Johannes Maria, Pastor yang Berjuang Menghidupi Museum Nias
*Tak Rela Benda-Benda Pusaka Dijual ke Luar Pulau
Oleh: SUGENG SULAKSONO
PASTOR Johannes Maria Hammerle OFMCap diakui masyarakat Nias jauh lebih Nias dibanding warga Nias. Agamawan asal Jerman itu bahkan termasuk budayawan paling berpengaruh di pulau tersebut. Kini, banyak kalangan di Nias yang mulai resah seiring kerapnya pastor 69 tahun itu sakit.
Pada 12 Mei 2010, para staf Museum Pusaka Nias panik. Termasuk 24 mahasiswa IKIP Gunungsitoli yang sedang magang. Pastor Johannes tiba-tiba jatuh sakit dan membutuhkan perawatan secepatnya.
Rumah Sakit Gunungsitoli di Kepulauan Nias tidak memungkinkan menampung pastor sepuh itu. Selain tenaga medisnya kurang, fasilitas di rumah sakit tersebut relatif terbatas.
Karena itu, atas bantuan sebuah organisasi internasional yang masih bermarkas di Kepulauan Nias pascagempa dan tsunami 2004, Johannes akhirnya diterbangkan ke sebuah rumah sakit di Penang, Malaysia.
“Saya dirawat 12 hari di sana,” kata pastor kelahiran Housach Schwartwald (Blackforest), Jerman, 1941, tersebut saat ditemui di Museum Nias, Gunungsitoli, akhir pekan lalu.
Johannes tidak menjelaskan detail penyakit yang diderita. Dia hanya mengaku baru saja menjalani operasi prostat. Dari kejadian itu, seluruh pengelola Museum Nias seluas 2 hektare yang dilengkapi taman bermain dan koleksi beberapa binatang khas Nias tersebut mulai khawatir.
“Bukan saya yang khawatir. Mereka, staf museum, yang khawatir. Bagaimana ini kelanjutan museum kalau si Johannes sudah tidak ada,” ungkap Johannes yang lumayan fasih berbahasa Indonesia.
Sebagai gambaran, dia bercerita bahwa mantan Wakil Presiden Adam Malik dulu pernah mendirikan museum keramik yang besar dan megah. “Di mana (museum keramik) itu sekarang setelah Adam Malik meninggal” Jadi, mereka (staf Museum Nias) juga khawatir seperti itu,” tuturnya.
Dari kekhawatiran para karyawan museum itulah, Johannes berpikir bahwa museum satu-satunya yang mendokumentasikan dan menampung benda-benda bersejarah kepulauan berpenduduk sekitar 900 ribu jiwa tersebut harus tetap ada. “Karena itu, kami pun berharap ada ide agar museum dengan anggaran minus itu bisa terus berlangsung,” katanya.
Tidak ada dana tetap untuk pengelolaan Museum Nias yang halaman belakangnya langsung bersentuhan dengan laut Indonesia tersebut. Kecuali, bantuan dari kakak ipar Johannes di Jerman yang setia mengirimkan dana pensiunnya sebesar 60 euro (sekitar Rp 670 ribu, Red) setiap bulan. “Padahal, dia hidup sangat sederhana. Tapi, dia tetap kirim uang untuk bantu museum ini,” ucapnya.
Pemerintah daerah yang terdiri atas lima kabupaten di Kepulauan Nias tidak menganggarkan secara rutin untuk museum itu. Sejak didirikan pada 1990, tercatat hanya tiga kali dana segar mengucur dari pemerintah daerah. Itu pun setelah pengelola museum mengirimkan proposal ke pemda. Jumlahnya Rp 25 juta, Rp 200 juta, dan Rp 75 juta.
Uang yang didapat dari pengunjung museum juga tidak bisa diharapkan. Pada akhir pekan, museum bisa mendapatkan pemasukan Rp 1,5 juta dari penjualan tiket seharga Rp 2.500 per orang. “Itu sudah paling hebat ya,” ujar Johannes lantas tersenyum.
Dia merasa, salah satu daya tarik museum terletak pada taman bermain yang dilengkapi koleksi binatang seperti buaya, burung laut, kera, dan musang. Taman bermain itu mengundang orang untuk berkunjung ke museum tersebut. “Mereka mungkin bilang, untuk apa lihat benda mati?” tuturnya.
