Menanti Debat Berkelas
Margarito Kamis*
Andaikan pemilu presiden hanya beresensi memilih seseorang untuk memimpin pemerintahan, maka gagasan-gagasan para capres yang disampaikan dalam debat, menjadi tidak terlalu penting untuk dikenali dan disimak. Namun, siapa pun mengerti bahwa presiden bukan sekadar kepala pemerintahan. Dalam dirinya, presiden juga adalah seorang kepala negara, yang sesuai sifatnya, ia, mungkin ekstrem, adalah sumbu kekuatan, keagungan, dan martabat bangsa, sekaligus sumbu keadilan.
Bung Karno, presiden kita yang pertama, memberi gambaran yang baik sekali tentang apa yang sejatinya menandai kualifikasi seorang presiden. Bukan soal kemampuan oratorisnya, melainkan luasnya perspektif yang terkandung dalam gagasan-gagasannya. Tidak usah menunjuk satu demi satu bukti tentang hal itu, tetapi siapa pun tahu bahwa gagasannya berkelas dan berkarakter.
Abraham Lincoln, Presiden Amerika Serikat yang ke-16 (1861-1865) juga adalah seorang presiden yang berkelas. Ucapan dan tindakannya menjadi jembatan emas yang meluluhlantakkan sekat sosial yang membelah formasi sosial, politik, ekonomi, dan budaya bangsanya menjadi kelas orang-orang merdeka di satu pihak berhadapan dengan kelas orang-orang budak, miskin dan bodoh di lain pihak. Government of the people, by the people and for the people, yang begitu melegenda adalah kata-kata berkelas. Kata-kata itu bukan sekadar menegaskan kredo pemerintahan demokratis sejati, melainkan dalam kesejatian itu, menandai penolakan terhadap pembelahan ras dalam kehidupan berbangsa kala itu (James M McPherson, 2004). Itulah elan kepresidenannya. Itulah kebesarannya.
Terabaikan
Karena tak terjadi pertukaran gagasan secara kritis, imajinatif, inovatif, dan kreatif, maka gagasan yang mengalir deras dalam debat itu, bukan hanya terlampau datar, melainkan sesungguhnya tak berkandungan harapan tentang hari esok yang lebih bergairah di bawah kepemimpinan mereka, kelak bila satu di antara mereka terpilih menjadi presiden. Mungkin berlebihan, tetapi rasanya debat itu lebih tepat untuk ditandai sebagai pemaparan visi dan misi para capres.
Padahal, tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih serta supremasi hukum, yang menjadi tema sentral dalam debat itu, betapa pun telah sangat sering hinggap di telinga kita, namun akan sangat produktif bila dielaborasi secara singkat, padat, sekaligus mengagumkan. Akan sangat berguna bagi pemilih bila para capres mengelaborasi, katakanlah, betapa mengerikannya tata kelola pemerintahan yang kotor. Studi Ong Hok Ham (2002) tentang ambruknya VOC yang galak itu, karena para penyokong utamanya berkelakuan buruk dalam mengelola perusahaan itu. Kebobrokan birokrasi itu pulalah yang mengakibatkan kita hampir saja bangkrut sebagai bangsa dipenghujung pemerintahan Presiden Soeharto.
Akan sama bagusnya, bila para capres tersebut menandai se- cara terbuka pangkal proses pembusukan tata kelola pemerintahan, bahkan hukum itu sendiri. Tanpa mesti di dramatisasi, tetapi pemilih yang bertebaran di seluruh Indonesia mungkin akan bergairah bila para capres, mengungkap, katakanlah efek penyanderaan birokrasi kotor terhadap cita-cita bangsa. Misalnya dengan mengatakan bahwa birokrasi yang kotor telah membunuh mimpi setiap anak bangsa untuk menatap, berlomba dan menggapai hari esok yang manis. Birokrasi kotor justru menjadi mesin pembunuh yang paling ampuh bagi sebuah bangsa. Faktanya bisa dilacak hingga Yunani dan Tiongkok kuno.
Soal hukum yang, walaupun dikenali dengan lumayan bagus secara teknis oleh para capres, dengan membedakan hukum dan penegakan hukum sebagai dua isu yang berbeda secara substansial, tetapi rasanya pemilih tidak memperoleh perspektif edukasi yang menggembirakan. Mengapa? Soalnya hanya dibatasi pada kesejahteraan penegak hukum yang tak memadai. Tak terlihat sama sekali elaborasi singkat, tetapi fokus, tentang, misalnya nilai dan orientasi, serta letak komplikasi politik dan manajerial yang menyandra setiap langkah pembaruan penegakan hukum kita sepanjang sejarahnya.
