Sejarah Tari Balanse Madam
Oleh: Indra Yudha, S.Pd., M.Pd*
A. Asal-Usul Tari Balanse Madam
Tari Balanse Madam sebuah tari tradisional yang terdapat di Seberang Palinggam Kota Padang, yang menjadi milik dan warisan budaya masyarakat Suku Nias Kota Padang. Tari Balanse Madam merupakan sebuah kesenian tari yang berupa peninggalan budaya lama yang telah ditransmisikan secara turun temurun dalam masyarakat suku Nias di Seberang Palinggam.
Sejarah keberadaan Tari Balanse Madam tidak terlepas dari kehadiran bangsa Portugis di pantai barat pulau Sumatera pada abad ke enam belas. Kedatangan bangsa Portugis ke Kota Padang telah membawa dampak terhadap tumbuhnya kesenian di Padang waktu itu, diantaranya tari Balanse Madam dan Musik Gamad. Nosafirman (1998: 2) menjelaskan seabad sebelum tanggal 7 Agustus tahun 1669, Padang hanya berupa perkampungan tradisional yang terletak di pinggiran pantai Sumatera bagian barat, yang kalah ramai dibanding Tiku dan Pariaman. Namun kampung ini mulai ramai sejak orang-orang Portugis dan Aceh berdatangan untuk berdagang ke Kota Padang pada masa itu.
Menilik kehadiran bangsa Portugis ke Padang sebagai pedagang, maka bersamaan itu pula berdatangan penduduk imigran dari pulau Nias untuk bekerja sebagai buruh atau pembantu di pelabuhan bagi bangsa Portugis. Kedatangan orang Nias dibawa oleh para pedagang China yang datang ke Sumatera Barat dari pulau Nias pada awal abad ke-16. Mereka ditempatkan di berbagai daerah antara lain di Padang (terutama di daerah Muara), di daerah Pariaman dan Pasar Usang dan sebagian lain di daerah Muara Sakai Pesisir Selatan. Akan tetapi dari jumlah keseluruhan orang Nias tersebut lebih banyak ditempatkan di Padang. (Nosafirman, 1998: 22)
Dengan dipekerjakannya orang-orang Nias yang berada di Padang oleh Portugis, maka terjadilah relasi sosial budaya antara kedua suku bangsa tersebut, sehingga menularkan suatu bentuk kesenian yakni tari Balanse Madam. Awal lahirnya Tari Balanse Madam adalah akibat seringnya terjadi kontak (hubungan) sosial antara bangsa Portugis sebagai majikan dengan orang Nias sebagai bawahan atau pekerja.
Setiap pesta yang dilakukan oleh bangsa Portugis baik di kapal ataupun di daratan selalu diperkenalkan tarian yang berbentuk tari pergaulan seperti dansa kepada orang-orang Nias. Bangsa Portugis bukan saja menyebarkan pengaruhnya sebagai pedagang tetapi juga dalam hal kesenian. Baik tari ataupun musik selalu mereka sebarkan atau tularkan pengaruhnya di Kota Padang. Yang terdekat pada waktu itu dengan komunitas Portugis adalah orang-orang Nias yang bekerja sebagai pembantu, baik pada keluarga Portugis maupun dalam kelancaran usaha perdagangannya dan sebagai buruh.
Fenomena yang terjadi pada waktu itu adalah seringnya orang Nias menyaksikan pertunjukan kesenian baik tari maupun musik yang disajikan oleh bangsa Portugis, maka lama kelamaan orang Nias mulai mempelajari dan mengembangkannya melalui suatu proses adaptasi dan adopsi dengan proses transformasi imajiner.
Melalui transformasi imajiner, para seniman atau masyarakat Nias yang memiliki kemampuan rasa estetis dan jiwa seni, mulai mengembangkan pola-pola gerak tari pergaulan yang dilakukan oleh bangsa Portugis tersebut. Pola-pola gerak tersebut, seperti pola gerak tari Dansa. Kemampuan mentransformasi dan mengadaptasi dari pola-pola Dansa ke dalam bentuk tari baru tidaklah begitu sulit bagi masyarakat Nias, hal ini disebabkan tarian yang bersifat sosial dan dalam disain yang seperti berpasang-pasangan dalam disain lantai yang melingkar.
Proses adaptasi dan transformasi imajiner ini disebabkan adanya rangsangan kinetetis, yang dirasakan oleh masyarakat Nias. Secara realitas bangsa Portugis tidak mengajarkan tarian dansa kepada masyarakat Nias, atau orang Nias secara individu, akan tetapi mereka hanya memberikan suatu pembelajaran dengan jalan memberikan suatu kesempatan kepada masyarakat Nias untuk dapat menyaksikan peristiwa pesta Dansa dalam ruang lingkup komunitas bangsa Portugis tersebut.
Fenomena inilah yang berkembang diantara kedua suku bangsa tersebut. Relasi-relasi sosial seperti ini, lama kelamaan menjadi suatu peniruan oleh masyarakat Nias. Pola-pola sosial atau pergaulan bangsa Portugis yang sering menggelar pesta Dansa, secara budaya tidak bersebarangan dengan kepercayaan dan budaya masyarakat Nias pada masa itu.
Kebiasaan-kebiasan bangsa Portugis tersebut menjadi obsesi pula bagi masyarakat Nias yang bermimigrasi ke Kota Padang. Bagaimanapun mereka perlu suatu ajang untuk menjalin relasi antar mereka agar silaturahmi diantara mereka sebagai pendatang (perantau) di Kota Padang, dapat terjalin dalam ikatan yang kuat, agar rasa senasib sepenanggungan sebagai orang perantauan dapat dirasakan secara bersama-sama.
Atas dasar kreativitas, lahirlah tari Balanse Madam yang merupakan adaptasi dari tarian Dansa bangsa Portugis. Pola-pola gerak yang dikreasikan tidak sama sekali berakar pada gerak Dansa, akan tetapi yang disadur adalah pola-pola gerak tari dan disain lantai serta suasana dan fungsi dari tarian dansa tersebut.
Konsep gerak berakar sepenuhnya pada dasar gerak tari tradisi yang dibawa dari kampung halaman orang Nias, seperti Maena dan Hiwõ. Kemudian dikombinasikan dengan gerakan tarian Melayu. Karena pada masa itu tarian Melayu juga sedang berkembang di tengah bangsawan perkotaan atau Bandar di pulau Sumatera.
