Syarat Menjalin Relasi Harmonis
Oleh Postinus Gulö
Dalam bukunya “The Seven Habits of Highly Effective People”, Stephen R. Covey pernah mengusung landasan utama yang harus dimiliki oleh setiap manusia (jika ia mau berhasil dalam berelasi dengan orang lain), yaitu “personality ethics” (etika kepribadian).
Menurut beliau personality ethics (PE) pada dasarnya mengambil dua jalan: Pertama, teknik berhubungan dengan manusia atau masyarakat. Kedua, sikap mental positif (SMP) atau positive thinking (husnu-dzon). Nah, bagaimana mengaktualisasikan kedua “jalan” ini? Langkah pertama dan utama yang harus kita lakukan adalah: memperhatikan (mengevaluasi dan mengoreksi) persepsi kita sendiri. Mengapa? Karena persepsi itu bagai “lensa”: jika lensa yang kita pakai berwarna merah maka apapun yang kita lihat menjadi merah. Jadi, ketika kita “berpikir” tentang sesuatu jangan-jangan lensa yang kita pakai justru lensa yang tidak benar, bukan lensa yang seharusnya. Itu sebabnya perlu mengoreksi lensa berpikir kita.
Seorang teman bercerita: “saya pernah ditegur oleh atasan saya gara-gara pangkasan rambut terlalu pendek. Dengan nada ketus, beliau bilang, rambut kamu itu, saya tidak suka, kok terlalu pendek. Lain kali jangan seperti itu. Tidak sopan!” Lihat, atasan teman saya ini sedang asyik dengan persepsinya sendiri. Ia yakin bahwa apa yang ia pikirkan, benar. Dan bahkan ia paksa: harus dituruti oleh bawahannya. Ia lupa bahwa apa yang ia pikirkan hanyalah ungkapan egonya yang notabene hanya berdasarkan pada persepsinya. Mana ada patokan bahwa rambut pendek, tidak sopan? Masalah potongan rambut kan urusan pribadi seseorang. Harusnya beliau bertanya: mengapa saya tidak suka melihat rambut bahawan saya ini? Jangan-jangan saya sedang membencinya, ada apa dengan diri saya? Ingat, gara-gara perbedaan persepsi tak sedikit orang yang terperangkap dalam permusuhan, perseteruan, kebencian, ketidak-haromonian.
Dari uraian di atas kelihatannya yang mau disasar adalah bahwa kita, manusia mesti “sekali-kali” melihat diri sendiri apakah kita selama ini “merasa benar” atau “mencari yang benar”. Karena jika kita hanya dikompasi oleh ide dan juga persepsi kita sendiri, kita menjadi “buta” melihat bahwa kita sendiri telah berlaku salah dalam melangkahkan kaki untuk berjalan mencoba melepas segala belenggu yang seharusnya bukan belenggu yang datang dari luar melainkan karena kita tak mampu mengelak. Bahkan jika kita hanya merasa benar di hadapan teman kita sendiri, kita akan dijauhi. Tidak disukai. Boro-boro kita diacuhkan, malah dinggap sebagai “duri”. Sikap mental positif (SMP) butuh internalisasi dan aktualisasi bukan hanya teori. Nah, yang menjadi persoalan adalah bagaimana kita mengaktualisasikan SMP ini jika persepsi kita sendiri masih juga kita “lestarikan” seperti sediakala walaupun seolah kita telah ubah?
Selain personality ethics, Covey melihat bahwa seseorang akan berhasil menjalin relasi harmoni dengan orang lain, jika orang bersangkutan memiliki character ethics (etika karakter): rendah hati, mampu mengendalikan diri, memiliki keberanian, integritas, rajin, sabar, sederhana, santun, mengusung nilai-nilai keadilan dan selalu mengaktualisasikan Kaidah Emas: memperlakukan orang lain seperti dia memperlakukan dirinya sendiri.
Lebih jauh Covey bersabda lagi: “sikap Anda menentukan ketinggian posisi Anda dan senyuman Anda menghasilkan lebih banyak teman daripada jika Anda hanya mengerutkan dahi”. Dengan kata lain, Covey lebih mengedepankan hospitality (keramahan) daripada hostility (permusuhan). Ide semacam ini membuat diri saya tergugah: adalah lebih penting jika manusia menyadari diri sebagai homo socius (sebagai teman) dan bukan hanya homo homini lupus (bukan sebagai serigala).