (1) seluruh rangkaian saat, yang telah berlalu, sekarang, dan yang akan datang; (2) saat tertentu untuk menyelesaikan sesuatu; (3) kesempatan, tempo, atau peluang; (4) ketika, atau saat terjadinya. Ini pun tidak menjawab tuntas mengenai: apa waktu. Saat, tempo, dan ketika adalah juga waktu dan digunakan untuk mengartikan waktu.

Atau, apakah “waktu” sungguh memiliki entitas dan tidak terkait dengan angka-angka ? Yang berati, waktu yang dimiliki seseorang tidak otomatis menentukan kualitas dan kuantitas tertentu pada objek terkait. Misalnya: pada mobil yang bermerek sama, mobil tua tidak selalu kalah bagus dibandingkan mobil baru. Contoh lain: orang yang berumur lebih tua tidak otomatis memiliki kelebihan dan tidak otomatis lebih bijaksana dari orang yang berumur lebih muda secara usia kalender. Ini disebabkan kadar empati seseorang terhadap waktu tidak sama. Seberapa lama ia bergumul dengan waktu secara baik sehingga berdaya guna dan berhasil guna (makna Tema: Oguna’õ Ginõtõ) .

Ilmuwan—baik fisikawan, filosof, astronom—masih terus berdebat tentang apa sebenarnya waktu. Bagi manusia, waktu suatu misteri. Menurut saya akan tetap misteri. Seorang novelis Inggris, J.B. Priestly mengatakan, “When we pursue the meaning of time, we are like a knight on a quest, condemned to wander through innumerable forests, bewildered and baffled, because the magic beast he is looking for is the horse he is riding.” Manusia selalu tergoda menangkap makna yang tepat dari waktu. Diberikanlah berbagai ungkapan sederhana tentang makna waktu, yang sering kita dengar dalam kehidupan sehari-hari kita. Seperti : “menghemat waktu”, ”jangan memboroskan waktu”, “jangan membuang-buang waktu”, “jangan menyia-nyiakan waktu”, “hargailah waktu”, “waktu itu adalah uang”, “oguna’õ ginõtõ” (tema di atas), dan sebagainya.

Di kaca belakang angkot (angkutan kota) di Tanah Abang Jakarta pernah saya baca : “anda butuh waktu kami butuh uang” yang berarti “waktu adalah uang”. Ada yang secara parodi mengatakan bahwa “ketidaktepatan waktu atau terlambat” merupakan simbol sukses – jatah pemimpin. Dalam era globalisasi dikatakan bahwa “waktu adalah informasi”, dan lain sebagainya. “Mencuri waktu” ada Parpol yang melakukan waktu menghadapi Pemilu April 2009 dengan berkampanye sebelum waktunya.

Ada juga lelucon tentang orang Indonesia yang suka pesan jam tangan mahal dari Swiss. Sekali waktu bagian uji mutu menemukan jam tangan yang sangat bagus, tapi presisi jarum penunjuk waktunya kurang tepat. Maka si pembuatnya pun langsung dipanggil untuk diminta pertanggunganjawab. Si pembuat senyum-senyum sinis dan mengatakan bahwa yang memesan jam itu adalah orang Indonesia. Mereka tidak memerlukan waktu tepat. Senang jam karet. (Disadur dari koran: Pikiran Rakyat – Bandung).

Kalau demikian: Apakah waktu terkait dengan kepribadian seseorang, suku atau bangsa tertentu ? Fisikawan Isaac Newton sampai Stephen Hawking (waktu artikel ini sedang ditulis sedangan sakit) juga telah mengupas masalah waktu. Tetapi waktu bagi mereka diukur dengan ayunan pendulum, atom-atom yang bervibrasi, dan bukan pengalaman waktu secara psikologis yang tidak terpatok dengan ukuran detik jam atau kalender. Muncullah Einstein melihat “waktu” sebagai tujuan-tujuan eksprimental dan dapat diukur dengan jam. Einstein (1905) memperkenalkan konsep relativitas waktu yang menjadi bagian dari teori menumentalnya Theory of Relativity. Bersamaan dengan itu pula, ia membuat perembesan teori relativitas-nya yang kemudian menghasilkan sebuah kesimpulan bahwa waktu adalah berjalan serta relative. Manusia dapat melunakkan derap laju waktu – yang kata orang awam tak kenal kompromi itu. Secara teori ilmiah para ilmuwan telah membuktikan bahwa jika seseorang mampu bergerak secepat cahaya, 300.000 km per detik, maka waktunya akan menjadi diam tak berjalan.

Einstein membuat metafora untuk menjelaskan kerumitan teori relativitasnya mengenai waktu dengan sangat sederhana. Dikatakan bahwa “When you sit with a pretty girl for an hour it seems like a minute, but when you are on a hot stove, a minute seems like an hour. That’s relativity.” Ketika Anda duduk berduaan dengan gadis cantik, waktu sejam akan terasa semenit, tetapi bila Anda duduk di atas tungku panas maka semenit akan terasa sejam lamanya. Itulah relativitas. Disini terlihat kejeniusan Einstein melihat dan menjelaskan secara sederhana perbedaan antara waktu fisik dengan waktu psikologis. Waktu bahagia terasa begitu cepat berlalu. Sebaliknya ketika kita sedih waktu terasa begitu lama bergulir seolah-olah tak mau berakhir, sampai suatu saat ada sesuatu atau seseorang, mengingatkan diri kita bahwa : semua itu akan berlalu. (Catatan :saya pernah menggunakan perbedaan antara waktu fisik dengan waktu psiklogis ini untuk menjelaskan penderitaan para korban gempa di Nias (Maret 2005) akibat keserakahan oknum BRR. Lihat: BRR Tungku Panas Dan Gadis Cantik Einstein, Nias Online oleh Mathias J. Daeli ).

