Konversi Tanaman Karet ke Sawit di Pulau Nias Dipertanyakan
Anggota DPRD Sumatera Utara Sudirman Halawa mengungkapkan, pihaknya mendapatkan banyak informasi mengenai kegiatan konversi tersebut dari sejumlah petani di Pulau Nias.
“Laporan dari petani di Nias, Nias Utara, Nias Barat, Nias Selatan dan termasuk Gunung Sitoli, ada kesan warga diarahkan mengganti tanaman karetnya ke sawit. Petani diberi bibit sawit gratis dan rencana konversi itu mengkhawatirkan DPRD Sumut,†ujar Sudirman di Medan Minggu (19/2/2012) seperti dikutip dari Antara.
Menurut dia, ada indikasi bahwa pemerintah daerah di Pulau Nias dan provinsi mengarahkan para petani mengkonversi tanaman karet mereka ke tanaman kelapa sawit. Padahal, selama ini daerah Pulau Nias sudah dikenal sebagai penghasil karet dan juga minyak nilam.
“Belum pernah ada dikenal tanaman sawit di Nias dan kalau tiba-tiba disuruh konversi ke sawit apa hal itu tidak mengkhawatirkan,†tanya dia.
Menurut dia, selama ini sebagian besar masyarakat di Pulau Nias mengandalkan pendapatn dari hasil kebun karetnya. Di sisi lain, menurut dia, anjuran dan kesan memaksa petani mengganti tanaman karet mereka dengan kelapa sawit juga tidak memiliki atau berdasarkan kajian ilmiah.
“Saya sebagai anggota DPRD Sumut dan berasal dari Nias akan mempertanyakan ke pemerintah Nias dan Sumut soal adanya kesan mengarahkan petani mengonversi tanaman karet ke sawit,†tegas dia.
Sudirman menjelaskan, saat ini banyak bibit kelapa sawit yang dibagikan ke warga tapi tidak jelas apakah berasal dari Dinas Perkebunan atau kelompok lain. Namun, sejauh ini, kata dia, berdasarkan pengamatan di lapangan, sebagian besar petani masih ragu untuk mengganti tanaman karet mereka dengan kelapa sawit dengan alasan takut tidak berbuah sesuai yang diperkirakan.
Para petani, kata dia, juga takut kehilangan pendapatan di tengah harga getah yang tidak stabil. Saat ini, harga karet di Pulau Nias masih pada Rp12.500 – Rp16.000 per kg.
Sementara itu, Ketua Kelompok Petani Karet Fanayama di Nias Selatan Restu Kurniawan mengakui adanya kesan pengarahan petani untuk mengonversi tanaman karet ke sawit.
Kekuatiran atas konversi tanaman karet ke tanaman kelapa sawit tersebut juga diungkapkan oleh Sekretaris Eksekutif Gabungan Perusahan Karet Indonesia (Gapkindo) Edy Irwansyah. Dia mengakui, sejak dulu Pulau Nias menjadi salah satu satu pemasok utama karet ke pabrikan Sumut. Karet asal Pulau Nias juga termasuk bermutu bagus.
“Pabrikan banyak yang tertarik membeli getah petani dari Nias dan kalau Nias tidak menjadi sentra produksi karet lagi, maka pasokan karet ke Sumut semakin ketat dan itu mengancam kelangsungan ekspor golongan barang tersebut yang tercatat pemberi terbesar nomor dua setelah lemak dan minyak hewan/nabati di dalam penerimaan devisa Sumut setiap tahunnya,†jelas dia. (EN/*)
yahowu…!
sebaiknya melakukan konversi boleh saja.tetapi memberi pemahaman kepada masyarakat, melakukan konversi karet ke sawit itu tidak mudah.. harusnya disertai kajian ilmiah. apakah cocok tanahnya digunakan dg tanaman sawit? kalau kita boleh tau, mengapa dan apa manfaat dari konversi ini kedepan?
menurut sy, bisa saja tanaman sawit di kembangkan di nias dengan menggunakan lahan y masih kosong tanpa harus menebang pohon2 karet yang sudah ada..
trims..
