Bawaslu: KPU Tak Kooperatif
JAKARTA, KOMPAS.com – Anggota Badan Pengawas Pemilu Wahidah Suaib mengatakan, salah satu hambatan dan tantangan pengawasan pemilu adalah kecenderungan umum sikap Komisi Pemilihan Umum (KPU), baik tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota dan jajarannya yang tidak/kurang kooperatif kepada pengawas pemilu.
Sikap tak kooperatif ini, kata Wahidah, tercermin ketika penyelenggara pemilu menutup atau menghambat akses panitia pengawas pemilu atau Panwaslu untuk mendapatkan data-data yang merupakan objek pengawasan pada tahapan-tahapan pemilu kepala daerah, seperti yang dialami Panwaslu Kada Kabupaten Poso, Kabupaten Rembang, Jambi, Nias Selatan, Halmahera Barat, Malinao, Kota Balikpapan, Kota Batam, Rokan Barat, Kutai Barat, dan Tasikmalaya.
“Ada juga sikap tidak terbuka dalam melaksanakan beberapa tahapan, yakni tertutup dalam pengambilan keputusan terkait tahapan yang semestinya dihadiri oleh pengawas dan menghalangi atau menolak kehadiran pengawas dalam pelaksanaan tahapan tersebut,” kata Wahidah kepada pers, Senin (20/12/2010).
Dicontohkan, KPU kabupaten/kota melakukan pleno rekapitulasi daftar pemilih tetap secara diam-diam dan tertutup tanpa kehadiran pengawas pemilu dan perwakilan pasangan calon sebagaimana diatur dalam peraturan KPU.
Kurang responsif
KPU juga dinilai kurang responsif terhadap surat peringatan dan rekomendasi yang disampaikan Panwaslu Kada terkait kekurangan atau kesalahan yang dilakukan KPU dan jajarannya. Setidaknya ada tiga faktor yang menyebabkan KPU bersikap kurang responsif.
“Pertama, masih minimnya pemahaman tentang azas transparansi penyelenggara pemilu. Kedua, arogansi KPU yang merasa lebih superior dari pengawas. Ketiga, kepentingan untuk menutupi kesalahan atau pelanggaran dalam pelaksanaan tahapan pemilu kada,” kata Wahidah.
Dikatakan, tindakan KPU seperti ini dapat menimbulkan serangkaian masalah yang memiliki implikasi serius. “Tindakan ini dapat memicu konflik, dan juga menimbulkan gugatan hasil pemilu ke MK. Proses pemilu yang tidak transparan dapat menimbulkan ketidakpercayaan rakyat terhadap legitimasi pemimpin yang dihasilkan, akhirnya dapat menimbulkan krisis kepemimpinan. Atau lebih serius lagi, ini dapat menimbulkan sikap apatis dan ketidakpercayaan rakyat terhadap proses demokrasi melalui pemilu,” jelas dia.
Ketidaksiapan anggaran juga dinilai menjadi kendala dalam melakukan pengawasan pemilu. Ketidaksiapan ini dalam arti luas, mulai dari ketidakpastian besaran anggaran, keterlambatan persetujuan anggaran, pencairan yang tidak tepat waktu, serta jumlah anggaran yang terbatas.
“Ketidakjelasan anggaran menyebabkan keterlambatan pembentukan panitia pengawas tingkat kecamatan dan PPL yang berarti menghambat pengawasan maksimal di kecamatan dan desa. Padahal, peran PPL dan Panwascam sangat penting untuk pengawasan tahapan awal, yakni pemutakhiran dan penetapan data pemilih. Ketidaksiapan juga menyebabkan pengawasan tak optimal karena kurangnya dukungan operasional untuk menjalankan rencana pengawasan, dan lainnya,” katanya. (sumber: www.kompas.com – 20 Desember 2010)