Akan sangat membantu pemilih menentukan sikapnya kalau mereka berani menyatakan bahwa komplikasi terbesar dan terberat dalam penegakan hukum kita sepanjang sejarahnya, terletak pada rendahnya leadership, baik di level politik maupun teknis institusional. Manajemen politik abu-abu dalam penegakan hukum, itulah yang mengakibatkan, untuk sebagian menjadi pangkal dari semua kegagalan pembaruan penegakan hukum kita. Sayangnya, titik singgung kedua hal yang begitu terang benderang tersebut tidak tersentuh sama sekali.
Panggung debat menjadi tak bergairah bu- at pemilih ketika panggung itu hanya digunakan untuk mengemukakan persoalan dan pemecahannya secara teknis. Sungguh pun itu penting, tetapi jauh lebih penting bagi seorang capres untuk mendemonstrasikan kebesaran personaliti, terutama kapasitas moralnya, baik sebagai seorang individu maupun sebagai seorang calon presiden dalam membedah setiap peresoalan.
Di titik itu, mungkin pemilih yang menonton dengan tekun dan menyimak dengan penuh harap debat malam itu, akan sangat bergairah bila, misalnya para capres merespons persoalan lumpur Lapindo dengan meneguhkan penghayatan mereka atas sisi-sisi kemanusiaan. Siapa pun akan tersentak bila, misalnya para capres membuka jawabannya dengan pernyataan keprihatinan yang mendalam atas terusiknya sisi-sisi kemanusian yang tergerogoti selama ini.
Rumah mereka, permanen atau tidak, yang hanyut dan hilang ditelan lumpur, dan kini sebagian masih harus berjuang memperoleh penggantinya, bukanlah perkara kecil. Sen demi sen mereka kumpulkan sampai menghasilkan rumah itu. Bahkan, sebagian di antara mereka harus menanggung utang demi rumah yang hilang itu. Bencana atau bukan, mungkin penting untuk dikonstruksi, tetapi satu hal; mereka kehilangan tempat berteduh, tempat membesarkan, dan membina keluarga. Bukankah ini merupakan sebuah persoalan dasar bagi kehidupan berbangsa dan bernegara?
Mengapa ini perlu dikemukakan? Derajat kepemimpin seseorang tidak hanya ditentukan oleh kecerdasannya, tetapi turut ditentukan oleh seberapa bening dan kuat empatinya pada soal-soal kemanusiaan. Ketegasan dan kecepatannya dalam mengambil keputusan, juga turut ditentukan oleh bobot keyakinan terhadap keagungan nilai-nilai kemanusiaan.
Kehebatan mesin perang mungkin merupakan satu barometer ketangguhan sebuah negara, dan karena itu diperlukan. Respons yang bersifat teknikal terhadap masalah ini tentu benar. Namun, akan sangat mengagumkan kalau para capres meresponsnya dengan menempatkan rasa kemanusiaan dan martabat bangsa sebagai bagian dari jantung persoalan ini. Mengapa? Berapa banyak sudah istri para prajurit yang menjanda, dan berapa pula anak-anak mereka yang mesti menjadi yatim, gara-gara keroposnya alutsista?
Bukankah Republik ini pernah memiliki kebanggaan di tahun 1960-an dengan alutsista yang mampu mengundang decak kagum negara tetangga. Kita, bukan hanya berbangga, tetapi merasa cukup bermartabat. Kini, rasa itu terluka. Dalam kasus Ambalat, Malaysia, bangsa dan negara serumpun dengan kita, mungkin tidak sombong, tidak pula sedang menguji kemampuan dan kesabaran kita, tetapi yang pasti, republik tercinta ini sempat menjadi bulan-bulanan, dan merasa rendah diri atas manuver, yang sesungguhnya hanya kecil-kecilan itu.
Debat-debat berikut, betapa pun bukan merupakan debat antara para filosof ilmu politik, ekonimi dan hukum, melainkan debat para para politisi, baik antarsesama capres atau antarsesama cawapres, mestinya disuguhi perspektif, yang bukan hanya luas dan bersifat teknikal, tetapi menjanjikan harapan dan kebanggaan.
Pemilih pasti merindukan debat-debat yang berkelas, karena atmosfir argumennya, refleksi kemanusiaannya serta jangkauannya yang jauh ke depan. Semoga.
*) Penulis adalah Doktor Hukum Tata Negara. Dosen Fakultas Hukum Universitas Khairun Ternate
Sumber: Suara Pembaruan