Semenjak itu, mulailah tari Balanse Madam diperkenalkan dari satu komunitas suku ke suku yang lain. Atau dari Marga yang satu ke Marga yang lain dalam setiap peristiwa adat dan pertemuan antar warga Nias keturunan di Kota Padang. Tarian pertama yang disajikan belum begitu sempurna, karena lebih bersifat spontan. Masalah ini disebabkan karena masing-masing suku atau marga memiliki keinginan dan gaya masing-masing dalam menarikan. Sudah barang tentu antara Marga Gulõ dengan Zebua kurang bersesuaian dalam gaya menarikan. Ketidaksamaan dalam gaya menari ini menjadi sorotan dan perbincangan dalam rapat antar Marga dan Suku masyarakat Nias se Kota Padang.
Melalui rapat atau musyawarah antar Marga dalam masyarakat Nias yang ada di Padang pada pertengahan abad ke-16, maka disusun kembali struktur tari Balanse Madam dan segala tata cara menarikannya maupun tentang syarat-syarat yang diperlukan dalam menyajikan tari Balanse Madam. Kesepakatan melahirkan suatu keputusan bahwa tari Balanse Madam diakui sebagai sebuah tari tradisional masyarakat Nias yang telah menetap di Kota Padang, dan kemudian pada gilirannya menjadi warisan budaya yang perlu dilestarikan dan diwariskan turun temurun dalam lingkup masyarakat Nias. Secara tidak langsung juga menjadi fokus budaya bagi masyarakat Nias.
Awal pertumbuhan dan penyebaran tari Balanse Madam bermula di daerah Seberang Palinggam dan Kampung Nias. Berbicara tentang tari Balanse Madam berarti juga berbicara tentang daerah Seberang Palinggam. Daerah Seberang Palinggam merupakan kawasan mayoritas suku Nias di Kota Padang, yang merupakan daerah asal pendaratan masyarakat Nias di Kota Padang dari kepulauan Nias. Hal ini dimungkinkan karena daerah Seberang Palinggam merupakan kawasan yang berada dalam wilayah pinggiran sungai Batang Arau.
Sebagai sebuah tari tradisi, tari Balanse Madam sangat dekat dengan komunitasnya. Kata Balanse yang berarti harmonis dan Madam diambil dari istilah dalam tari Balanse yang berarti nyonya. la merupakan milik dari komunitas suku Nias yang berada di Seberang Palinggam. Tari Balanse Madam adalah salah satu contoh dari manifestasi perilaku masyarakat suku Nias Kota Padang. Kehadiran dan kelangsungan tari Balanse Madam menjadi tanggung jawab masyarakatnya, karena ia merupakan sebuah warisan tradisi yang harus dipelihara.
Selanjutnya Syarif menjelaskan (1990: 8), tari tradisional dapat diartikan sebagai: (1) kesenian yang diselenggarakan demi kelang¬sungan sebuah tradisi yang berlaku dalam suatu masyarakat dalam artian adat istiadat, (2) tari tradisional dapat diarahkan sebagai sebuah kesenian yang memiliki norma (etika) dan nilai-nilai yang merefleksikan corak kehidupan masyarakat pendukungnya. Tari tradisional juga selalu terikat akan falsafah maupun norma dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat pendukungnya, seperti halnya dengan tari Balanse Madam yang merupakan jenis tari tradisional masyarakat suku Nias yang telah lama mendiami Kota Padang tepatnya di daerah Seberang Palinggam.
Sebagai tari tradisi ia akan selalu merujuk pada kehendak dan konvensi-konvensi yang diinginkan oleh masyarakat pendukung dari tari tersebut. Keberadaannya tidak terlepas dari campur tangan berbagai pihak, sehingga ia dapat diterima oleh seluruh anggota masyarakat yang melingkupinya.
Tari tradisional pada umumnya tidak dapat diketahui dengan pasti siapa penciptanya, karena tari tradisionai bukan merupakan hasil cipta dari kreativitas yang lahir oleh seorang individu, akan tetapi ia tercipta secara bersama dengan pemikiran kolektif dari masyarakat pendukung dimana tarian tersebut tumbuh dan berkembang (Kayam, 1981: 60).
Karena tari tradisi merupakan sebuah ungkapan atau ekspresi yang berbentuk kesenian dari masyarakat dalam persembahannya baik lewat gerak, kostum dan musik, selalu menggambarkan ciri khas dari budaya masyarakat yang memiliki keberadaan tari tersebut. Tari tradis baik dari kehendak, pemikiran (ide) maupun rasa (emosi) keseluruhannya bermuara pada perilaku masyarakat pendukungnya.
Soedarsono (1986: 83) menjelaskan tari tradisi adalah merupakan ekspresi jiwa manusia secara komunal yang dituangkan lewat gerak yang ritmis dan indah. Jiwa manusia tersebut terdiri dari aspek kehendak, akal (pikiran) dan emosi atau rasa, bertitik tolak dari ciri tersebut Tari Balanse Madam dikatakan tari tradisi orang Nias di Kota Padang. Tari Balanse Madam memiliki empat dasar gerak yaitu sewai, salam, step (langkah) dan lenggang. Sedangkan kostum yang dipergunakan adalah kostum yang bercorak Melayu, dengan tidak ditentukan jenis warnanya. Musik yang mengiringi tari Balanse Madam adalah jenis musik Mars.
Tari tradisi seperti tari Balanse Madam merupakan bagian dari kehidupan komunitas suku Nias secara kolektif. Karakter dari masyarakat suku Nias dan corak kehidupannya direfleksikan lewat penyajian tari Balanse Madam. Bentuk penyajiannya bersifat simbolis. Geraknya sangat dinamis dengan pola lantai lingkaran sehingga terjadinya komunikasi antar sektor-sektor penari.
Tawanto Karim menjelaskan tari Balanse Madam berbentuk tari pergaulan, dalam artian tarian yang bersifat sosial. Jumlah penarinya delapan orang yang terdiri dari empat orang wanita dan empat orang pria. Posisi penari saling berhadapan antara pasangan yang satu dengan pasangan yang lain, dengan kedudukan (keberadaan) penari pada posisi Utara menghadap Selatan dan posisi Timur menghadap (berhadapan) dengan posisi Barat.
