Mengelola Kebebasan – Bagian Penutup
Oleh Mathias J. Daeli
Setelah DPR menyetujui pemekaran Kabupaten Nias, strategi dan taktik perjuangan bukan lagi untuk mendapatkan otonomi melainkan bagaimana melaksanakannya. Bagaimana Ono Niha menanggapi permasalahan-permasalahan yang timbul dari pemekaran itu ? Apa yang harus dilakukan ? Bagaimana Ono Niha memanfaatkan otonomi dengan sebaik-baiknya untuk mengejar ketertinggalan pembangunannya ? Kalau ditanya kepada saya apa jawaban atas pertanyaan tersebut , terus terang saya tidak tau. Saya memiliki bayangan jawaban. Tetapi jelas bahwa, “bayangan†bukan jawaban. Tetapi kalau ditanya kepada saya sekarang ini : Nilai apa yang paling penting dipegang dan dikembangkan oleh Ono Niha dalam menghadapi keterpurukan, tantangan-tantangan , dan hambatan-hambatan masa depan ? maka jawaban saya ialah keberanian untuk merasa optimis berdasar kesadaran dan keyakinan bahwa yang pertama dan utama yang merobah nasib sendiri adalah diri sendiri.
Disamping ucapan syukur kepada Tuhan, masyarakat Ono Niha menyambut otonomi dengan gembira dan bangga. Banyak pendapat dan saran telah disampaikan kaum intelektual agar otonomi dalam pelaksanaannya berjalan lancar dan baik. Misalnya mengenai : syarat pemimpin, potensi pariwisata dan sumber daya alam yang perlu dikelola. Semuanya itu bermanfaat untuk bahan penyusunan konsep. Terbatas secara merenung (abstracted), konsep mudah diperoleh kesepahaman. Misalnya : mewujudkan Tanõ Niha dengan budaya megalitiknya menjadi tujuan wisata manca negara. Siapa yang tidak setuju pada konsep itu ? Konsep pemilihan kepala daerah harus dilaksanakan dengan jujur dan adil, tidak ada yang tidak setuju.
Diandaikan, Ono Niha telah memiliki tekad yang sama mensukseskan pelaksanaan otonomi, karena memang dinginkan, tekad itu harus dirumuskan dengan kesepahaman dalam konsep tujuan terukur dan konsep kesepahaman langkah-langkah konkrit untuk merealisasikan tujuan yang hendak diraih.
Pemahaman yang sama mengenai pengertian dan tujuan pemekaran dengan otonomi sangat penting untuk penerapannya. Kesepahaman pengetahuan mengenai otonomi disosialisasikan kepada seluruh lapisan masyarakat dan bahwa cita-cita yang dituju melalui otonomi itu dapat diraih. Sosialisasi cita-cita kepada Niha Mbanua (rakyat) menggugah dan mengembangkan kesadaran dan semangat kebersamaan Ono Niha yang disimbolkan nilai fabanuasa (persaudaraan sekampung) yang selalu menjunjung tinggi keluhuran nilai nasehat bahwa : “Aoha noro nilului wahea, aoha noro nilului waoso. Alisi tafadayadaya, hulu tafawolowolo. He Awöni he eho, aoha nilului zato. He ha tugala silimo, abua sibai na ha yao†(lihat : Niasisland.com, Article no.206, tanggal 19 Nopember 2005 oleh M. J. Daeli). Atas dasar kesadaran, rakyat bergerak bersama melalui lembaga demokrasi untuk menyusun rencana, memilih strategi, dan melakukan tindakan untuk meraih yang dicita-citakan. Hasilnya ? Tanõ Niha dapat mengejar ketertinggalan pembangunannya dan pemekaran-otonomi bukan sekedar simbol.
Karena itu peranan para pemimpin masyarakat, para pejabat birokrat di Tanõ Niha, dan kaum intelektual Ono Niha sangat penting dan strategis. Kemampuan pemimpin mengartikulasikan cita-cita itu dengan sederhana dan mudah dimengerti sangat diperlukan, sehingga orang lain mampu memahami dan terinspirasi untuk bertindak mewujudkannya. Pemimpin harus sungguh-sungguh memiliki kesadaran mengenai otonomi dan tujuannya serta menyadari perlunya kesatuan pemahaman mengenai itu. Harus menghindari kesadaran palsu (Camus) seperti yang sering kita lihat pada orang-orang yang memperjuangkan kepentingan sendiri atau kepentingan kontemporer dengan dalih kepentingan umum malah kadang juga dilakukan atas nama Tuhan.
Ono Niha harus tetap dalam kesadaran, berpikir objektif dan positif. Mengakui kebenaran bahwa pembangunan Tano Niha ketinggalan dibandingkan dengan daerah lain di Propinsi Sumatera Utara. Kenyataan itu diambil hikmahnya untuk motivasi kuat mengejar ketertinggalan. Penulis menekankan berpikir positif, karena dengan kebebasan berpendapat kemiskinan dan ketertinggalan pembangunan Tanõ Niha oleh segelintir oknum dijadikan pemanis komunikasinya dengan masyarakat Ono Niha. Mereka mempublikasikan kemiskinan dan ketertinggalan di Tanõ Niha, namun hanya sebatas untuk kepentingan popularitas pribadi dan tanpa upaya memberi solusi. Lebih buruk lagi kalau bertujuan teror mental bagi Ono Niha, secara tanpa dasar dan kegunaan yang jelas membandingkan kemiskinan dan ketertinggalan masyarakat Ono Noha dengan kemajuan suku lain yang relatif lebih dulu maju.
Dengan uraian di atas, mau tidak mau Ono Niha dituntut untuk memiliki kesepahaman dan melakukan evaluasi diri. Bertanya pada diri: Apa yang menjadi cita-cita bersama ? Bagaimana cara mencapainya ? Apa potensi yang dimiliki ? Sarana apa yang tidak dimiliki ? dan sebagainya. Pokoknya inventarisir: kekuatan, hambatan, dan tantangan ! Sehingga yang diinginkan dan cara untuk mencapainya berdasar kesadaran (awareness) yang merupakan refleksi keyakinan-keyakinan dan asumsi-asumsi dasar tentang segala hal : tentang kemanusiaan, ilmu dan teknologi, ekonomi, politik, seni budaya, dan etika Ono Niha.
Harus ada dalam kesadaran kita bahwa tidak ada seorang pun yang seorang diri, akan mencakupi seluruh permasalahan Tanõ Niha, dan memberi solusi yang tepat. Perlu dimungkinkan diskusi, untuk menguji, mengoreksi dan memperkembangkan ide-ide yang timbul demi kristalisasi pemikiran yang nanti menjadi titik tolak untuk langkah berikutnya. Sebab itu dalam tulisan saya “Sebaiknya Yang Kita Lakukan “ (lihat : Situs Ya’ahowu, 1 Agustus 2006), saya katakan bahwa “ pencarian jawaban-jawaban masalah-masalah terkait Ono Niha, mau tak mau harus merupakan suatu proses kolektif â€.