Mati Lemasnya Kesadaran Kritis!
Mudji Sutrisno
Mengapa kita sebagai konsumen mau dimanipulasi untuk terus membeli komoditi? Mengapa andaian (asumsi) bahwa kita makhluk rasional yang bisa melakukan pilihan-pilihan melalui kesadaran budi yang menimbang terus menerus “kalah” terhadap rayuan iklan komoditi?
Lalu mengapa pula kesadaran budi kita tidak berdaya menghadapi banjir visualisasi eksotis, hingga bila tidak membeli kita tidak bergengsi dan merasa diri tidak modern?
Tiga pertanyaan mengapa di atas membuat kita harus mempelajari hubungan antara kesadaran manusia; informasi dan keasingan. Informasi adalah sajian keterangan yang berfungsi memberi tahu seseorang mengenai “kebenaran sesuatu” misalnya info pemadaman listrik hari ini pukul 14.00 sampai 18.00 di wilayah gardu A,B,C lokasi tempat tertentu.
Setiap info memberi manusia pengetahuan kebenaran, yang bila terjadi betul pemadaman listrik sesuai jadwal yang diberitahukan, maka benarlah informasi itu. Informasi yang sesuai dengan kenyataan yang diberitahukan membuat kita mengiyakan informasi tadi.
Jadi fungsi informasi dikaitkan realitas yang diberitahukannya, kalau sesuai, wataknya adalah affirmative (mengenai atau mengiyakan). Ketika orang mengiyakannya, kesadaran manusia mengafirmasi bahwa demikianlah adanya atau as it is.
Namun kesadaran manusia dalam membaca fakta atau menerima informasi, karena proses terus menerus pendidikan yang mengamini dan menggugat, antara mengiyakan dan menanyakannya akan membawa kesadaran menjadi kesadaran kritis, sebagaimana sekolah kritis Frankfurt mengembangkannya.
Dalam proses mengiyakan dan menanyakan lagi dan lagi itulah, kesadaran manusia mendorongnya untuk mengubah pengetahuan atau info demi kepentingan si subjek pemilik kesadaran kritis itu.
Bila ia merubahnya, misalnya dari info bacaan realitas banjir lumpur, lalu tidak hanya mengomongkannya dan tidak hanya membentuk tim nasional tetapi praksis melaksanakan kesadaran kritis untuk memecahkannya dengan tindak mendiversifikasi lumpur, lalu membuangnya ke sungai, maka kesadaran kritis menjadi transformatif.
Transformatif, berarti men- siasati dengan cerdas budi dan kritisnya bencana menjadi tantangan, dan tantangan menjadi so- lusi yang bermanfaat. Bila manfaat itu sampai memberi solusi yang menyejahterakan dan bukan mencelakakan, maka disebutlah itu proses emansipasi. Sedang kesadaran kritisnya men-jadi kesadaran emansipatorik.
Tiga tahapan kesadaran budi manusia yaitu sekadar menyadari mengambilnya sebagai info; lalu kritis menanyakan dalam menggugat serta kritis emansipatorik; mengapa bertekuk lutut berhadapan banjir iklan?
Jawaban pertama, diberikan oleh Gramsci dan Lukacs (dalam kesadaran kelas proletariat serta kesadaran kritis) karena banjir info eksotis iklan itu membendakan atau reifikasi (membuatnya semua menjadi thing=benda; dari kata Latin yaitu res=thing dan facere artinya to make).
Jadi eksotisme iklan dalam industri kapitalis membuat apa saja menjadi benda termasuk kesadaran; termasuk mimpi atau kesenian-kesenian. Jadi dibekukanlah proses menjadi sadar dan menyadari secara kritis dalam reifikasi.
Pemberhalaan
Jawaban kedua kesadaran manusia dengan budinya yang cerdas dibuat tidur oleh apa yang disebut sebagai fetishisme atau pemberhalaan yang menumpulkan rasionalitas kritis.
Contohnya: kita berhalakan brand atau merk sepatu atau parfum tertentu sampai-sampai bila tidak memiliki-nya dan tidak memakainya kita merasa ketinggalan jaman. Lebih parah lagi bila kita lalu merasa tidak “pede”, tidak beridentitas diri lagi hanya karena tidak memakai merk sepatu itu.
Pemberhalaan ini amat tidak rasional muncul dalam fenomena demi beli merk sepatu atau tas itu begitu mahal (irasionalitas kemahalannya) ternyata tas itu “palsu”. Irasionalitas kedua dalam pemberhalaan ini adalah pertanyaan gugatan sederhana mengapa merk “Nike” (contoh) tidak diganti saja merk “Cicak” atau “Sawo Jajar”?