Tari Balanse Madam dalam pertunjukannya sering ditampilkan pada berbagai acara pesta perkawinan, pengangkatan penghulu (tetua adat) dan acara adat lainnya. Musik dari tari Balanse Madam terdiri dari seperangkat perkusi seperti tambur, set drum dan simbal. Musik pengiring lainnya adalah biola, akordion dan alat tiup.
Secara keseluruhan tari Balanse Madam diiringi oleh orkes musik Musik Gamad, karena Musik Gamad merupakan bentuk kesenian musik yang dimiliki oleh masyarakat suku Nias di Seberang Palinggam Kota Padang yang kehadiranya bersamaan dengan munculnya tari Balanse Madam dalam masyarakat Nias.
Tari Balanse Madam ditampilkan dapat dilakukan siang hari maupun malam hari. Hal ini dapat disesuaikan dengan kebutuhan kegiatannya. Dalam arti kata tarian ini dapat ditampiikan pada ruangan terbuka ataupun tertutup. Tari Balanse Madam ditarikan oleh orang-orang yang telah berkeluarga. Setiap penari harus jelas apakah ia seorang suami atau isteri. Jadi tarian tradisional Balanse Madam bukanlah tarian yang ditarikan oleh semua orang, ini aturan yang telah ditetapkan dalam rapat antar suku atau Marga pada pertengahan abad ke-16.
Setelah proses penetapan tarian Balanse Madam sebagai tari tradisi masyarakat Nias, yang telah diatur dengan gaya, dan tata cara yang seragam. Sejalan dengan itu pula masyarakat Padang yang bersuku Minangkabau melalui Sutan Padang mengakui keberadaan tarian ini sebagai tarian Padang dari komunitas Suku Nias. Mulailah masyarakat Padang semenjak era tersebut memiliki warisan baru yaitu tari Balanse Madam.
Awal pertumbuhan tari Balanse Madam menurut Tawanti dan Utiah, tidak terjadi konflik yang berarti antara orang Nias dan Minangkabau maupun China dan orang Keling. Karena ke-empat suku inilah pada abad ke -16 yang menjadi penduduk kota Padang. Kenyataan ini disebabkan, karena dari segi struktur gerak, struktur penyajian dan tata cara penyajian maupun kostum dan musik pengiring, sama sekali tidak bertentangan dengan budaya suku-suku lain yang ada di Kota Padang pada masa itu. Memang ada pada awalnya sebelum menari Kepala Suku dan pemusik disuguhi minuman keras yang mengandung alkohol, akan tetapi setelah ditetapkan sebagai tarian adat, minuman keras diganti dengan yang tidak mengandung alkohol.
Pada awal pertumbuhan tari Balanse Madam, masyarakat di luar suku Nias tidak diperkenankan untuk menarikan, hanya baru sebagai menyaksikan saja. Apalagi masa itu kawin campur belum terjadi, atau perkawinan lintas suku belum terjadi di tengah-tengah masyarakat Nias. Kenyataan ini yang menyebabkan belum boleh dipelajari oleh suku lain.
Tari Balanse Madam bukan berasal dari Kepulauan Nias sebagai tanah leluhur, dia disebabkan oleh Diaspora suku Nias. Kalaupun dicari di tanah leluhur, tari Balanse Madam tidak mungkin dapat ditemukan. Tari Balanse Madam hanya dapat ditemukan dalam masyarakat Nias yang bermigrasi ke Kota Padang dari abad ke-16 saja. Masyarakat inilah yang menjadi pemilik sah tari Balanse Madam, dan mewariskannya secara turun temurun hingga sekarang ini abad ke 29 atau era teknologi dan globalisasi.
Kitapun tidak akan menemukan tari Balanse Madam pada orang imigrasi Nias yang bukan keturunan orang orang Nias abad ke-16 dulu. Karena tari Balanse Madam merupakan identitas dan fokus budaya bagi suku Nias keturunan abad ke-16 yang telah diakui sebagai orang Padang, yang telah memiliki tanah pusaka di seputar Gunung Padang atau Bukit Lantiak dan Mata Air.
Semula asal nama Balanse Madam tidak ada yang pasti tahu, namun yang jelas tari Balanse Madam memiliki perintah dalam bergerak dengan sebutan Balanse Madam, sejak itu tarian ini dipanggil oleh masyarakat tari Balanse Madam. Seperti sudah dijelaskan juga sebelumnya arti Balanse “harmonis†dan Madam adalah “nyonyaâ€. Ada juga kalangan masyarakat mengatakan tari Balanse Madam adalah tarian keharmonisan hubungan rumah tangga.
Bagian lain dari masyarakat pada masa lalu menamakan juga tarian Balanse Madam dengan istilah Kodril, Countril atau Quatril. Sebab itu tidak dapat dipastikan sejak kapan dipanggil tarian ini dengan sebutan Balanse Madam.
Disisi lain awal pertumbuhan tari Balanse Madam juga disebabkan adanya rumah-rumah Bola yang didirikan oleh Belanda di daerah Muara Padang. Kehadiran rumah-rumah cukup berarti dalam pemunculan tari Balanse Madam pada awal abad ke-16, sampai pada akhir abad ke-16. walaupun sebenarnya tarian ini pada akhirnya menjadi tarian adat orang-orang Nias Kota Padang.
B. Pertumbuhan Tari Balanse Madam Abad Ke-16
Tari Balanse Madam setelah menjadi kesenian tradisi orang Nias Padang. Maka kemudian diaturlah tari Balanse Madam menurut adat istiadat yang berlaku dalam suku Nias di Padang. Menghindari hal – hal yang tidak diingini karena ada beberapa hal yang tabu bagi orang Nias sendiri maupun bagi tetangga mereka (orang Minang) yang merupakan orang pribumi di Kota Padang, dimana ketabuan tari Balanse Madam disebabkan oleh karena tarian tersebut bercorak pergaulan antara pria dan wanita dalam bentuk berpasang-pasangan. Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Nias yang mana pada giilrannya tari tersebut disusun sesuai dengan adat istiadat orang Nias Kota Padang, dengan ketentuan sebagai berikut: setiap penari pria dan wanita haruslah yang sudah menikah, tidak ada hubungan keluarga antara penari pria dan wanita, setiap gerakan persentuhan tangan tidak diizinkan dan harus dilapisi dengan secarik saputangan, sebelum penampilannya, penari pria dan wanita harus minta izin kepada suami atau isteri maupun kepada pemimpin adat. Sehingga saat ini, tarian yang bersifat tradisi ini masih dipertahankan.
