Sanggar Seni Budaya Hilisawatöniha dan Pernak-pernik Peninggalan Leluhur di Nias

Sunday, October 6, 2013
By Lovely Christi Zega

Oleh : Frederik C.H.Fau

Tari_PerangNias

Tari Perang (Fatele) | www.jaring-ide.com

Salam budaya kedaerahan Hulo Nias dari penulis: Ya’ahowu!! Peranan Sanggar Seni Budaya (SSB) sangat berarti dalam pengembangan dan pelestarian budaya Nusantara. Salah satu desa budaya yang memiliki (SSB) adalah Desa Botohilitanö melalui Sanggar Budaya Hilisawatöniha. Sanggar yang tetap eksis hingga kini itu berada dalam Wilayah Kecamatan Fanayama (sekarang termasuk wilayah Kecamatan Luahagundre Maniamölö).

Sanggar Seni Budaya Hilisawatöniha, desa Botohilitanö, kecamatan Fanayama, Nias Selatan, berdiri pada tanggal 15 Januari 1991 dan diprakarsai oleh beberapa tokoh adat dan tokoh masyarakat desa Botohilitanö. Salah seorang pemrakarsa adalah bangsawan/Si’ulu desa Botohilitanö yang bernama Amurisi Fau dengan gelar adat Solagö Ewali. Adapun tujuannya yaitu untuk menggali kembali potensi nilai–nilai keaslian budaya masyarakat adat desa Botohilitanö serta untuk mewariskan nilai–nilai budaya tersebut pada generasi penerus.

Atraksi pementasan karya SSB Hilisawatöniha kerap ditampilkan ketika semisalnya pada acara penyambutan tamu pejabat/pembesar, acara pemakaman bangsawan/Si’ulu, acara pesta adat pernikahan dan pagelaran–pagelaran seni budaya lainnya. Atraksi seni-budaya yang ditampilkan SSB Hilisawatöniha pun sangat beragam. Berikut uraian sekilas ragam atraksi SSB Hilisawatöniha.

Fogaele – Forgaele merupakan salah satu jenis atraksi kebudayaan tarian tradisional yang dibawakan oleh para wanita. Tari ini bertujuan untuk mengantar dan membawakan sekapur sirih pada para tamu. Dengan kata lain, tarian ini adalah tarian selamat datang bagi para tamu.

Tari Moyo – Tari ini adalah salah satu jenis atraksi kebudayaan berupa tari hiburan tradisional bagi para tamu. Sebagaimana tari Fogele, tari Moyo juga berfungsi sebagai tarian selamat datang.

Fatele (Tari Perang) – Tari Fatele ini merupakan salah satu taktik perang untuk memerangi musuh atau sebagai pertahanan untuk menjaga dan mempertahankan diri dari serangan musuh. Pada masa sekarang Fatele kerap ditampilkan untuk menyambut tamu. Maka tidak mengherankan jika tari ini disebut juga sebagai tari perang.

Seni Musik Tradisional – Salah satu jenis atraksi kebudayaan adalah dengan cara memainkan alat-alat musik tradisional, seperti gendang, gong, atau faritia. Alat musik ini dimainkan untuk mengiringi tari-tarian yang dipertunjukkan dalam atraksi-atraksi seni.

Fo’ere – Fo’ere merupakan salah satu bentuk ritual doa yang sangat sakral sebagai upaya untuk menangkal bala atau bencana di desa. Fo’ere dibawakan dengan disertai suatu alat musik pengiring doa yang disebut Fondrahi (sejenis alat musik gendang berukuran panjang). Ritual ini telah dilakukan sejak dahulu ketika masyarakat adat desa Botohilitanö masih menganut kepercayaan animisme dan dinamisme. Hingga saat ini, Fo’ere dilaksanakan dengan dipimpin oleh para penatua adat yang dipilih dari para musyawarah/peraturan desa. Selain itu, musyawarah desa juga turut menentukan pada situasi seperti apa Fo’ere dilaksanakan.

Seni Pematokan Batu Gelar Raja/Bangsawan/Si’ulu – Seni ini adalah salah satu budaya yang diperuntukkan bagi seseorang yang telah memenuhi syarat ‘tertentu’ menurut hukum adat dengan tujuan untuk mendapatkan dan mengukuhkan gelar adat yang disebut dengan Batu Faulu. Batu melambangkan klan atau kebesaran adat desa Botohilitanö. Sedangkan Faulu berasal dari nama pendiri desa, yakni Lafau.

Seni Tari Perarakan Peti Jenasah Raja/Bangsawan/Si’ulu – Tarian yang sebelumnya didahului oleh Tarian Perang (Fatele) ini dilakukan dalam atraksi perarakan peti jenasah raja/bangsawan/Si’ulu untuk dikebumikan.

Hombo Batu (Lompat Batu) – Atraksi kebudayaan latihan perang tradisional ini diperuntukkan bagi Sihinodöla.Sihinodöla ini dimaksudkan agar para pemuda desa yang memiliki fisik sehat dan kuat, yang telah memenuhi syarat untuk berperang, dapat memerangi atau mempertahankan diri dari serangan musuh.

Pada masa silam umumnya setiap desa tradisional di Teluk Dalam memiliki sistem pertahanan, yaitu setiap desa dikelilingi oleh benteng pertahanan terbuat dari gelondongan kayu besar dan kokoh membentuk formasi pagar mengelilingi seluruh kampung yang tingginya umumnya berkisar ± 2,10 m. Benteng pertahanan ini menyulitkan pihak penyerang atau musuh untuk memasuki daerah serangan atau daerah pertahanan. Jadi, untuk melompati benteng dan agar memudahkan memasuki daerah target serangan Sihinodöladibekali dengan taktik perang dan harus mampu melompati batu yang tingginya ± 2,10 m yang ada di halaman desa sebagai latihan perang. Latihan Perang ini disebut denganHombo Batu. Bila Sihinodölatelah mampu melompati batu yang dimaksud artinya yang bersangkutan telah memenuhi salah satu syarat utama untuk maju ke medan perang.

Meski atraksi seni dan budaya yang ditampilkan cukup banyak, berdasarkan data, eksistensi SSB di kawasan Kabupaten Nias Selatan dari tahun ke tahun mengalami penurunan. Data lima tahunan menyebutkan bahwa SSB cukup banyak yang masih aktif. Akan tetapi, data terkini (tahun 2011-2013) menunjukkan bahwa kebanyakan SSB sudah tidak aktif dan hanya beberapa desa yang SSB-nya masih ada dan aktif operasionalnya (Sumber: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Nias Selatan).

Eksistensi SSB Hilisawatöniha Desa Botohilitanö tentu saja semestinya juga dibarengi dukungan stakeholder dalam hal ini pemkab Nias Selatan dan pihak swasta. