Mari Memahami Hoho “Fomböi Böröta Niha”
Pengantar
Sesudah Sihai menciptakan ke sembilan dunia atas plus bumi yang kita diami ini, Sihai meneruskan karyanya[1]. Ia menciptakan sepasang manusia pertama di Teteholi Ana’a (dunia ke sembilan – lihat Hoho “Fomböi Tanö Awö Mbanua” dan Penjelasannya). Manusia yang pertama diciptakan adalah laki-laki (“onomatua”): Tuha Sangehangehao, Tuha Sangaewangaewa. Secara harfiah nama ini berarti Tuan yang pintar merawat diri, tuan yang tinggi badannya dan sangat ganteng. Pasangannya, ira’alawe (Putri) bernama: Buruti Sangazöngazökhi, Buruti So’ungoi Ngaoma, seorang putri yang senang merias diri.
Penciptaan Pohon Tora’a Torai, Tora’a Mbawa
Sama seperti ketika menciptakan langit dan bumi, Sihai menggunakan bahan dasar “angin” untuk menciptakan manusia pertama. Angin itu dilaganya. Ketika angin itu berlaga, terdengarlah bunyi seperti “sigu” dan “lagia” (sigu wakhe: semacam alat musik tiup yang dibuat dari seruas batang padi; lagia: sejenis alat musik gesek, senarnya cuma satu).
Angin yang berlaga kembali menghasilkan ampas punggung bayu yang berinti (sama seperti ketika dunia diciptakan). Sihai mengambil ampas punggung angin yang berinti itu sedikit saja (sebiji sawi, sebiji bayam) lalu disemaikannya di halaman / pekarangan. Sebagai pupuk, Sihai menggunakan gulungan kain putih, gulungan kain sutera.
Tidak lama kemudian (“tiada berhari, tiada bermalam”) muncul kecambah yang bagai duri landak, bagai jarum. Lalu muncullah pucuk yang menguncup dan berminyak, muncul daun yang melebar dan mengembang. Kemudian batang pohon tadi membesar dan bertambah tinggi. Oleh Sihai, pohon ini diberi nama: Tora’a Tora’i, Tora’a Mbawa[2].
Penciptaan Laki-Laki
Dalam waktu sekejap, pohon tadi mulai bermayang dan berputik di bagian pucuk. Tidak lama sesudahnya pecahlah setangkai bunga dan jatuh di pangkal banir pohon Tora’a tersebut. Sewaktu jatuh, bunga tadi tidak “jatu bebas” tapi meniti batang ke bawah (aboto mbowo sangamohi, atoru i’osisiö döla).
Lantas Sihai Sumber Angin, Sihai Sumber Bayu mengambil bunga yang jatuh tadi dan memberinya bentuk dan sosok mirip manusia. Akan tetapi sosok mirip manusia ini tak bernyawa, lemah tak berdaya. Sihai lantas memanggil Baliu sumber bibit, Baliu sumber nyawa. Baliu[3] inilah paman dari manusia yang diciptakan itu. Baliu ini yang memberi nyawa melalui lubang hidung, dialah yang mengembuskan nafas ke kerongkongan manusia ciptaan Sihai. Sesudah Baliu memberi nyawa, sosok tadi baru mulai bergerak dan kuat, anggota tubuh lengkap, termasuk organ-organ dalam.
Akan tetapi sosok tadi belum utuh sebagai manusia, jantung dan hatinya belum dinukil, akal budinya juga belum ada. Maka Sihai memanggil Laelu si Ahli Budi untuk mengukir jantung hati dan menyemaikan akal budi kepada manusia tadi. Barulah manusia tadi bisa berbicara dan berkisah.
Sihai memberi nama (jenis) “Onomatua” (laki-laki) kepada manusia tadi. Dialah “Tuha Sangehangehao”, “Tuha Sangaewangaewa”.
Manusia Pertama Ditempatkan dihulu Sungai Zea
Sihai menempatkan manusia pertama tadi (Tuha Sangehangehao, Tuha Sangaewangaewa) di huku Sungai Zea di langit pertama (Teteholi Ana’a). Sihai menyerahkan kepadanya “yang sembilan jenis, yang sembilan bidang” (si siwa motöi, si siwa göla). Ia menyerahkan kepadanya seluruh muka bumi (Teteholi Ana’a) beserta segala isinya (lumut, sulur, rumput, kayu hutan, ikan di laut, burung-burung di angkasa, dsb.). Manusia inilah wakil diri Sihai, yang menjadi tuan seluruh alam.