Tarian Balanse Madam terdiri dari berbagai bentuk gerak perpaduan antara gerak Melayu dan Minang serta gerak tari tradisional dari pulau Nias seperti tari Maena, Hiwõ dan Molaya yang dibawa oleh orang Nias hijrah ke Kota Padang. Sedangkan dalam struktur penyajiannya tari Balanse Madam diawali dengan empat orang penari laki-laki yang kemudian melakukan gerak pencak, setelah gerak pencak dilakukan kemudian mereka bergerak menjemput penari wanita. Setelah penari pria dan wanita berada di panggung (arena) yang sebelumnya telah melalui proses perizinan dari tetua adat, selanjutnya komander memerintahkan tarian segera dimulai, dan pemusikpun bersiap sedia untuk mengiringi tarian. Komander juga bertindak sebagai pengendali tarian hingga menentukan kapan tarian harus diselesaikan.
Dalam sajiannya tari ini ditarikan oleh delapan orang penari, yang terdiri dari empat orang penari pria dan wanita (yang diajak oleh penari pria). Tarian berlangsung dengan arahan komander di luar arena yang menempati posisi dekat anggota pemusik. Setiap gerakan atau ragam gerakan penari selalu harus mengikuti komando (arahan) dari seorang komander, tugas penari hanya menjalankan tugas atas instruksi Komander.
Pola gerak yang dilakukan adalah berbentuk pola pergaulan, dimana terdapatnya suatu komunikasi gerak yang responsif dengan dukungan ekspresi di antara masing-masing pasangan penari. Dalam bentuk disain lantai yang melingkar dan empat persegi. Geraknya selalu mengandung nuansa keakraban dan pergaulan. Masing-masing pasangan menari dengan pasangannya, kemudian sesuai komando dari komander mereka dapat bertukar pasangan baik ke depan maupun ke samping. Pada dasarnya tari Balanse Madam berfungsi sebagai tontonan hiburan bagi masyarakat pendukungnya. Dalam konteks waktu dan event, tarian ini dapat disajikan dalam upacara adat, pesta perkawinan, dan berbagai pesta adat.
Kehadiran tari Balanse Madam pada masa lalu (abad ke-16) merupakan hal yang sangat signifikan bagi kalangan suku Nias di Seberang Palinggam. Berbagai pesta yang digelar terasa hambar dan kurang semarak tanpa kehadiran dari pertunjukan tari Balanse Madam. Daya tarik tari Balanse Madam sangat berarti bagi masyarakat suku Nias di Kota Padang, terutama untuk mengisi acara hiburan pada pesta perkawinan.
Bagi suku Nias di Kota Padang pada masa lalu, kehadiran Tari Balanse Madam pada setiap pesta perkawinan, dapat memberikan suatu gambaran bahwa yang sedang punya hajat adalah orang-orang yang memiliki kemampuan dalam material. Secara tidak langsung biaya yang dikeluarkan untuk pesta lumayan besar.
Bertitik tolak dengan konteks material, Darwis Loyang menjelaskan bahwa dalam setiap pesta perkawinan yang diiaksanakan oleh anggota masyarakat suku Nias di Kota Padang selalu ditampilkan tari Balanse Madam bagi yang mampu dalam melaksanakannya. Hal ini dikarenakan oleh faktor finansial yang besar. Apalagi yang punya hajat harus mendatangkan para tetua adat, kelompok pemusik (orkes Musik Gamad) dengan segala fasilitasnya, belum lagi mengundang banyak kerabat dan warga kampung sekitar.
Tari Balanse Madam merupakan bentuk tarian yang bersifat hiburan dengan memiliki keunikan dalam personaliti, struktur penyajian, etika bergerak (menari) maupun simbol-simbol gerakan yang disajikan. Keunikan dari personaliti adalah seluruh penari baik laki-laki ataupun wanita harus berasal dari orang-orang yang sudah berkeluarga atau yang sedang menjalankan proses kehidupan rumah tangga. Dengan arti kata sedang memiliki status suami atau isteri. Tidak ada status janda atau duda maupun bujang dan gadis sebagai penari Balanse Madam pada masa pertumbuhan tarian ini abad ke-16.
Menilik dari sudut pandang struktur penyajian, tari Balanse Madam dimulai atau diawali oleh penghormatan penari laki-laki dengan gerak pencak kepada tetua adat, yang sebelumnya penari tersebut sudah minta izin kepada isteri masing-masing untuk menari. Kemudian tarian baru dapat dimulai apabila penari laki-laki meminta izin kepada tetua adat untuk mengajak penari wanita yang berstatus sebagai isteri orang lain. Seterusnya, tetua adat memerintahkan pada suami penari wanita tersebut, mengizinkan isterinya untuk menari, barulah dikatakan tari dapat dimulai. Selanjutnya penyajian tari diserahkan oleh tetua adat kepada seorang Komander (pemimpin atau penuntun tarian).
Dari sudut pandang etika menari (bergerak) tidak dibenarkan penari pria menyentuh tangan (telapak tangan) penari wanita secara langsung. Akan tetapi sebagai gantinya, untuk menghindari kontak langsung maka penari wanita melapisi telapak tangannya dengan secarik sapu tangan.
Sebelum terbentuknya tari Balanse Madam, kesenian masyarakat Nias di Kota Padang adalah unsur kesenian yang mereka bawa merantau ke Kota Padang. Dari tanah leluhurnya seperti Hiwo, Maena dan Molaya, yang tidak semua suku atau Marga yang dapat menarikan atau memainkan.
Kesenian yang dimiliki oleh orang Nias di Padang pada awal abad ke-16, tatkala kedatangan pertamanya, makin lama agak menyusut dari aktivitasnya. Pada pertengahan abad ke-16 terbentuklah kesenian Balanse Madam dan Musik Gamad.
Kesenian yang berasal dari kepualaun Nias terutama yang terkait dengan tari Balanse Madam seperti Hiwõ, Molaya, Maena dan Musik Gamad.