Secara pribadi saya sebagai putra nias sangat tidak setuju dengan konversi tanaman karet ke sawit. Belajar dari daerah lain, misalnya Kalimantan, sawit sangat memiliki dampak yang buruk bagi lingkungan. Saya meyakinkan Anda soal ini karena saya melihat sendiri dampak akhir dari sawit ini.
Seorang pastor yang bertugas di Kalimantan bercerita bahwa tanaman sawit amat memberi dampak buruk secara sosial dan lingkungan. Debit air di dalam tanah dimonopoli oleh tanaman sawit. Akibatnya, tanaman-tanaman lain di sekitar tanaman sawit tidak tumbuh secara baik dan bahkan mati. Rantai makanan pun terputus. Akibatnya populasi binatang tertentu menjadi besar, sementara yang lain menjadi punah.
Mungkin artikel ini bisa menjadi pertimbangan atas penolakan terhadap konversi tanaman karet ke tanaman sawit.
DAMPAK SOSIAL DARI KELAPA SAWIT DI BORNEO: http://world.mongabay.com/indonesian/borneo-sawit.html
Saya menghimbau Gereja dan masyarakat harus berani berkata TIDAK TERHADAP SAWIT. Lebih dari itu, penyadaran kepada para petani akan bahaya konversi ini harus dilakukan!
Pembodohan terhadap masyarakat hendaknya dihentikan.
P. Sebastianus Bu’ulolo, CM
Saya gak habis pikir akal sehat anggota DPRD Sumut ini, kok kurang kerjaan mempertanyakan petani mau tanam apa kek, selama kebun itu miliknya (perkebunan inti rakyat), kita gak punya hak lah mempertanyakan itu. Hukum ekonomi permintaan penawaran secara tidak langsung sudah melekat kepada petani pemilik tanah dunk. Bandingkan harga CPO dengan Karet sangat jauh perbedaannya. Masa produksi Sawit jauh lebih lama dibandingkan karet. usia panen juga demikian. Selama tanahnya cocok untuk sawit juga, kenapa tidak dicoba, demi untuk peningkatan taraf ekonomi petani, dari pada mempertahankan karet, yang harganya terus merosot. apa mau nyumbang gajinya untuk ongkos produksi, hehehe.
konversi karet ke sawit di pulau nias agar dikaji ulang. segi positif konversi : memutuskan rantai penyakit tan kret sep JAP. Mengembalikan tekstur tanah (olah tanah) dll. Negatif konversi : memutuskan rantai ekonomi petani yg sdah susah ketimpa tangga lgi, perkbnan milik rakyat bkan pemerintah/swasta. Solusi yg terbaik, pemerintah memberi contoh tan. k.sawit yg dipusatkan 1 tmpat & tnah Pemda mis.nya, pemasaran TBS. btul tdaknya, PTPN sdah prnah mencoba pengembang ke P.Nias, namun gagal krna areal minim.
sbgai informasi, PKS ada minimal 5000 ha tan. k.sawit dngan kapasitas olah 30 ton/jam + TBS masyarakat. andaikata TBS dikirim keluar P.Nias, hrga sdah bsa dibaca krna potong angkut/transport.
Maaf, saat ini blum tergiur n kmi blum siap u/ konversi ke sawit.
Namun bila Pemda membutuhkan (positif thinking), Sya siap membantu Pemel s/d prod tan.sawit. sumber benih dan teknis pembibitan sya siap siapa saja yg membutuhkan.
Silahkan inbox ke masa_eli@yahoo.co.id mllui facebook.
tksh. Ya’ahowu !!!
