Mengelola Kebebasan – Bagian 3

Sunday, January 4, 2009
By nias

x`Oleh: Mathias J. Daeli

III. Tekad Berdasar Kesadaran
Pada bagian II kita telah mengetahui gambaran cita-cita berdasar kesadaran. Konsekwensi logis dari pengetahuan itu “tekad” untuk merai yang dicita-citakan itu, juga harus berdasar kesadaran. Umum memahami “tekad” memiliki pengertian sebagai sikap yang kokoh, kebulatan hati, untuk berbuat meraih yang diinginkan. Dalam kehidupan sehari-hari, ada tekad yang berdasar kesadaran dan ada tekad tanpa kesadaran. Tekad tanpa kesadaran lebih bersifat emosional, timbul semata-mata didorong aspek-aspek kebutuhan (need, drive, and motive) manusiawi. Tekad tanpa kesadaran diungkan dalam kehidupan sehari-hari dengan kalimat peribahasa : Lebih baik mati dari pada malu. Peribahasa yang bermakna sama juga ada pada masyarakat Ono Niha: Aoha mate moroi na aila. Sedangkan tekad yang didasarkan pada kesadaran merupakan sikap disertai perbuatan sebagai refleksi pengetahuan, keyakinan-keyakinan, pengalaman-pengalaman, dan asumsi-asumsi dasar dari pemilik cita-cita.

Di antara motivasi pemberian otoritas kepada kabupaten atau kota melalui otonomi adalah diharapkan agar dapat mengembalikan dan mengembangkan harga diri daerah-daerah. Yang pada intinya daerah diharapkan bergerak melaksanakan pembangunan daerahnya atas dinamikan masyarakat daerah itu sendiri dan dapat bergerak atas kekuatan sendiri. Dengan perkataan lain, daerah dituntut kesadaran untuk melaksanakan pembangunan atas pertimbangan skala prioritas kebutuhan di daerahnya dan unsur keadilan.

Budaya adalah buah budi manusia. Meskipun pengaruh budaya dalam pembangunan tidaklah merupakan satu-satunya faktor penentu dari gerakan masyarakat, dan juga bukan merupakan kekuatan-kekuatan otonom, tetapi tentu saja merupakan ramuan yang sangat penting dalam menentukan pilihan di antara berbagai arus gerakan yang dapat dipilih. Karena itu, pemekaran menjadi suatu kesempatan demokratis untuk menegaskan kedudukan serta fungsi kebudayaan, baik di dalam usaha bersama untuk mengembangkan kebudayaan pada umumnya, maupun di dalam usaha mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional, agar dijadikan pedoman dalam menghadapi permasalahan kini dan yang akan datang. Permasalahan itu ditentukan oleh tiga soal pokok : pertama, soal identitas kita sebagai suku bangsa dalam negara Indonesia, kedua soal kebudayaan kita dalam rangka usaha mewujudkan cita-cita nasional, dan ketiga soal kemampuan dan kesanggupan kita menghadapi pengaruh era globalisasi (lihat : Sebaiknya Yang Kita Lakukan oleh Mathias J. Daeli, juga dalam Situs ini).

Masyarakat Ono Niha adalah subjek sekaligus objek pembangunan, seperti juga suku-suku lainnya , memiliki budaya signifikan yang pada intinya menunjukkan identitas, ciri, atau kekhasan Ono Niha . Ketika mengartikan manusia sebagai subjek dan objek dari proses pembangunan, maka identifikasi dari identitas, ciri, atau kekhasan komunitas menjadi teramat penting dan strategis. Karena itu, pelaksanaan otonomi merupakan saatnya Ono Niha bertanya pada diri sendiri mengenai budaya signifikan yang menunjukkan identitas, ciri, atau kekhasan Ono Niha itu dalam hidup berbangsa dan bernegara Indonesia. Gagasan mengenai identitas muncul dari cara memandang terhadap budayanya dan juga terbentuk oleh cita-cita, angan-angan serta tujuannya. Sehingga dengan pertanyaan itu, diharapkan akan menimbulkan tekad, menumbuhkan kekuatan dan menjadi pedoman menghadapi masalah dilingkungan sendiri maupun nasional.

Sebaliknya dapat terjadi akibat yang tidak dinginkan sama sekali apabila struktur masyarakat adat kesulitan menghubungkan diri dengan perubahan dampak kemajuan ilmu pengetahuan teknologi. Yang selanjutnya akan timbul banyak kekhawatiran dan ketidakpastian, yang dalam hal-hal tertentu juga mengakibatkan timbulnya krisis identitas. Kalau krisis identitas terjadi, maka jawaban terhadap pertanyaan gambaran dirinya sendiri “Siapakah saya ini ? “ dan, “Ingin jadi apakah saya ini?” menjadi kabur dan berkeping-keping. Pertanyaan-pertanyaan seperti, “Pada siapa atau pada apa kita harus patuh ?” Siapa pula yang dapat kita contoh ? Pola tingkah laku mana yang harus diambil atau disesuaikan ?”, semuanya ini telah kehilangan jawabannya yang jelas. Dan jawaban-jawaban yang baru serta memuaskan tidaklah mudah diperoleh.