Jawaban ketiga untuk mengapa kita “takluk” adalah berlakunya kesadaran semu yang merupakan pembentukan pemberhalaan iklan dalam citraan-citraan yang masuk ke hasrat manusia hingga sublimasi yang seolah-olah menjadikan manusia kuat perkasa seperkasa idola iklan dengan ekstra kekuatan yang menaklukkan alam ganas, laut dahsyat hanyalah kenyataan-kenyataan seolah-olah atau semu hasil bentukan iklan yang mencipta kesadaran semu kita. Lalu di mana kesadaran kritis kita, di mana pula kesadaran emansipatik manusia sebagai buah pertimbangan rasionalitas cerdas kritis sejati yang menimbang dan memilih terus-menerus?
Manipulasi Semu
Jawabnya: manusia subjek dengan kesadaran kritis takluk dan bertekuk lutut dibentuk atau dikonstruksi oleh manipulasi semu irasionalitas dunia eksotis seolah-olah, namun nikmat yang terus disodorkan ke kita secara eksotis sehingga sublimasi hasrat kita terpenuhi.
Sebab, dunia iklan menyajikan sekaligus 3 sisinya yaitu pertama, tawaran pandangan gaya hidup untuk menghayati di dalamnya (yang bila ditimbang oleh kesadaran kritis akan terlihat bolong-bolong semuanya). Dunia iklan juga menawarkan janji mesias membuat hidup lebih sehat; lebih bugar dengan minum ekstra kuat jadi pria perkasa.
Kedua, paham nilai putihnya kulit itu lebih baik daripada hitam (iklan si putih). Ketiga, wacana retorika terus-menerus yang mengocok hasrat untuk membeli dan memiliki.
Ketiga sisi inilah yang merayu orang membawanya ke realitas semu tapi nikmat; namun mimpi sekaligus “nyata” di depan mata kita. Maka tertundukkanlah kesadaran budi kritis oleh kesadaran-kesadaran semu, sehingga diasingkan atau mengalami alienasi.
Dengan kata lain, hegemoni pencitraan dunia virtual inilah yang menjawab soal mengapa kesadaran kritis itu ditidurkan dalam kesadaran semu.
Alienasi inilah penyebab mengapa kaum cendekiawan yang diharapkan berkesadaran kritis untuk melakukan kritik terhadap ideologi dunia iklan tunduk terkulai.
Gramsci menjelaskan adanya cendekiawan tukang yang secara robot karena reifikasi ia memproduksi terus pikirannya tetapi tidak pernah mempertanyakan keadaan atau dirinya bahkan alienasi itu sendiri.
Sementara cendekiawan organik yang mentautkan diri secara organik dengan tata nilai partai hanya dengan susah payah tetap mampu mengkritisi sisi-sisi ideologis dan semu dari dunia kapitalis.
Herankah kita apabila dominasi pikiran dan tafsir kebenaran adalah keuntungan terus menerus mampu mengkonstruksi masyarakat kita dewasa ini?
Heran pulakah kita bila ada benih-benih kesadaran kritis buruh atau massa segelintir lalu diajak berunding dan diberi pesangon ganti rugi pendamai lalu tidak jadi menentang secara radikal?
Pada titik-titik pelumpuhan kesadaran kritis itulah, orang mengambil kesimpulan dalam hipotesis pengalaman – pengalamannya di dunia iklan kapitalis, yaitu ia sudah tidak menentukan dirinya lagi dalam pilihan-pilihan bebasnya sebagai subyek.
Dengan kata lain, manusia sudah dikonstruksi oleh dunia iklan, dalam citra, gaya hidup bahkan selera hasrat-hasratnya sudah dibentuk oleh dunia iklan konsumtif.
Di sinilah manusia pencerahan dengan subjektivitas rasional menentukan pilihan-nya sendiri dalam “libertas” atau kebebasan sungguh-sungguh mengalami tantangannya! Di sini pula pendidikan kesadaran kritis untuk proses-proses emansipasi mengalami perumusan pencarian pergulatannya kembali?
Sebab bila pengetahuan hanya memberitahu dalam info lalu membuat senang dalam infotainment tetapi tidak memberi pengetahuan yang menciptakan emansipasi bahkan melumpuhkan kesadaran kri-tis maka yang terjadi adalah pendangkalan dan pembodohan masyarakat.
Lalu kapan mentari pencerahan akan terbit dalam alienasi dunia iklan kapitalis dan citraan gaya hidupnya yang eksotis mahal sekali dan hanya kelas berduitlah yang bisa membelinya sementara masyarakat banyak hanya menjadi penonton yang tergiur terus-menerus yang menonton selama hidupnya dalam konsumerisme global ini!
Penulis adalah Budayawan
Sumber: Suara Pembaruan Daily, 26 Oktober 2006