Penciptaan Perempuan
Kalau dalam Kitab Suci Kristen, Hawa (Eva) diambil dari tulang rusuk Adam (manusia pertama), maka dalam Hoho “Fomböi Böröta Niha” ini, perempuan diciptakan dari bahan yang hampir sama dengan bahan penciptaan laki-laki: kelopak putik yang jatuh dari pohon Tora’a. Prosesnya pun hampir sama: pohon Tora’a bermayang dan berputik (tetapi tidak disebutkan apakah di bagian pucuk seperti pada penciptaan laki-laki).
Sihai mengambil kelopak putik yang jatuh di pangkal banir pohon Tora’a tersebut dan menjadikannya perempuan. Namanya: Buruti Sangazöngazökhi, Buruti So’ungoi Ngaoma. Hoho ini tidak menceritakan proses yang lebih rinci seperti pada penciptaan laki-laki (peran Baliu dan Laelu tidak disinggung sama sekali).
Sihai memberikan Perempuan kepada Laki-laki
Perempuan yang diciptakan tadi diberikan Sihai kepada ciptaan pertama (sia’a womböi) – Tuha Sangehangehao, Tuha Sangaewangaewa. Perempuan menjadi teman dalam segala hal: teman untuk memikul beban (berbagai masalah), teman berdiskusi (samatohu fangerangera), dst.
Melihat pasangannya, Tuha Sangehangehao bergembira, sangat senang, senyum tersungging di bibirnya. Sebagai bukti cintanya, Tuha memanggil Buruti sebagai “si jantung hati”, tempat “curhat”. Ia menyambutnya dengan kedua tangannya. Buruti menjadi isteri “belahan diri” Tuha. Mereka makan dari “piring” yang sama, sirih yang satu mereka bagi dua. Ketika berjalan, langkah mereka serentak, ketika bekerja mereka saling mengajak …
Suasana Kebersamaan Tuha Sangehangehao dan Buruti Sangazöngazökhi
Hoho ini melukiskan dengan sangat indah, suasana pertemuan dan kebersamaan (hubungan) Tuha Sangehangehao dengan Buruti Sangazöngazökhi. Melihat keinitiman, kemesraan atau ke-ideal-an hubungan kedua insan ini, ciptaan lain pun memberikan “kesaksian” dengan cara masing-masing: burung punai cemburu, burung enggang iri hati, udang putih menari-nari ikut ceria dan bahagia, anak kancil “mengambil hati”, anak celeng terkagum.
Sihai Gembira dan memberkati mereka
Melihat segala kebaikan dalam pasangan ciptaannya, Sihai sangat senang. Ia memberkati mereka, melipatgandakan harta kekayaan mereka: hasil ladang melimpah, ternak tak muat di kandang saking banyaknya. Sihai juga menambah-nambah kearifan dan akal budi mereka sehingga mereka tak pernah bertengkar, selalu damai. Mereka beranak cucu, “puteri dan putera”.
- Ada perbedaan utama dalam penciptaan dunia dan manusia. Dalam penciptaan dunia, Sihai memakai Sitahu, belahan dirinya sebagai pelaku utama. Ketika menciptakan manusia, Sihai langsung turun tangan.
- Dalam buku “Asal Usul …”, Hammerle menafsirkan “Tora’a” sebagai prinsip (kemaluan) perempuan dan “Baliu” sebagai prinsip (kemaluan) lelaki (hal. 40).
- Menurut Ibu yang penulis tanyai (lihat atikel Mari Memahami Hoho “Fomböi Tanö Awö Mbanuaâ€), baliu adalah angin yang berputar (semacam puting beliung / tornado ?). Di Nias, pihak uwu adalah “pemilik” (sokhö) atau “sumber hidup”, karena dari Uwulah berasal “keponakan” (Onombene’ö). Dalam cerita di atas, Baliu tadi merupakan uwu dari manusia yang baru diciptakan.
E. Halawa
E. Halawa menulis: 2. Dalam buku “Asal Usul …â€, Hammerle menafsirkan “Tora’a†sebagai prinsip (kemaluan) perempuan dan “Baliu†sebagai prinsip (kemaluan) lelaki (hal. 40).
Pastor Hammerle menulis (juga di hal. 40 buku “Asal Usul…”): Luluö adalah Placenta dalam rahim ibu… Tuha nilölö nangi adalah si anak sebagai buah cinta orang tua atau buah dari seksualitas insani.
Saya numpang tanya, sedikit “berpikir lateral”, dan tidak sungkan-sungkan lagi ingin tahu.