Begitulah, kata Johannes, sangat sulit menciptakan kesadaran dan kepedulian masyarakat setempat untuk mencintai serta mempelajari budaya sendiri. “Dulu di sini ada forum masyarakat peduli museum supaya masyarakat Nias punya rasa memiliki. Ini museum punya warga, bukan museum milik pastor atau museum Katolik. Kami tidak pernah bilang ini punya Katolik.”
Banyak warga yang enggan menitipkan benda bersejarahnya di Nias karena berpikir bahwa museum itu milik Johannes atau milik umat Katolik. “Begitu pula yang saya rasakan ketika saya minta bantuan polisi lima tahun lalu. Polisi tidak bersedia menitipkan batu megalit yang disitanya ke museum ini. Katanya harus ada izin dari jaksa agung di Jakarta,” keluh Johannes.
Membangun museum bukanlah sesuatu yang direncanakan Johannes. Terlebih, sebelum menginjakkan kaki di Tana Niha “sebutan masyarakat Nias yang berarti kampung halaman kita?, dia tidak pernah mengetahui Kepulauan Nias itu seperti apa.
Johannes tiba di Nias pada 1971 sebagai misionaris. Dia diutus gerejanya di Jerman untuk menggali ilmu di tanah seberang. “Sebenarnya, kalau boleh memilih, saya pilih Sumatera. Tapi, ini sudah panggilan buat saya,” ujarnya.
Pada 1971, Nias masih sangat tertinggal. Bahkan, sampai saat ini pun belum mengalami kemajuan yang signifikan. Karena itu, kata Johannes, dalam menjalankan tugasnya dari satu desa ke desa lain, dia membutuhkan perjalanan yang sangat lama dengan berjalan kaki.
Perjalanan awal Johannes adalah di daerah Teluk Dalam, ujung paling selatan pulau tersebut. Sembilan tahun lamanya dia mengabdikan diri di kawasan yang juga dekat dengan budaya lompat batu tersebut. “Setiap malam saya menginap di rumah penduduk dan banyak bertanya. Seperti anak kecil, saya ingin tahu tentang ini dan itu,” kenangnya.
Dari banyak pertanyaan tersebut, dia mendapat banyak jawaban, sehingga terkumpul pelajaran sejarah tentang masyarakat Nias, termasuk benda-benda peninggalannya. Satu per satu warga Nias yang memiliki benda peninggalan memperlihatkannya kepada Johannes.
“Kebetulan, waktu saya studi teologi, dosen saya dulu adalah Paus Benediktus sekarang. Dia memberikan kuliah tentang Konsili Vatikan di Roma tentang keterbukaan terhadap suku dan budaya di dunia dan itu masuk ke kepala saya,” tuturnya.
Dari berbagai benda yang ditunjukkan masyarakat, Johannes mulai mengumpulkan artefak-artefak itu. Tidak jarang dia harus membelinya.
Faktanya, kata Johannes, memang banyak benda bersejarah dan bernilai tinggi dari Nias yang dibawa ke luar pulau, terutama ke Medan.
Dia sering menemukan benda berharga milik warga dan dirinya diminta untuk membayar. Beberapa minggu saja terlambat, benda itu pasti sudah terjual di seberang pulau. “Misalnya, di Brussels (Belgia), ditawarkan batu megalit dari Nias seharga 450 ribu euro. Karena itu, orang di sini lalu tergiur untuk menjual megalitnya,” terang Johannes.
Melihat fenomena seperti itu, dia semakin khawatir bahwa semakin lama Nias kehabisan benda bersejarah yang sebenarnya sangat penting untuk dipelajari generasi penerus. Fenomena itu juga membuktikan bahwa banyak warga Nias yang tidak peduli pada kebudayaan sendiri.
Sempat suatu hari saat belum ada transportasi umum di Nias, Johannes mendapat kayu ukiran sepanjang 10 meter dengan lebar satu meter dan tebal hampir 50 cm. Ukiran itu menggambarkan interaksi masyarakat Nias pada masa lalu.
Untuk membawa kayu tersebut dari pedalaman di Teluk Dalam menuju Gunungsitoli, dibutuhkan waktu sebulan dan diangkat 10 orang. “Kayu dihanyutkan lewat sungai, sempat menyangkut sebelum sampai ke laut. Lalu, dinaikkan perahu,” jelasnya.
Setelah beberapa benda terkumpul, Johannes meminta bantuan beberapa pihak, termasuk persekutuan gereja. Akhirnya diputuskan untuk mendirikan museum di Gunungsitoli.