Dengan teori relativitas Einstein meramalkan bahwa apabila ada partikel yang mempunyai kecepatan melebihi cahaya, dan sekarang para ilmuwan sedang berburu partikel itu, terbukalah kesempatan bagi manusia ber- “ada” di masa depan dan di masa silam. Yang berarti, jika ia mampu bergerak lebih cepat dari pada cahaya maka waktunya akan menjadi melunak dan mundur, dan ia telah berhasil mendahului waktu. Berarti pula, manusia memiliki akses ber-“ada” pada masa kini, di masa depan, maupun di masa lampau (time traveler). Seandainya partikel yang dimaksud berhasil ditemukan, kita tidak tahu lagi menjelaskan waktu mundur kemasa lampau dan waktu maju kemasa depan. Hanya Tuhan yang maha mengetahui. Santo Agustinus (354-430) pernah berkata: “Aku selalu tahu apa itu waktu, tetapi pada saat akan mau menerangkannya, aku tidak mampu.” “Waktu” memang misteri bagi manusia (Pkh 9:12). Meskipun demikian, tidak menutup kemungkinan bahwa ada diantara anda yang mampu menjelaskan “apa” waktu itu. Bagaimana seandainya anda dapat kembali ber- “ada” di masa silam ? Jawab sendiri. Bisa-bisa mencegah kelahiran sendiri.

Namun, pengaruh dari relativitas waktu yang muncul dari Theory of Relativity Einstein ini, para ilmuwan (scientist) mengubah kata-kata kebingungan dan pasif mengenai makna waktu menjadi aktif-rasional, yakni dengan kata Compete With The Time. Berlomba dengan waktu. Yang didasarkan pada penemuan zona-zona waktu yang relative serta beberapa formula yang dapat melunakkan waktu. Sehingga relativitas dan melunaknya sang waktu adalah sebuah realitas.

Berdasar penelitian dan memang kenyataan bahwa masing-masing suku atau bangsa memiliki pemaknaan sendiri mengenai waktu. Robert Levine, profesor psikologi dari California State of University di Fresno mengajukan tesis menyangkut apa yang disebut sebagai waktu sosial yaitu denyut jantung masyarakat dalam memaknai waktu. Secara singkat dapat dijelaskan bahwa memang manusia hidup dalam hitungan waktu yang sama 24 jam sehari, tetapi tidak semua budaya di dunia memaknainya secara sama (Levine dan Wolff , Artikel di Majalah Psychology Today, Maret 1985).

Pandangan Levine tersebut tentu tidak memerlukan sanggahan. Akan tetapi tidak berarti bahwa makna waktu bagi masyarakat itu bersifat statis. Juga tidak berarti membenarkan atau menyalahkan makna peribahasa: ”Biar lambat asal selamat”. Atau membenarkan atau tidak membenarkan makna pertanyaan Madonna Why time flies, so soon ? Mengapa waktu begitu cepat berlalu ? dalam lagunya Hung Up dari albumnya Confessions on a Dance Floor (2005).

Berubah atau tidak berubah waktu sosial tergantung pada jawaban masyarakat itu sendiri pada pertanyaan: “Sadar” atau tidak sadar pada hidup dan kehidupan ? Kalau sadar pun tidak hanya sadar praktis melainkan sadar reflektif. Kesadaran praktis, meminjam istilah Anthony Giddens, seperti orang yang bangun tidur tidak perlu harus berpikir lagi ketika turun dari tempat tidur. Sedangkan kesadaran refleksif berimplikasi pada perubahan. Bahwa tidak ada yang pasti didunia ini selain perubahan. Memang perubahan membawa ketidakpastian dan ketidakpastian menakutkan. Namun, apabila ingin hidup bermartabat pada tingkat sosial rasa takut dan kemalasan harus dilawan (Scott Peck, dalam bukunya The Road Less Traveled, 1978). Kata Erich Fromm, “Man’s main task is to give birth to himself, to become what he potentially is”.

Uraian di atas hanya dalam upaya memberi gambaran hubungan penting dan vital antara waktu dengan hidup. Konsep waktu memberi kesadaran dan tanda pada kehidupan seperti : lahir, peringatan, reuni, janji, sejarah, mati, dan sebagainya. Tetapi waktu tidak sama dan serupa dengan hidup. Hidup berakhir tetapi waktu tidak. Hanya Tuhan yang tidak memiliki waktu lampau, waktu kini, dan waktu yang akan datang. Waktu kita adalah harunia Tuhan dan tidak ada alasan untuk tidak mensyukuri dan menggunakan untuk melakukan perbuatan baik. (bersambung).

Leave a Reply

Kalender Berita

May 2009
M T W T F S S
 123
45678910
11121314151617
18192021222324
25262728293031