WNI ‘Antri’ Dipancung di Arab Saudi, Pemerintah Jangan Cuma Prihatin
“Kami mengecam dan menyayangkan pemerintah Arab Saudi yang mengabaikan hukum internasional,†ujar Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa di Jakarta, Minggu (19/6/2011).
Marty juga menyatakan, pemerintah telah mengupayakan perlindungan bagi Ruyati dengan mendampinginya ketika menjalani proses pengadilan. Mulai dari persidangan awal, kasasi sampai tahap pengampunan.
Presiden sendiri tidak memberi tanggapan langsung atas eksekusi Ruyati tersebut.. Presiden hanya berbicara lewat jurubicaranya, Julian Aldrin Pasha.
“Atas nama pribadi dan pemerintah Republik Indonesia, Presiden sangat prihatin dan betul-betul berduka atas apa yang menimpa Ruyati,” kata Julian seperti dikutip dari kompas.com.
Ruyati, ibu dengan tujuh cucu asal Bekasi tersebut memang mengakui perbuatannya di pengadilan. Tapi juga terungkap bahwa tindakannya membunuh majikannya Khairiya binti Hamid Mijlid karena tidak tahan mengalami penganiayaan.
Yang sangat ironis adalah, pelaksanaan eksekusi pancung itu sendiri tanpa pemberitahuan resmi kepada pemerintah Indonesia, baik sebelum maupun sesudah pelaksanaan. Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Riyadh pun tidak diberitahu. Usai dipancung, Ruyati yang telah berusia 54 tahun itu langsung dimakamkan di Mekah.
Kejadian itu, tak ayal memanen kecaman di dalam negeri. Mulai dari keluarga Ruyati yang mengaku pemerintah tidak memberi upaya maksimal melindungi Ruyati hingga DPR, LSM hingga masyarakat umum di berbagai media, termasuk media sosial.
Presiden SBY menjadi sasaran utama kecaman. Di antaranya, karena eksekusi Ruyati bertolakbelakang dengan pidato berapi-apinya di sidang organisasi buruh internasional (International Labor Organization/ILO) pada 14 Juni 2011. Saat itu, Presiden SBY menegaskan komitmen pemerintah untuk perlindungan terhadap tenaga kerja Indonesia (TKI), termasuk yang berada di luar negeri. Empat hari kemudian, Ruyati dipancung.
Kemudian, respons presiden itu juga dinilai tidak wajar. Sebab, ketika seputar SMS gelap yang yang tidak jelas kebenarannya dan ditujukan kepada dirinya dan sejumlah kader partainya, Presiden SBY memberikan respons langsung.
Selain itu, berdasarkan data lembaga advokasi tenaga kerja Migrant Care, ternyata, sebanyak 23 orang lagi TKI yang sedang ‘antri’ menunggu eksekusi hukuman mati di Arab Saudi. Salah satunya, Darsem yang bila tidak bisa membayar ganti rugi sebesar Rp 4,7 miliar, maka akan menghadapi eksekusi pancung serupa yang dialami Ruyati.
Pengamat hukum internasional Hikmahanto Juwana mendesak pemerintah bersikap tegas dalam memberikan perlindungan terhadap TKI. Tidak sekedar mengecam dan memanggil Dubesa Arab Saudi. Ketegasan itu bisa dengan menghentikan sementara pengiriman TKI ke Arab Saudi dan tindakan diplomatik yang menunjukkan ketidakterimaan atas perlakuan terhadap warga Indonesia tersebut.
“Tidak harus memutuskan hubungan diplomatik. Tarik Dubes Indonesia di Arab Saudi atau kurangi jumlah personel di sana. Ketegasan diperlukan agar Arab Saudi lebih sensitif terhadap nasib para TKI di negeri tersebut yang kerap menderita perlakuan kasar dan kekerasan. Apalagi bila otoritas Arab Saudi tidak serius memroses kekejaman warganya terhadap TKI,†ujar Hikmahanto di Jakarta, Minggu (19/6/2011).
Hikmahanto juga mengimbau pemerintah meniru tindakan Pemerintah Australia dalam melindungi warganya yang divonis hukuman mati dalam kasus narkoba di Indonesia. (EN)