1. Kesenian Maena
Kesenian Maena merupakan salah satu kesenian masyarakat Nias di Kota Padang yang berasaI dari Pulau Nias. Kesenian ini merupakan kesenian tari-tarian yang diiringi oleh nyanyian yang dinyanyikan juga oleh penari. Para pemainnya terdiri dari pria dan wanita dengan gerakan yang mencerminkan kegembiraan.
Kesenian ini biasanya dimainkan pada saat pesta-pesta perkawinan. Dalam pesta perkawinan waktu dulu, di waktu mempelai pria datang ke tempat mempelai wanita, maka kesenian ini lebih dulu dimainkan oleh rombongan mempelai pria untuk memuja-muji mempelai wanita dan keluarganya, selanjutnya kesenian ini juga dimainkan oleh rombongan mempelai wanita memuja-muji mempelai pria dan keluarganya. Sedangkan bila dilaksanakan pada upacara pengangkatan penghulu, syairnyapun berisi puji-pujian terhadap penghulu yang diangkat tersebut. Pada waktu dulu kesenian ini biasanya disertai dengan kesenian Folau Hiwõ (kesenian hiburan) maupun Mamaheu Omo (kesenian dalam meruntuhkan rumah).
Pada saat sekarang, gerakan Maena ini boleh dikatakan sudah bebas dalam arti para penari boleh menciptakan gerakan tersendiri maupun syair lagunya, dan boleh dilakukan oleh kelompok pria atau wanita saja. Syair yang dinyanyikan juga tergantung pada situasi atau acara yang diikuti. Misalnya pada acara perkawinan syairnya berisi puji-pujian terhadap mempelai atau keluarganya, kalau untuk acara kerohanian maka syairnya juga berisikan tentang kerohanian dan sebagainya. Hingga pada saat ini kesenian Maena ini agak jarang dilakukan.
2. Folau Hiwõ (Hiburan)
Kesenian ini merupakan kesenian hiburan dan biasanya dilaksanakan pada acara-acara pernikahan. Kesenian ini dilakukan oleh beberapa orang laki-laki dengan saling berpegangan tangan namun tidak melingkar. Kemudian, gerakan yang dilakukan seperti gerakan ular dan mengelilingi rumah tempat pesta dilaksanakan. Sambil bergerak, mereka juga bernyanyi membawa cerita baik tentang pernikahan maupun pujian terhadap masing¬-masing mempelai dengan keluarganya.
Bila gerakan mereka tidak bisa memutari rumah, maka gerakannya cukup di halaman saja. Pada saat ini kegiatan inipun sudah jarang dilaksanakan karena di samping tidak ada yang mengajarkan, juga mereka tidak berkeinginan untuk melaksanakannya.
Kesenian Hiwo merupakan sumber garapan bagi tari Balanse Madam, hal ini terlihat seperti pola lantai lingkaran yang ada pada tari Balanse Madam, gerakan berpegangan tangan dan kedua unsur kesenian ini sama¬-sama ditampilkan dalam acara pernikahan (pesta perkawinan).
Seperti yang telah dikemukakan pada bagian awal bahwa kesenian Balanse Madam ini merupakan kesenian yang dipengaruhi oleh kesenian bangsa Portugis yang pernah datang ke Kota Padang dan dikembangkan oleh masyarakat suku Nias pada pertengahan abad ke-16. Hingga saat ini kesenian Balanse hanya dapat dipertunjukkan oleh masyarakat suku Nias saja dalam konteks tradisi (warisan budaya).
Menurut Bapak Tawanto Lawõlõ ada beberapa faktor penyebab kesenian ini dapat diterima oleh masyarakat Nias pada waktu itu, antara lain: (1) pada saat itu orang Nias banyak yang menjadi pembantu pribadi orang-orang Portugis tersebut sehingga sering menyaksikan kesenian ini dimainkan, (2) banyak orang Nias yang menganut agama yang dibawa oleh orang Portugis tersebut (yakni agama Kristen) sehingga hubungan keduanya semakin dekat, dan (3) gerakan tari Balanse Madam ini ada kemiripan dengan gerakan kesenian yang ada pada masyarakat Nias itu sendiri yakni kesenian Maena, Hiwo dan Molaya, sehingga lebih mudah dalam mempelajarinya.
Dengan berbagai alasan atau penyebab di atas, akhirnya tarian Balanse Madam dapat diterima oleh orang Nias di Seberang Palinggam. Pada gilirannya tarian ini disuburkan dan ditumbuhkembangkan dalam masyarakat Nias di Seberang Palinggam. Untuk menguatkan keberadaannya maka tarian ini pada pertengahan abad ke-16 dikokohkan sebagai tarian adat (tradisi warisan budaya) orang Nias di Seberang Palinggam.
Tari Balanse Madam berkembang pada pertengahan abad ke-16. hampir seluruh kelompok kesatuan Marga dan suku di berbagai pelosok Kota Padang dapat menarikan tari Balanse Madam. Mulai dari kelompok komunitas di Seberang Palinggam, Komunitas Simpang Enam, Kampung Nias sekarang dan Komunitas Tabing. Menyebarnya tari Balanse Madam ini seiring dengan menyebarnya kedudukan atau tempat tinggal orang-orang Nias yang ada di Padang.
Kehadiran tari Balanse Madam diperlukan ketika pertengahan abad ke-16 tersebut, salah satunya untuk meredam konflik antar suku. Karena konflik antar suku ini pada awalnya sering terjadi dikarenakan egosentris dari masing-masing suku atau Marga. Masing-masing marga atau suku selalu saja memaksakan aturan suku atau marganya yang harus digunakan dalam pergaulan atau kehidupan sosial sehari-hari. Hal hasil sering terjadi konflik antar suku.
Menurut Siciak Gadiang-gadiang, salah satu solusi untuk meredam konflik antar suku adalah tari Balanse Madam, karena tarian inilah yang tidak dimiliki oleh orang Nias di Kepulauan Nias. Sebagai pemersatu diantara mereka dibentuklah unsur budaya baru, yang dapat melunturkan egoisme marga atau suku mereka. Karena Kepulauan Nias terdiri dari dua kawasan besar yaitu Kepulauan Utara dan Selatan. Adat istiadat dan budaya diantara wilayah tersebut juga memiliki perbedaan dan persamaan. Dari sinilah muncul ego-ego tersebut, yang pada gilirannya memunculkan konflik.