Kalau syair hoho betul diciptakan orang Nias kuno sebagai cerita tentang seksualitas, ada tiga hal lagi yang belum diceritakan (oleh “sang pecipta” syair hoho, maupun oleh “sang penafsir” syair hoho), yaitu:
1. Sperma (mani): syair hoho mana yang melambangkannya? Mani adalah salah satu sumber adanya si anak (janin).
2. Buah dada (tetek): syair hoho mana yang melambangkannya? Tetek adalah sumber kehidupan di masa bayi.
3. Menstruasi (haid): syair hoho mana yang melambangkannya? Haid adalah tanda kesuburan seorang wanita.
Ketiga hal tersebut merupakan barang yang tampak, dan hingga hari ini pun tetap amat menarik perhatian manusia. Tidak mungkin dilewatkan begitu saja oleh orang Nias kuno untuk diceritakan dalam syair hoho.
Itu kalau memang mereka (orang Nias kuno) punya paradigma seks ketika menciptakan hoho.
Alangkah indah nya bila kita juga bisa menemukan syair-syair hoho yang melambangkan “hubungan seksual” dan “posisi hubungan seksual”.
Sehingga lengkap lah syair hoho itu sebagai ekspresi seksual orang Nias kuno, dan dokumen pornografis Nias. Ini tentu sangat menarik perhatian dan kejutan bagi orang modern (zaman kini) ! Dan, dengan demikian kita bisa mengatakan bahwa hoho kita adalah Kamasutra a la orang Nias.
Ha-ha-ha, salam hangat untuk Uchi Bate’e.
Yaahowu fefu.
Ya’ahowu Fefu…
Utk Redaksi Yth. Boleh minta tolong agar syair HOHO bôrôta niha yang pernah di terjemahkan dalam bahasa Indonesia beserta komentar-komentarnya di kirim ke email??? saya udah bolak balik tapi tetap gga ketemu… TERIMA KASIH atas bantuannya….
Moga tambah SUKSES… GBU
(Catatan Redaksi: Komentar Nover dipindahkan dari Buku Tamu ke artikel “Mari Memahami Hoho “Fomböi Böröta Niha””, untuk menjawab permintaan Sdr. Nover.)
Ada sebuah tulisan menarik tentang mitos Ono Niha di blog Goresanku. Di sana antara lain dikatakan:
“Dalam hal ini perlu dijelaskan, bahwa untuk menciptakan alam semesta, Lowalangi mempergunakan udara dari berbagai warna sebagai bahannya. Warna-warna itu Ia aduk dengan tongkat gaib, yang disebut sebagai Sihai.”
Jadi, menurut versi ini: Lowalangi-lah yang menciptakan Sihai, Sihai “hanyalah” sebagai “tongkat gaib” ciptaan Lowalangi. Alangkah menariknya kalau kita mendapatkan uraian lebih lanjut dari sang Penulis artikel tersebut.
Terima kasih atas sapaan dari Niha Khöda dalam forum ini. Ini sebagai tanda bahwa kita yang berasal dari Nias mencintai kebudayaan Nias.
Dari buku-buku yang pernah saya baca, tampak ada dua nama dewa yang disebut sebagai pencipta, yakni Sihai dan Lowalangi. Dewa mana yang secara faktual benar sebagai pencipta? Tampaknya ada kesimpangsiuran informasi. Di sini saya cantumkan beberapa penulis dan judul buku yang memuat tentang kisah penciptaan dalam tradisi masyarakat Nias.
1. Peter Suzuki, The Religious System and Culture of Nias, Indonesia, hlm. 1 dst. Buku ini menyebut Lowalangi sebagai pencipta.
2. S. Zebua (Ama Wa’omasi Zebua), Menyelusuri Sejarah Kebudayaan Ono Niha, hlm. 44-49. Pencipta : Luo Walangi.
3. L. Zebua ( Ama Meriati Zebua), Hadia Mbörö Gotari Gotara Hadia Gotaraönia me Mböröta, hlm. 38-42. Pencipta : Sihai.
4. S.W. Mendröfa, Fondarakö Ono Niha: Agama Purba, Hukum Adat, Hikayat dan Mitologi Masyarakat Nias, hlm. 16-24. Pencipta: Sihai
5. Dalibudi Harefa, Kepemimpinan di dalam Masyarakat Tradisional Nias dan Perbandingannya dengan Struktur BNKP, hlm. 44. Di sini di sebut: Inti pokok fondrakö berasal dari dewa yang disebut Lowalangi sebagai penguasa dunia atas.