Setiap perjuangan memiliki strategi dan taktik untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Pada organisasi yang benar, strategi “tetap” meskipun “taktik” berubah-ubah – sesuai situasi dan kondisi yang hidup. Namun perubahan taktik ini pun tidak seenaknya. Artinya : perubahan taktik tidak boleh bertentangan dengan moral yang hidup dalam masyarakat dan kemanusiaan. Jangan terjadi “the ends justify the mean” atau “tujuan menghalalkan segala cara”.

Tanõ Niha telah mekar : 4 (empat) Kabupaten dan 1 (satu ) Kota Gunung Sitoli. Pemekaran diinginkan agar cita-cita masyarakat Ono Niha, tentu dalam koridor cita-cita dan tujuan nasional, melalui otonomi dengan adil dapat diraih. Maka menjadi pertanyaan : Apakah Tanõ Niha (setidaknya Kabupan Nias (induk) dan Kabupaten Nias Selatan) telah memiliki strategi dalam perjuangan meraih tujuan yang hendak dicapai ? Jelas Kabupaten Nias Barat dan Kabupaten Nias Utara, Serta Kota Gunung Sitoli belum memiliki. Pengajuan pertanyaan seperti ini bukan bertujuan untuk mengetahui : telah ada atau belum ada “strategi” itu. Tetapi bertujuan untuk menunjukkan posisi “strategis” dalam perjuangan pembangunan. Menyusun strategi pembangunan memang bukanlah pekerjaan mudah. Strategi merupakan refleksi keyakinan-keyakinan dan asumsi-asumsi dasar yang ingin diperjuangkan. Meliputi berbagai hal tentang : kemanusiaan, ilmu dan teknologi, ekonomi, politik, seni budaya, dan etika. Karena itu, peranan kaum intelektual, terutama di tataran birokrat dan para pemimpin masyarakat sangat penting untuk memproleh kesepahaman. Dalam hubungan ini, perbuatan pemimpin daerah yang menyerahkan dan atau mempercayatakan nasib daerahnya kepada orang lain (sesorang atau kelompok) bukan strategi malahan tidak etis serta menyimpang dari dari tujuan otonomi , seperti telah disinggung di atas.

Kesadaran mengenai pengalaman pembangunan pada masa lalu merupakan bagian dari tekad melaksanakan pembangunan dalam era otonomi. Kesadaran mengei ini perlu untuk memperbaiki sikap dan perbuatan pada “masa kini” demi merintis pembentukan “masa depan”. Persoalannya : bagaimana harus berbuat ?

Bagi yang peduli pembangunan di Tanõ Niha, pengalaman pelaksanaan pembangunan pada masa lau memang terasa ”menyakitkan”. Dalam alam otonomi, sisi negatif pengalaman itu ditekadkan tidak perlu menguras tenaga memikirkannya. Juga hal itu bukanlah alasan untuk mencari kambing hitam. Tetapi sebaliknya, warisan sisi-sisi gelap masa lalu yang tak sepenuhnya kita kenali, sekarang (dalam keadaan otonomi) kita gali untuk mengenalinya. Berusaha membuka tabir dalam usaha menyelidiki dasar sebab-sebab ketertinggalan itu sehingga terbuka jalan yang tepat dalam melakukan perubahan-perbaikan. Dan tidak menutup kemungkinan melakukan perubahan fundamental. Apabila bersikap demikian, sisi gelap pembangunan selama ini, bagi Ono Niha tidak menutup harapan, melainkan menjadi motivasi tekad berjuang gigih supaya pengalaman itu tidak terulang dan pembangunan terlaksana dengan adil. Ono Niha , mau tidak mau harus sadar dan berbuat untuk: pertama berusaha mengatasi rintangan-rintangan yang berakar dalam budayanya sendiri, dan yang menghalangi pembangunan, dan yang kedua membangkitkan kembali atau memupuk unsur-unsur di dalam kebudayaannya yang memudahkan tercapainya tujuan-tujuannya.