“Sempat diusulkan untuk didirikan di Teluk Dalam karena di sana banyak turis. Tapi, museum ini bukan untuk turis, namun untuk generasi muda Nias. Karena itu, lalu diputuskan di Gunungsitoli karena masyarakatnya lebih banyak dan ada sekolah tinggi,” paparnya.
Pembangunan museum ditangani arsitek asal Swiss, Prof Alain M. Viaro, tapi menggunakan tenaga kerja sepenuhnya masyarakat Nias. “Kebanggaan juga buat masyarakat Nias karena waktu terjadi gempa, museum itu hanya sedikit retak di tengah. Kecuali artefak berjatuhan dari tempatnya,” ungkap Johannes.
Di lokasi museum juga didirikan empat rumah adat dengan tipe yang berbeda. Tujuannya, masyarakat tidak merasa kolot jika merehab rumah adat. Saat ini mulai terlihat bahwa masyarakat sedikit demi sedikit meninggalkan rumah adat yang khas terbuat dari kayu tanpa paku tersebut. “Jadi, museum itu sangat berarti bagi masyarakat Nias dulu, sekarang, dan yang akan datang,” tegasnya.
Sementara itu, mantan Wakil Bupati Nias Agus Mendrofa mengaku malu melihat kenyataan bahwa orang Jerman justru lebih peduli terhadap budaya Nias. “Ini sungguh ironis. Kami saja yang sekarang berusia 50 tahun sudah banyak yang tidak peduli. Bagaimana nanti anak cucu kita?” ujarnya.
Dia menyatakan, muatan lokal dalam pendidikan bagi pelajar di Nias perlu ditambah agar kecintaan terhadap budaya daerah juga meningkat. “Pakar kebudayaan Rumbi Mulia mengatakan, Nias itu satu-satunya budaya megalitik tertua di dunia,” tuturnya.
Bukti bahwa masyarakat lokal mulai tidak mencintai peninggalannya, kata Agus, terlihat di Kecamatan Gomo, sebuah desa yang diyakini sebagai asal mula masyarakat Nias. Banyak batu yang bernilai sejarah yang telantar.
“Sangat ironis. Justru orang Jerman, bukan kami atau orang kami yang di seberang. Justru orang Jerman yang tertarik dan terpanggil jiwanya untuk menyelamatkan benda-benda bersejarah,” tutur pemilik Miga Beach Hotel di Gunungsitoli itu.
Sama seperti kekhawatiran para karyawan museum, Agus tidak bisa membayangkan seandainya Johannes meninggal. Belum terbayang kelanjutan museum itu. “Kami harus terbeban. Tidak mungkin yang bangun rumah kami adalah orang lain, pasti kami. Begitu juga budaya kami, harus kami yang merawat,” tegasnya.(www.jpnn.com – 12 Juni 2010)
June 15th, 2010 at 3:39 PM
Ikut bahagia dan senang karena Pastor sudah sembuh dari sakitnya. Tuhan memberkati. Saya ingat waktu masih sekolah dan tinggal di asrama yg berada di komplek museum. Begitu gigihnya Pastor bekerja siang dan malam. Tanpa merasa lelah ia mengumpulkan benda satu dengan benda yg lain yang memiliki nilai budaya. Hingga akhirnya sekarang berdiri dengan megah musem itu. Ke khawatiran sekarang bagaimana bila Pastor sudah tiada. Ada baiknya para pecinta budaya khususnya budaya Nias memikirkan bagaimana cara menjaga agar museum yg sudah bagus ini dapat terpelihara dengan baik. Tak ketinggalan pemerintah daerah khususnya pemkot Gunungsitoli yang ambil andil untuk memikirkan kelangsungan museum kita tercinta. Tapi yg lebih mengkhawtirkan lagi apabila pemangku kepentingan berfikir ” ah… Ga ada duitnya”. Karena rata-rata kita sekarang hanya berfikir uang dan uang untuk kepentingan pribadi. Karena juga terbukti Nias secara umum sebelum dan sesudah gempa tidak jauh beda keadaannya, pada hal begitu banyak dana mengalir dan mungkin Nias bisa berubah 180 derajat, tetapi karena uang itu salah alamat. Akhirnya hanya segelintir orang yg menikmatinya. Begitu juga dengan museum……. Dan akhirnya musem kita tinggal kenangan. Semoga tidak demikian. Salam, Ya’ahowu.
