Lahir di Luar Nikah, Anak & Ayah Biologisnya Tetap Punya Hubungan Keperdataan
Pembacaan putusan dengan nomor Nomor 46/PUU-IX/2011 tersebut dibacakan oleh Ketua MK Moh. Mahfud MD didampingi delapan hakim konstitusi lainnya di Ruang Sidang Pleno MK, di Jakarta, Jum’at (17/2/2012).
Dalam putusannya yang dibacakan Ketua MK Mahfud MD menjelaskan, pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunyaâ€, tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya.
“Sehingga ayat tersebut harus dibaca, ‘Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya’,†ucap Mahfud membacakan amar putusan seperti dikutip dari situs MK.
Pada bagian pendapat mahkamah yang dibacakan Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi menjelaskan, pokok permasalahan hukum mengenai anak yang dilahirkan di luar perkawinan adalah mengenai makna hukum (legal meaning) frasa “yang dilahirkan di luar perkawinanâ€.
Secara alamiah, jelas dia, tidaklah mungkin seorang perempuan hamil tanpa terjadinya pertemuan antara ovum dan spermatozoa baik melalui hubungan seksual (coitus) maupun melalui cara lain berdasarkan perkembangan teknologi yang menyebabkan terjadinya pembuahan.
Oleh karena itu, papar Fadlil, tidak tepat dan tidak adil manakala hukum menetapkan bahwa anak yang lahir dari suatu kehamilan karena hubungan seksual di luar perkawinan hanya memiliki hubungan dengan perempuan tersebut sebagai ibunya.
“Adalah tidak tepat dan tidak adil pula jika hukum membebaskan laki-laki yang melakukan hubungan seksual yang menyebabkan terjadinya kehamilan dan kelahiran anak tersebut dari tanggung jawabnya sebagai seorang bapak dan bersamaan dengan itu hukum meniadakan hak-hak anak terhadap lelaki tersebut sebagai bapaknya,†jelas dia.
Fadil menambahkan, hubungan anak dengan seorang laki-laki sebagai bapak tidak semata-mata karena adanya ikatan perkawinan, akan tetapi dapat juga didasarkan pada pembuktian adanya hubungan darah antara anak dengan laki-laki tersebut sebagai bapak. Dengan demikian, terlepas dari soal prosedur/ administrasi perkawinannya, anak yang dilahirkan harus mendapatkan perlindungan hukum.
“Jika tidak demikian, maka yang dirugikan adalah anak yang dilahirkan di luar perkawinan, padahal anak tersebut tidak berdosa karena kelahirannya di luar kehendaknya. Anak yang dilahirkan tanpa memiliki kejelasan status ayah seringkali mendapatkan perlakuan yang tidak adil dan stigma di tengah-tengah masyarakat. Hukum harus memberi perlindungan dan kepastian hukum yang adil terhadap status seorang anak yang dilahirkan dan hak-hak yang ada padanya, termasuk terhadap anak yang dilahirkan meskipun keabsahan perkawinannya masih dipersengketakan,†tandas dia.
Sementara itu, alasan yang berbeda (concuring opinion) disampaikan Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati. Menurut dia, Pasal 43 ayat (1) UU 1/1974 yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya†menyebabkan adanya potensi kerugian yang akan ditanggung oleh si anak.Sebab, dengan pasal tersebut telah menutup kemungkinan bagi anak untuk memiliki hubungan keperdataan dengan bapak kandungnya. Hal itu memang merupakan risiko dari perkawinan yang tidak dicatatkan atau perkawinan yang tidak dilaksanakan menurut UU 1/1974. Tetapi, tidaklah pada tempatnya jika anak harus ikut menanggung kerugian yang ditimbulkan oleh tindakan (perkawinan) kedua orang tuanya.
Permohon uji materi atas pasal tersebut diajukan oleh Machica Mochtar, istri siri dari mantan Mensesneg (alm) Moerdiono. Karena menikah siri, anak laki-laki dari perkawinan mereka M Iqbal Ramadhan tidak mendapat nafkah dari mantan pejabat era Soeharto tersebut.
Machicha dan Moerdiono menikah siri pada 20 Desember 1993 dan bercerai pada 1998. Pada Juli 2008, seperti dikutip dari detik.com, keluarga besar Moerdiono mengadakan jumpa pers, yang isinya tidak mengakui Iqbal sebagai anak Moerdiono. Selanjutnya, pada 2010, mengajukan uji materi atas UU Perkawinan tersebut untuk mendapatkan pengakuan status hukum anaknya.
Machica Mochtar sendiri sangat puas dengan putusan MK tersebut. Dia menyebut putusan tersebut sebagai kemenangan bagi anak-anak Indonesia lainnya yang bernasib serupa dengan anaknya. Sebab, dengan putusan itu, kini negara harus mengakui anak yang lahir di luar pernikahan terkait hak-hak keperdataan dengan ayah biologisnya.
“Ini bukan hanya kemenangan buat Iqbal tapi kemenangan buat anak lain di. Mereka kini mendapat hak yang seharusnya didapat,” jelas Machica. (EN/*)