Bagian Terakhir dari Dua TulisanMembangun Tanpa Utang
Oleh Rizal Ramli*)
JAKARTA — Negara-negara yang mengikuti pola kebijakan neoliberalisme selama 40 tahun terakhir mengalami kemerosotan kesejahteraan, beban utang yang semakin besar, ketergantungan terhadap barang impornya semakin tinggi dan peningkatan gap antara yang kaya dan miskin.
Baru setelah tahun 2000-an banyak negara di Amerika Latin menolak liberalisme dan mencari alternatif lain mulai dari yang progresif, seperti Evo Morales (Bolivia), Hugo Chavez (Venezuela), sampai yang moderat, seperti Kirchner (Argentina) dan Veronica Michelle Bachelet Jeria (Cili).
Pertanyaannya, adakah model lain di luar model neoliberalisme yang diterapkan di Indonesia dan Filipina, negara yang termasuk tertinggal di Asia? Sudah tentu ada. Cukup banyak negara yang berhasil di Asia yang sama sekali bertolak belakang dengan model neoliberalisme.
Jepang, misalnya, berhasil menjadi raksasa ekonomi di Asia tanpa utang luar negeri dan modal asing yang sangat minimal. Jepang sepenuhnya mengandalkan mobilisasi tabungan dalam negeri untuk membiayai pembangunannya. Hal ini didukung dengan kebijakan industri yang agresif, yang mampu melipatgandakan ekspor Jepang di dunia. Dengan cara ini Jepang akhirnya bisa memperbesar kekuatan industri, menciptakan lapangan kerja, dan meningkatkan kesejahteraan rakyatnya.
Contoh lain adalah Tiongkok yang menjadi negara raksasa dengan pinjaman luar negeri sangat minimal, tapi memanfaatkan aliran modal asing untuk memperbaharui industri dan meningkatkan teknologi produksi.
Dengan tidak menggantungkan diri kepada pinjaman luar, Tiongkok memiliki kemandirian dan kebebasan untuk merumuskan kebijakan ekonominya semaksimal mungkin untuk kepentingan nasional dan rakyatnya.Tiongkok tidak perlu menggantungkan diri pinjaman luar negeri dengan menggadaikan UU-nya.
Jadi, ada contoh-contoh di mana kita bisa meningkatkan kesejahteraan rakyat dan bangsa tanpa menjual kedaulatan hanya untuk mendapatkan pinjaman luar negeri. Jangan sampai terjadi seperti zaman politik etis pada waktu penjajahan Belanda.
Belanda seolah-olah â€baik†dengan menyediakan pendidikan dasar, kesehatan dasar kepada rakyat Indonesia yang dibiayai dengan ampas-ampas hasil penjajahan. Tapi sari-sari dari penjajahan dalam bentuk ekspor gula, kopi, rempah-rempah, pertambangan, disedot ke negeri Belanda dipakai untuk membiayai industrialisasi negara Belanda.
Negosiasi Utang
Kejadian di masa penjajahan tersebut dapat berulang kembali jika pemerintah kembali â€melanjutkan†kebijakan neoliberal yang dianut selama lima tahun terakhir. Melanjutkan neokolonialisme, itulah yang terjadi.
Jalan tengah hanya melanjutkan apa yang terjadi di dalam lima tahun terakhir tidak lain dan tidak bukan adalah jalan banci, jalan AC/DC yang bertentangan dengan jalan yang telah dirumuskan oleh konstitusi Indonesia. Jalan tersebut tidak akan mampu membawa Indonesia menjadi negara besar di Asia, dan tidak akan mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat dan bangsa kita.
Lalu, bagaimana membangun tanpa utang? Membangun tanpa utang itu bisa dilakukan dengan efisiensi anggaran, APBN kita per tahun lebih dari Rp 1.000 triliun. Selama ini sepertiga dari anggaran itu digunakan untuk membayar pokok bunga dan cicilan utang. Sebagian besar dari utang tersebut telah dikorupsi oleh para pejabat pada masa pemerintahan yang lalu dan itu diketahui oleh Bank Dunia maupun negara kreditor.
Utang tersebut harus dinegosiasi ulang sehingga beban rakyat lebih kecil. Tapi, karena mental pejabat kita, Indonesia telah kehilangan tiga kali kesempatan untuk negosiasi, yaitu ketika transisi pemerintahan otoriter ke demokratis, kemudian perang melawan terorisme, dan ketika bencana tsunami.
Pejabat Indonesia tidak mau meminta potongan pokok dan bunga utang ketika ada kesempatan historis tersebut. Baru setelah ada tekanan publik dari Tim Indonesia Bangkit pada saat tsunami, barulah pejabat Indonesia meminta potongan utang tiga bulan kemudian ketika momentum perhatian dari seluruh dunia sudah nyaris hilang. Tidak aneh potongan hutang yang didapat sangat kecil.
Hemat dan Antikorupsi
Ketergantungan terhadap utang bisa juga dikurangi dengan mengubah pola pengeluaran pemerintah, terutama yang selama ini digunakan untuk pembelian barang-barang modal yang berjumlah sekitar Rp 400 triliun per tahun. Jadi, pemerintah tidak perlu lagi membiayai pembelian peralatan dan barang modal, seperti untuk membangun kantor instansi baru, pengadaan mobil pejabat, dan lain-lain yang perlu anggaran besar untuk pemeliharaan.
Untuk menggantikan barang modal tersebut, pemerintah cukup menggunakan sistem leasing (sewa-guna) dengan perkiraan biaya sekitar Rp 70 triliun saja. Dengan demikian, ada penghematan Rp 330 triliun per tahun dari dana APBN. Dana sebesar itu bisa digunakan untuk membangun jaringan kereta api Trans Sumatera, Trans Kalimantan, Trans Sulawesi, Trans Papua, dan berbagai proyek infrastruktur lainnya.
Ketergantungan pada utang bisa juga dikurangi secara drastis dengan cara perang terhadap korupsi, penegakan hukum tanpa tebang pilih, peningkatan efisiensi anggaran, dan penghentian pembelian mobil dan rumah pejabat serta pembangunan kantor-kantor pemerintah. Penghematan dan efisiensi ini hanya akan efektif jika didahului dengan reformasi birokrasi yang agresif. ***
*) Penulis adalah Pendiri Blok Perubahan, Mantan Menko Perekonomian RI
Sumber: Investor Daily