June 15th, 2010 at 5:31 PM
Inilah doa saya kiranya Pastor Johannes diberi kesehatan dan umur panjang dari Tuhan. Pengabdiannya bagi Nias bagi saya adalah sesuatu yang luar biasa, dan patut dihargai. Beliau dan Museum Pusaka Nias adalah asset Nias. Museum Pusaka Nias adalah salah satu kekayaan daerah ini dan menjadi kebanggaan kita. Sebagai salah satu tujuan wisata, sdh selayaknya mendapat perhatian pemda dan bahkan selayaknya nebdapatkan alokasi apbd sesuai kemampuan daerah.Semoga hal ini menjadi perhatian kita bersama.
June 15th, 2010 at 10:27 PM
Saya baru dengar berita melalui situs ini Pastor Johannes sakit Mei lalu. Ternyata Pastor Johannes masih dibutuhkan di Nias sehingga dipulihkan kesehatannya melalui para dokter.
Pastor Johannes salah satu orang tua kepada saya ketika saya masih studi mulai SMP bahkan sampai saya Nikah.
Saya selalu berdoa agar Pastor Johannes selalu dalam lindungan Tuhan agar diberikan kesehatan yang baik kepada Pastor Johannes.
Bersemnagatlah Pastor agar banyak berbuat lagi untuk Nias.
Tgl 27 Nopember 2007 pada malam gebyar Peseona Nias yang diselnggarakan di convention Hal danau Toba In, Pastor Johannes telah menerima Penghargaan seni dari Lembaga FURAI sebagai Penulis Kebudayaan Nias dan 1 DESEMBER 2008 PENERIMA FURAI CULTURAL AWARD sebagai penghargaan kepada warga asing yang Orasi Tentang Kebudayaan Nias pada Pagelaran Budaya yang diselenggarakan oleh FURAI. Ya’ahowu>
June 17th, 2010 at 8:39 AM
salut pada pastor johanes!
June 17th, 2010 at 4:26 PM
syalom……kita berharap semoga pihak yang lebih peduli{pemda} selain kita masyarakat biasa agar segera mengambil langkah2 perencanaan kedepan agar museum yang sudah ada ini dapat dipertahankan keberadaanya/kelestariaannya.kita percaya bahwa mereka lebih mampu dari pada kita masyarakat biasa,bola panas itu ada ditangan mereka dan kita tunggu apa yang akan terjadi……….semoga saja…………..amin.n.n.nnn
June 17th, 2010 at 6:05 PM
Sdr. Budi Harefa, Saya setuju jika Pemko Gunungsitoli turut memberikan dukungannya kepada Museum Pusaka Nias ini, Museum ini bisa mejadi miniatur kehidupan masyarakat Nias dari jaman-ke jaman, Barang kali Pemko Gunungsitoli melalui Bapak Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota dapat mengajukan RANPERDA-nya KE dprd sehingga ada tanggung jawab Pemko sebagai salah satu I Con Kota, jangan-jangan jika Pastor Johannes memasuki masa pemsiun dan pulang ke Jerman, Museum ini ditutup karena biaya pemeliharaan, gaji pegawai dan pengembangannya tidak ada lagi.
June 28th, 2010 at 4:08 PM
Saya juga senang membaca berita bahwa Pastor Johanes yang selama ini berjuang untuk Museum Nias, telah sembuh dari sakitnya dan mudah-mudahan tetap sehat. Saran saya kedepan supaya Pastor memilih salah satu Putra Nias yang peduli terhadap kelanjutan Museum Pusaka Nias, agar dibina dan diberi pengetahuan cara merawat dan melestarikan museum tersebut. Saya salah seorang yang pernah mengangkat kayu-kayu ukir dan patung batu dari daerah Lahusa Gomo dengan Truk milik saya waktu itu, cukup terkesan dan juga merasa ikut bertanggungjawab melestarikan peninggalan-peninggalan tersebut. Salam Damai selalu Yaáhowu.
July 16th, 2010 at 8:51 AM
Saya sebagai Putra Nias mengucapkan banyak terimakasih kepada Bapak
Pastor Johannes yang tidak kenal lelah dan rela berkorban untuk membantu melestarikan budaya Nias. Kami berharap pemerintah setempat lebih peduli dengan budaya nias.
Buat Bapak Pastor Johannes yang kami cintai, semoga Tuhan memberkati Bapak supaya tetap semangat dan kuat dalam menjalankan misinya.