Kepulauan Nias harusnya bersyukur kepada TUHAN, telah memberikan potensi kekayaan alam yang luar biasa besarnya. puluhan tahun, bahkan ratusan tahun, kekayaan alamnya sudah digalih dan dimanfaatkan, namun rakyatnya masih juga pra sejahtera. Apa yang salah di tano niha ini?, yang salah tak sejalan visinya, tak sepikir, tak sejiwa, dan tak sehati, dalam membangun, antara : Rakyat, Wakil Rakyat, PEMDA, Pengusaha. Cenderung berjalan sendiri-sendiri tanpa arah yang jelas, akibatnya, berimplikasi kepada banyaknya rakyat pra sejahtera. Sarana Akses sulit, perputaran ekonomi hanya digerakkan sektor konsumsi, dan belanja PNS, gak heran PNS menjadi primadona di ori kita ini, akibat sulitnya mencari pekerjaan. Merantau ke negeri orang adalah kesempatan untuk meraih sukses, ini yang ada dibenak sebagian rakyat Nias, termasuk saya ini. Pemerintah dan Wakil rakyat Nias, gak pernah berpikir bagaimana ekonomi di kepulauan Nias ini bergulir dengan baik, tak hanya mengandalkan sektor hulu, tapi yang amat penting dibangun sektor hilir, agar menambah value added dimasyarakat, bagaimana menciptakan pasar di Nias, ketahanan pangan, menekan laju inflasi, dengan menjamin sistem pasokan baik dari dalam maupun dari luar kepulaun Nias. Produk apapun yang kita unggulkan, apabila kita masih berkutat pada sektor hulunya saja, kita sulit untuk maju, karena kita hanya dapat mensuplai bahan baku saja ke luar Nias, akibatnya, harga sangat dipengaruhi oleh ongkos kirim, transportasi. Para Bupati, Walikota dan Wakil-wakil Rakyat diseluruh kepulauan Nias, harusnya sudah membuat satu instrumen, bagaimana menciptakan pasar karet di kepulauan Nias kalo memang itu sektor primadonanya, jadi bukan lagi kita yang bersusah payah kirim bahan baku karet ke luar Nias, akan tetapi bagaimana konsumen luar yang datang berupaya ke Nias untuk melakukan transaksi karet, yang sudah dikemas paling tidak bahan setengah jadi seperti crumb rubber, atau kalo memang niatnya akan mensejahterahkan rakyatnya, bangun industrialisasi karet, untuk kebutuhan dalam negeri dan ekspor, itu baru saya acungin jempol buat penguasa dan wakil rakyat Nias.
yes
Saya setuju bung Adi Iskandar, amat perlu diperhatikan Pemda. Dulu pada saat zaman penjajahan ataupun setelah Proklamasi 17 Agustus 1945 di Keluarahan Ilir (Kampung Baru) bersebelahan dengan kuburan di Sifadolo Kota Gunungsitoli ada pabrik Karet seperti yang ada di Sarudik Kota Sibolga, kenapa tidak dimanfaatkan ?. Karet dan sawit merupakan beberapa unggulan komoditi Indonesia yang dari masa ke masa pasti dibutuhkan dunia. Membangun pabrik kedua komoditi ini tidak memerlukan investasi besar dan teknologi yang canggih. Harapan saya dimulai dari yang sederhana, kecil dan bermanfaat untuk masyarakat. Bukankah tujuan pemekaran salah satunya untuk mempercepat tercapainya kesejahteraan rakyat. Semoga dimulai sebelum terlambat, dari yang kecil, mulai sekarang dan dari diri sendiri (kalangan Pemda), Semoga,,,, Yaahowu,,,,,!
kebijakan yang sangat disayangkan dan juga menyedihkan dari Pemda2 Kepulauan Nias. bukannya komoditas lokal Kepulauan Nias yang dikembangkan malah mendatangkan komoditas dari luar daerah yang belum tentu baik bagi masyarakat tani dipandang dari berbagai aspek. saya khawatir program ini nantinya sarat akan proyek pendulang uang bagi kantong-kantong pejabat, kenapa tidak?…agar pembudidayaannya baik adanya, maka pemerintah dapat membuat program pelatihan kepada petani yang difasilitas oleh pemerintah dengan mengucurkan dana sedemikian besar dan dari dana itu sepotong demi sepotong masuk ke kantong..dan juga dengan kegiatan lainnya…banyak komoditi andalan pulau nias seperti kelapa, karet, pisang, kopi, nilam..kenapa bukan teknologi terapan olahan hasil produk2 tersebut yang dikembangkan?…memang….by Cornellyus Waruwu..
anggota DPRD di Kepulauan Nias khususnya DPRD Nisel, entah tahu mereka dampak buruk dari kebijakan ini…menurut saya tidak tahu sama sekali..heheh karena terkait juga dengan kualitas….