Hadirnya tari Balanse Madam yang menjadi ikon atau simbol baru, yang dibuat secara bersama-sama, sudah barang tentu meleburkan adat dan budaya mereka dalam satu ikatan yaitu tari Balanse Madam. Oleh sebab itu pertengahan abad ke-16 tarian ini dengan berbagai rintangan dan persoalan antar suku secara bersama-sama oleh masyarakat Nias digalakkan. Apalagi kehadiran tarian ini sudah mendapat persetujuan oleh Sutan Padang di Alang Laweh sebagai tari tradisi Padang dari kalangan masyarakat suku Nias.
Disisi lain, digalakkannya tari Balanse Madam pertengahan abad ke-16 adalah untuk memunculkan identitas mereka sebagai orang Nias yang telah menjadi masyarakat Padang. Karena ikrar mereka sebagian besar tidak akan kembali lagi ke tanah leluhur. Kelak sebagai pertanda mana orang Nias Padang dan orang Nias yang datang pada masa datang adalah terletak pada adat istiadat dan budayanya, yaitu salah satunya tari Balanse Madam.
C. Masyarakat Pendukung Tari Balanse Madam
Secara tradisi Tari Balanse Madam merupakan warisan budaya orang Nias yang ada di Seberang Palinggam dan Kota Padang umumnya. Oleh karenanya, sudah barang tentu kesenian Balanse tersebut lebih hidup dan memang suatu keharusan untuk hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat Nias yang telah menjadi warga Kota Padang. Orang Nias warga Kota Padang tersebut adalah keturunan orang-orang Nias yang merantau dan mendirikan adat istiadat baru pada awal abad ke-16. Mereka adalah orang Nias yang telah diterima menjadi orang Padang, bukan para pendatang saat ini yang ada di Kota Padang. Orang-orang Nias awal abad ke-16 tersebut telah pula diterima secara adat oleh penguasa Kota Padang, yakni Sutan yang ada di Alang Laweh.
Karena orang-orang Nias sudah diakui menjadi warga Kota Padang, secara tidak langsung Tari Balanse Madam menjadi budaya atau kesenian tradisi Kota Padang yang terdapat pada komunitas orang-orang Nias di Seberang Palinggam, hingga komunitas orang-orang Nias di seluruh Kota Padang. Masyarakat kota secara moral turut mendukung terhadap keberlangsungan tari Balanse Madam. Pada kenyataannya hal ini dapat ditemui pada setiap perayaan ulang tahun Kota Padang tepatnya tanggal 7 Agustus setiap tahunnya. Dari partisipasi tentang pengakuan keberadaan tari Balanse Madam di Kota Padang oleh orang Minang yang mayoritas dan beragama Islam, hal ini berarti bahwa kesenian Balanse dapat diterima oleh warga Kota Padang sebagai bahagian dari kehidupan masyarakat kota. Kesenian Balanse telah diakui sebagai kesenian tradisi, yang merupakan warisan budaya, yang harus berkelanjutan secara turun-temurun dalam warga masyarakat pemilik tari Balanse itu sendiri.
Berbicara masalah tari Balanse Madam sebagai tarian adat masyarakat Nias, pada gilirannya seluruh komponen masyarakat Nias keturunan yang telah menjadi orang Padang (penduduk asli Padang semenjak abad ke-16) menjadi masyarakat pemilik budaya tari Balanse Madam. Walaupun masyarakat Nias terdiri dari daerah asal yang berbeda dari Kepulauan Nias, ditunjang oleh Marga yang berbeda-beda pula, sebut saja Zebua, Gulõ, Harefa, Dawõlõ, Lõmbu, Lawõlõ, Hura, Daeli, Zalukhu dan Laoli. Akan tetapi mereka telah diikat oleh persatuan budaya baru, yang tak lain kesenian tari Balanse Madam.
Semenjak pengakuan keberadaan mereka menjadi penduduk tetap Kota Padang, pada pertengahan abad ke-16 oleh Sutan Padang dan masyarakat Minangkabau, semenjak itu pula mereka disarankan membentuk identitas atau budaya baru yang dapat disesuaikan dengan kebudayaan masyarakat tempatan, yakni masyarakat Minangkabau. Peninggalan-peninggalan budaya lama disarankan untuk menyesuaikan. Apalagi konflik antar marga sering terjadi akibat berbenturan masalah budaya ke margaan dan wilayah asal tanah leluhur mereka.
Konsep pemikiran itulah melahirkan budaya baru orang Nias Padang, yang hanya dimiliki oleh orang Nias yang telah menjadi orang Padang. Salah satu dari gagasan tersebut melahirkan produk budaya tari Balanse Madam, yang diakui keberadaannya oleh semua marga atau oleh seluruh masyarakat Nias yang telah menjadi warga Kota Padang. Mulailah saat itu seluruh unsur kekerabatan dalam kesukuan atau marga orang-orang Nias keturunan merasa berkewajiban untuk mendukung keberadaan tari Balanse Madam dalam kehidupan sosial mereka.
Semenjak dicetuskan tarian Balanse Madam sebagai adat masyarakat Nias Padang, semenjak itu pula disosialisasikan dan dibudayakan menyangkut hal-hal teknis yang berlaku dalam pertunjukan tari Balanse Madam kepada seluruh lapisan masyarakat Nias yang tersebar di Seberang Palinggam dan Kampung Nias.
Kedua wilayah ini merupakan basis tempat tumbuh dan berkembangnya kesenian tari Balanse Madam pada awal pertumbuhannya di Kota Padang. Wilayah ini selalu ramai oleh para penduduk Nias keturunan pada abad ke-16 tatkala digelar pertunjukan kesenian tari Balanse Madam, masyarakat Nias di kedua wilayah ini menjadi masyarakat pendukung kesenian tari Balanse Madam secara tradisional.
Tak salah kiranya masyarakat pendukung tari Balanse Madam adalah orang-orang Nias yang telah menjadi warga Kota Padang, yang pada awalnya pertumbuhannya berbasis di wilayah Seberang Palinggam dan Kampung Nias. Masyarakat Nias Kota Padang secara tradisi dan kebudayaan merupakan pemilik sekaligus masyarakat pendukung tari Balanse Madam.