Vitalitas sesuatu bangsa atau suku bangsa diukur dari kemampuannya untuk senantiasa mereinterpretasikan budayanya dengan memberi arti dan makna baru kepada pengalaman-pengalaman tradisi, sesuai dengan keperluan-keperluannya yang baru. Apakah tatanan sosial budaya Ono Niha cocok untuk menyerap budaya pembangunan ? Apakah Ono Niha mampu dan mau belajar dari pengalaman pembangunannya pada masa lalu ? Apakah ”mind Ono Niha ” mampu mengembangkan paduan nilai yang tepat, yang akan memelihara kekuatan budaya khas Ono Niha dibandingkan dengan nilai-nilai pembangunan ? Banyak pertanyaan dapat diajukan, tetapi hanya tujuan-tujuan dan cita-cita yang terukur yang akan dapat memberi suatu rangka orientasi yang tegas yang menjadi landasan tekad. Suatu pegangan baru, sehingga dapat kita bedakan yang utama atau pokok dan mana yang tidak pokok.

Hal lain yang harus disadari ialah kondisi masyarakat Ono Niha sebagai masyarakat desa . Kesadaran mengenai hal ini sangat penting kalau pembangunan tidak mau gagal. Proyek megah yang dibangun di desa, apabila masyarakat desa tidak dilibatkan dan tidak mengetahui manfaat proyek tersebut, dampaknya tidak memberi kesejahteraan bagi rakyat dan malah dapat terjadi sebaliknya : rakyat tertindas. Contoh pelaksanaan beberapa proyek pembangunan di Tanõ Niha yang menurut penulis kurang tepat. Pembangunan gedung-gedung, jalan hot mix dengan anggaran yang triliunan rupiah yang dilakukan BRR bukan bernilai nihil. Melainkan yang menjadi pertanyaan : apakah berhasil guna dan tepat guna untuk kelangsungan hidup rakyat (masyrakat Ono Niha) banyak ? Alias apakah tidak mubazir ? Mana yang lebih berhasil guna dan tepat daya guna bagi masyarakat yang masih marginal, Gedung Rumah Sakit mewah dengan biaya puluhan milyar atau PUSKESMAS yang berbiaya hanya jutaan sampai puluhan juta rupiah yang tersebar di beberapa lokasi ? Bagaimana memaksimalkan manfaat suatu unit Rumah Sakit modern di wilayah yang penduduknya berpenghasilan belum cukup untuk biaya hidup layak secara minimum ? Dan masih memiliki kesadaran terbatas mengenai pentingnya kesehatan ? Lihat juga pembangunan kompleks perhotelan di Nias Selatan sebelum BRR, sekarang telah menjadi (seperti) rumah hantu. (baca : Kebenaran Visual *Mengenang Tiga Tahun Gempa Nias* oleh E. Halawa, Situs Niasonline).

Permasalahan utama pembangunan masyarakat desa di Indonesia pada rendahnya mutu sumber daya manusia. Kehidupan mereka diranggkul kemiskinan primer karena penghasilan yang diperoleh dari pertanian tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup layak. Karena kurangnya pendidikan, masyarakat desa berpikir: statis, tradisional, dan berpola pikir lokalit sehingga sulit mengadopsi inovasi. Akibatnya, tidak memiliki kemampuan memanfaatkan sumber daya alam di daerahnya.

Pada hakikatnya pembangunan masyarakat desa lebih merupakan suatu kegiatan pendidikan nonformal dan tidak mengutamakan pembangunan fisik seperti di daerah perkotaan. Pembangunan bersifat untuk mendidik masyarakat desa agar memiliki sikap, perilaku, pengetahuan, dan keterampilan yang baik untuk melaksanakan pembangunan guna peningkatan taraf kesejahteraan sosial dan ekonomi masyarakat. Kegagalan membangun masyarakat desa berakibat fatal dengan hijrah tenaga produktif desa ke tempat lain mencari pekerjaan yang memberinya penghasilan rutin. Akibat dapat diperhitungkan, desa yang tadinya swasembada beras menjadi pembeli beras dari daerah lain atau beras import. Juga masalah kepemilikan tanah yang semakin sempit dan terbatasnya peluang kesempatan kerja di luar sektor pertanian mendorong tingginya tingkat pengangguran dan urbanisasi. Hal-hal tersebut, harus disadari dalam tekad membangun masyarakat desa.

Uraian di atas menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat Ono Niha pada : budaya sendiri kekuatan dan kelemahannya menyerap kemajuan IPTEK , pengalaman pembangunan masa lalu, kondisi aktual masyarakat desa ( Niha Mbanua), kesepahaman cita-cita terukur dan tahapan langkah meraihnya merupakan persyaratan penerapan otonomi, hasil perjuangan masyarakat Ono Niha beberapa tahun terakhir ini, sehingga pemekaran sungguh otonomi berdaya guna, berhasil guna, dan tepat guna.

Tags:

Leave a Reply

Kalender Berita

January 2009
M T W T F S S
 1234
567891011
12131415161718
19202122232425
262728293031