6. Edwin M. Loeb, Sumatra: Its History and People, hlm. 150-154. Pencipta: Lowalangi
7. Faogöli Harefa, Hikajat dan Tjerita Bangsa serta Adat Nias, hlm. 4-7. Pencipta: Sihai.
Persoalan ialah siapa sesungguhnya dewa yang disebut sebagai pencipta? Saya sendiri tidak mau jatuh dalam kedua atribut itu secara harafiah. Saya lebih cenderung memahaminya sebagai sesuatu yang lain (bukan dalam konsep kristen sekarang), yang diyakini berada di “dunia atas”. Dari sini terungkap suatu keunikan dari dewa pencipta itu, yakni “dunia atas”. Ungkapan ini barang kali perlu dimaknai sebagai ungkapan transendensi ilahi (dewa pencipta) itu. Apakah dia disebut sebagai Lowalangi (Luo Walangi) atau Sihai? Kelihatannya sulit memastikan itu sekarang ini.
Perlu juga diketahui bahwa Bamböwö Laiya dalam bukunya berjudul Solidaritas Kekeluargaan dalam Salah Satu Masyarakat Desa di Nias-Indonesia (hlm.23) menyebutkan bahwa pencipta adalah Lowalangi. Akan tetapi beliau mengungkapkan bahwa pandangan tentang Lowalangi sebagai dewa pencipta adalah tradisi dari Nias Utara, bukan Nias Selatan. Sayangnya, beliau tidak mengungkapkan siapa dewa pencipta menurut versi Nias Selatan. Dari tulisan Bamböwö Laiya, terbersit perbedaan tentang dewa pencipta antara tradisi Nias Utara dan Nias Selatan. Hal ini perlu juga menjadi perhatian sebab, seperti kita ketahui, terdapat banyak perbedaan antara Nias bagian Utara dan Selatan.
Demikian saja dulu dan Ya’ahowu.
Tulisan Goresanku membuka kembali nafas wacana kebudayaan kita. Ada beberapa respons dari saya.
Pertama, saya ingin menyempurnakan pendapat Goresanku bahwa Bamböwö Laiya tidak mengungkapkan siapa dewa pencipta menurut versi Nias Selatan.
Di buku dan halaman yang sama (pada alinea-2), Pak Laiya menulis bahwa orang-orang Nias dari bagian Selatan dahulu mengenal Inada Samihara Luo sebagai pencipta. Dia adalah pencipta universe termasuk dewa dan manusia, sebagaimana yang disinggung hampir dalam seluruh fo’ere (literatur lisan). Sumber Pak Laiya adalah: Si’ulu Amachaita dan Samalazo Bawaulu.
Kedua, sejauh diskusi kita ini, kita bertemu dengan 3 nama dewa pencipta di kalangan orang Nias kuno, yaitu: Sihai, Lowalangi, dan Inada Samihara Luo. Ini berarti, orang Nias kuno sesungguhnya memiliki “mitos kosmogonis” yang khas religi Nias, bukan konsep Kristen. Saya sependapat dengan Goresanku.
Ketiga, hemat saya nama dewa pencipta (dalam mitos kosmogonis) mungkin lebih dari 3 nama (yang telah kita identifikasi).
Dalam buku Ho Jendela Nias Kuno (Hojenk), Victor Zebua “merekonstruksi” mitos asal-usul orang Nias (yang bermotif first man descends from sky) lewat pendekatan difusi kebudayaan. Mitos ini tumbuh di kalangan dua hingga lima induk puak orang Nias. Mitos tersebut menyebar dari Gomo ke Maenamölö dan Tölamaera; dari Tölamaera menyebar ke kawasan Nias Utara dan Nias Barat; dari Nias Barat akhirnya menyebar ke sekitar Gunungsitoli.
Berbeda dengan mitos asal-usul, dalam mitos kosmogonis menurut Hojenk (hal. 140) nama para tokohnya (mitos kosmogonis) tumbuh dan berkembang secara poligenesis (penemuan cerita sendiri di setiap kawasan atau induk puak).
Bisa jadi kelak kita bertemu dengan lebih dari tiga nama dewa pencipta. Tidak perlu dipertentangkan karena semuanya produk poligenesis dari ungkapan religi orang Nias.
Pernyataan dalam kalimat terakhir dari sdr. Saro Z (“tidak perlu dipertentangkan…”) lebih baik kita pegang. Adanya perbedaan versi tentang dewa pencipta hendaknya menjadi bahan pemikiran bagi kita untuk mendalami kebudayaan Nias. Ini berarti ketika kita berbicara tentang Nias, tentunya dibutuhkan suatu pemetaan: Nias yang mana.
Demikian saja dan Ya’ahowu