Masyarakat Nias yang telah menjadi warga Kota Padang pada abad ke-16, oleh para kepala kampung, kepala adat atau tetua adat dan orang-orang yang berpengaruh dalam kesukuan atau marga mendorong berbagai lapisan masyarakat untuk memahami, mengetahui dan mendukung keberlangsungan perkembangan tari Balanse Madam di tengah-tengah kehidupan sosial masyarakat Nias.
Salah satu bentuk keterikatan yang dapat mendorong keberlangsungan pertumbuhan tari Balanse Madam menurut Tawanto adalah melibatkan pemangku adat. Keterlibatan ini seperti diatur dalam tata cara penyajiannya. Dengan melibatkan orang-orang yang berpengaruh dalam masyarakat Nias, secara tidak langsung mengharuskan tarian Balanse Madam untuk terus tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Nias.
Sering dalam sosialisasi pertumbuhan tari Balanse Madam, para pemangku adat menurut Tawanto menyebarkan pengaruhnya dengan berbagai isu tentang betapa pentingnya kehadiran tari Balanse Madam sebagai media interaksi dan integrasi antar berbagai marga dan kesukuan dalam masyarakat Nias. Hal yang terpenting dalam mendorong masyarakat Nias untuk membudayakannya, adalah tari Balanse Madam berperan sebagai tanda mereka adalah orang Padang, tidak lagi orang Nias yang baru datang, akan tetapi adalah orang Padang. Memang pada tahun 1970-an ke bawah orang Padang pinggiran tidak mau disebut dengan orang Padang, karena menurut mereka, yang orang Padang itu adalah orang Nias. Barulah semenjak era 1980-an semenjak perluasan Kota Padang mereka mau disebut orang Padang.
Disamping tari Balanse Madam sebagai tarian tradisi yang dimiliki oleh masyarakat Nias Kota Padang, akan tetapi bukan tidak ada masyarakat pecinta tarian ini diluar masyarakat Nias. Sebagai contoh adalah komunitas keturunan imigran dari Asia Selatan seperti suku Keling (Tamil dan India serta Gujarat).
Berbicara kehadiran orang-orang Nias di Padang, tak ketinggalan pula untuk menyinggung masyarakat keturunan dari suku Keling (istilah orang Minangkabau). Karena mereka merasa sesama perantau, hal ini menimbulkan rasa solidaritas diantara mereka. Rasa solidaritas ini berkembang pada relasi-relasi kepentingan politik dan ekonomi, serta eksistensi mereka di Kota Padang.
Untuk memperkokoh eksistensi mereka, perlu diantara mereka saling berbagi dan saling mendukung dalam hal ini salah satunya dalam masalah kebudayaan. Fakta yang jelas pada pertengahan abad ke-16 saat lahirnya orkes Musik Gamad di Kota Padang, salah satunya disebabkan campur tanganya orang Keling dan orang Nias, karena mereka berdualah lahir orkes Musik Gamad, yang kemudian berkembang sebagai musik pengiring tari Balanse Madam.
Walaupun demikian, kalangan suku Keling hanya ketika itu berada dalam tataran posisi penikmat, dan memberikan dukungan moral terhadap keberlangsungan pertumbuhan tari Balanse Madam di Kota Padang masa itu. Suku Keling adalah salah satu suku imigran dari luar kepulauan Nusantara yang dapat disejajarkan kedudukannya dengan suku Nias pada masa pertengahan abad ke-16 tersebut. Masyarakat Keling yang berada di sekitar sungai Batang Arau, atau tepatnya sekarang di daerah Pasar Gadang, Ranah dan daerah sekitar Tanah Kongsi di daerah Pondok sekarang, rata-rata kehidupan mereka berniaga. Masyarakat Keling sangat gemar dengan kesenian, baik tari maupun musik. Realitas ini yang menyeret mereka untuk respon terhadap kesenian tari Balanse Madam.
Ditilik dari pertunjukan tari Balanse Madam yang bernuansa pergaulan, dan tidak terlalu rumit untuk dipelajari. Apalagi tarian ini mengandung unsur joget, walaupun berupa langkah-langkah step biasa seperti gerak jalan (melenggang), bagi suku Keling terasa sesuai dengan pola-pola tarian leluhur mereka. Apalagi mereka membutuhkan media hiburan untuk berinteraksi. Dukungan masyarakat Keling membuat pertumbuhan tari Balanse Madam pada masa abad ke-16, menjadi membudaya dalam masyarakat Nias Padang.
Dukungan lain yang tak kalah penting adalah berasal dari Sutan Padang dan para warga Padang lainnya yang mayoritas suku Minangkabau. menurut Utiah, salah seorang pewaris tari Balanse Madam masa sekarang ini, tak jarang Sutan Padang menyaksikan pertunjukan tari Balanse Madam yang digelar dalam wilayah Kampung Nias dan Seberang Palinggam.
Sutan Padang sama sekali tidak melarang kesenian tari Balanse Madam dibudayakan di Kota Padang. Walaupun demikian Sutan Padang memberi saran agar kesenian tari Balanse Madam menyesuaikan dengan tata krama dan etika orang Minangkabau sebagai pemilik daerah kekuasan. Pertunjukan tari Balanse Madam agar tidak menyimpang dari pola-pola budaya Minangkabau.
Kenyataan yang terjadi pada masa awal pertumbuhan tari Balanse Madam, bahwa tarian ini tidak mendapat tantangan yang berarti dari masyarakat di luar suku Nias, baik dari suku Minangkabau maupun suku Keling, bahkan penguasapun baik Belanda dan Sutan Padang tidak melarang aktivitas kesenian ini. Ternyata pada gilirannya kesenian ini pulalah yang menjadi ikon kota Padang hingga masa kini.
Sungguhpun demikian dari abad ke-16 sampai orde lama dan awal orde baru atau tahun 1970-an, kesenian Balanse Madampun tidak pernah dimainkan oleh suku diluar suku Nias. Masyarakat Minang hanya sekedar penikmat, bahkah suku China dan Kelingpun merupakan penikmat yang setia hingga sekarang ini.
Memasuki tahun 1980-an barulah tari Balanse Madam mulai menyebar ke berbagai sanggar tari dan sekolah-sekolah seni atau perguruan tinggi seni di Sumatera Barat dan terutama di Kota Padang. Hal ini membuktikan masyarakat pendukung tari Balanse Madam buka saja berasal dari pemilik sah dari warisan budaya tersebut yakni masyarakat Nias, akan tetapi juga masyarakat Kota Padang pada umumnya.