September 26th, 2010 at 3:21 AM
Terima kasih atas berbagai masukan / komentar / pendapat dan saran yang ditujukan kepada Bapak Pastor Johannes Hammerle, OFMCap dan juga concern yang ditujukan kepada kami (Disparbudpora Kota Gunungsitoli)secara khusus dalam kaitannya dengan maintenance dan kelangsungan operasional Museum Pusaka Nias ke depan. Secara pribadi juga kami sudah mendiskusikannya dengan Bapak Pastor dalam berbagai kesempatan utamanya tentang kelangsungan operasional Museum ke depan. Kami sebagai Kadis Parbudpora Kota Gunungsitoli dan Saudara kita Kosmas Harefa di Kementerian Budpar RI di Jakarta telah commit untuk membantu / mefasilitasi Bapak Pastor untuk memperjuangkan bantuan dana untuk kelangsungan museum tersebut ke depan, di Kementerian. Proposal dari Pastor telah kami forward ke Kementerian di Jakarta dengan dibantu oleh teman-teman yang ada di DPR RI, seperti Bapak Yasonna H. Laoly, SH., MSc., PhD, dan Bapak Parlindungan Purba, SH., MM, Anggota DPD RI asal daerah pemilihan Sumatera. Menyangkut Museum Pusaka Nias ini, sudah kami tampung juga dalam APBD Kota Gunungsitoli Tahun 2011 mengingat cashflow kota yang sedikit memprihatinkan di tahun 2010. Maklum saja, Kota Gunungsitoli sebagai DOB (Daerah Otonomi Baru), saat ini kondisinya baru dalam tahap pembenahan agar dapat take off di tahun 2011 yang akan datang, insya Allah. Ada satu hal yang perlu kami sampaikan kepada kita semua masyarakat Kepulauan Nias bahwa soal Museum ke-3 terbaik untuk daerah pulau-pulau terluar di Indonesia ini; pada waktu pameran Bolanafo di Museum Pusaka Nias beberapa bulan yll, yang pada waktu itu dihadiri oleh Bapak Pj. Walikota Gunungsitoli, Menteri Lingkungan Hidup dari Negara Bagian Tuscani, Italy, dan beberapa kepala / kurator museum besar Eropah juga turut hadir pada saat itu – Bapak Pastor Johannes Hammerle, OFMCap pernah menyatakan dalam pidatonya bahwa, “Museum Pusaka Nias ini adalah bukan museum orang Katolik [milik Katolik] akan tetapi, Museum ini adalah milik semua orang Nias dari kelima kabupaten/kota yang ada di Kepulauan Nias. Kebetulan saja, pimpinan [Direktur] museum ini dipimpin oleh seorang Pastor yang notabene seorang Imam Katolik, dan hanya kebetulan berada di Wilayah Kota Gunungsitoli”. Jadi, jelas Museum ini adalah milik kita semua orang Nias tentu saja tidak terlepas pemerintah dari kelima Kabupaten/Kota yang ada di Kepulauan Nias. Oleh sebab itu, kami yakin dan percaya bahwa kita semua mengaminkan apa yang telah diutarakan Bapak Pastor tadi. Justru itu, maka kontribusi dana dari kelima pemerintah Kabupaten/Kota tersebut perlu didorong / disepakati. Menurut hemat kami, seandainya masing-masing DOB ini menganggarkan Rp 50 juta saja dalam APBD nya tiap Tahun Anggaran; maka kami yakin, biaya operasional museum ini dapat terbantu, nanti dulu tertutupi, TAPI terbantu biaya operasionalnya. Khusus kepada rekan kami, Bapak Alio Fau, SPd, kami ucapkan terima kasih atas atensinya dalam mendukung kami di Dinas Pariwisat, Kebudayaan, Pemuda dan Olahraga Kota Gunungsitoli. Kami senantiasa mengharapkan masukan / saran dan kritik yang konstruktif dari seluruh masyarakat baik yang ada di Kepulauan Nias maupun yang berada di luar Kepulauan demi terwujudnya cita-cita kita bersama menuju Kepulauan Nias sebagai ODTW (Objek Daerah Tujuan Wisata) utama di belahan paling barat Indonesia. Dengan dukungan seluruh masyarakat Nias dan secara khusus masyarakat Kota Gunungsitoli, kami yakin cita-cita yang luhur ini dapat kita capai dalam waktu yang tidak terlalu lama. Soal kapan / tahun berapa itu terwujud; mari kita semua bergandengan tangan untuk membuatnya menjadi indah pada waktunya. Kami terus bekerja untuk itu. Semoga.