Semenjak pemerintahan Kota Padang dipimpin oleh Syahrul Ujud tahun 1983, keterbukaan pemerintah terhadap kesenian asli kota Padang mulai dipopulerkan kembali ke tengah-tengah kehidupan masyarakat kota. Tidak saja kesenian asli yang berasal dari kenagarian di luar Kota Padang lama, seperti kesenian Nagari Pauah, Lubuk Kilangan, Nan Duo Puluah, Bungus Teluk Kabung dan Koto Tangah, yang jelas berakar pada budaya Minangkabau. Akan tetapi pemerintah kota juga menggali kembali kesenian asli warga Kota Padang yang telah diakui menjadi budaya Kota Padang. Melihat sejarah kehadiran orang Nias di Kota Padang, sudah barang tentu kesenian tari Balanse Madam merupakan warisan budaya Kota Padang yang perlu dilestarikan dan diakui keberadaannya.
Kehadiran tari Balanse Madam dengan sejarahnya panjang, oleh pemerintah Kota Padang semenjak kepemimpinan Syahrul Ujud pada tahun 1983, tarian ini dijadikan salah satu ikon Kota Padang, disamping Musik Gamad, yang juga banyak dimainkan oleh masyarakat Nias bersama komunitas Suku Keling keturunan.
* Tulisan ini muncul dalam blog Tantra Theatre Padang dan ditayangkan di Nias Online atas izin dari Bapak Indra Yudha, penulis artikel terebut.
**Penulis adalah Mahasiswa Program Doktor Universiti Sains Malaysia Dosen FBSS Universitas Negeri Padang.
Catatan: Perbaikan penulisan dengan memeprkenalkan karakter ‘õ’ pada beberapa kata Nias dilakukan oleh Redaksi Nias Online.
Artikel Pak Indra Yudha menarik sekali. Tari Balanse Madam contoh sebuah difusi kebudayaan, antara kebudayaan Portugis dan Nias, pd abad ke-16.
Sebagai tambahan info, di jurnal Sosiohumanika (Vol. 16, No. 3/2003) Risnawati dan R.M. Soedarsono menulis artikel bertema sama, judulnya “Tari Balanse Madam dalam Masyarakat Nias di Padang Sumatera Baratâ€. Artikel tsb naskah publikasi dari tesis Risnawati di Pascasarjana UGM. Dalam abstract disebutkan, “Balanse Madam dance origines from sincritism between Portuguese culture and traditional culture of Nias especially in Seberang Palinggam, and Padang area generally.â€
Indra Yudha: Menurut Bapak Tawanto Lawõlõ ada beberapa faktor penyebab kesenian ini dapat diterima oleh masyarakat Nias pada waktu itu, antara lain: (1)…, (2) banyak orang Nias yang menganut agama yang dibawa oleh orang Portugis tersebut (yakni agama Kristen) sehingga hubungan keduanya semakin dekat, dan (3)…
Butir (2) menunjukkan orang Nias menganut Kristen (Katolik?) abad-16 saat kesenian Balanse Madam tumbuh. Hal ini baru. Apakah masyarakat Nias di Padang waktu itu benar telah menganut Kristen? Informasi ‘sejarah’ tersebut perlu ditelusuri dan didalami lebih lanjut.
Catatan sejauh ini, orang Nias mulai menganut Kristen abad-19. Tahun 1824 Jean-Baptiste Boucho membaptis 30 orang Nias di Penang. Maret 1832 Jean-Pierre Vallon (misionaris Katolik asal Perancis) dan Francisco (orang Nias, katekis atau guru agama Katolik di Penang) tiba di Gunungsitoli. Vallon sempat membaptis beberapa anak di Nias, tapi Juni 1832 dia mendadak meninggal. Lalu tahun 1865 Ernst Ludwig Denningger (misionaris Protestan asal Jerman) tiba di Gunungsitoli, membawa agama Kristen. Sebelumnya dia membaptis beberapa orang Nias di Padang.
Bahwa tari Balanse Madam ini warisan adat masyarakat Nias yg diaspora ke Padang abad ke-16 merupkan fakta sejarah tak dipungkiri. Seyogianya budaya ini bisa menuntun kita mengenal karakteristik orang Nias zaman itu [abad ke-16]. Namun tulsan pak Indra Yudha terkesan melukiskan karakteristik masyarakat Nias sekitar abad 19-20. Pak Yudha menulis, “Walaupun masyarakat Nias terdiri dari daerah asal yang berbeda dari Kepulauan Nias, ditunjang oleh Marga yang berbeda-beda pula, sebut saja Zebua, Gulõ, Harefa, Dawõlõ, Lõmbu, Lawõlõ, Hura, Daeli, Zalukhu dan Laoli. Akan tetapi mereka telah diikat oleh persatuan budaya baru, yang tak lain kesenian tari Balanse Madam.” Berani saya pastikan abad ke-16 marga yg disebut pak Yudha itu belum ada [dikenal]. Barulah 3 abad kemudian [abad ke-20] nama-nama marga [mado] itu muncul di Tanõ Niha. Kemudian lagi Pak bisakah pak Yudha pastikan tradisi Hiwõ, Molaya, Maena tlah ada abad ke-16 di wilayah [kebudayaan] Nias selanjuyta dibawa orang Nias abad ke-16 itu ke Padang?
Laso Telaumbanua
Wahh… responsenya Bang Laso menggelitik jg neeh… yg terjdi mungkin sebaliknya loh! bukannya maena yg masuk balanse madam bisa aja terjadi tari balanse madam dibawa pulang mudik “orang Nias abad 16” tyuzzz diramu dgn tari perang dan syair hoho yg dah kian ada di Nias terciptalah tari maena itu… siapa tau kt malah lg diskusi soal “sejarah tari maena” neeh… 🙂
wah seru ya…trims untuk semua. kebetulan saya mo penelitian musik suku bangsa nias yang ada di sumbar. @ debora ; tanggapan anda sangat hebat kalimat yang penuh tanda tanya besar “jangan-jangan kita sedang bahas maena”
minta tulisan tentang musik iringan tari nya dunk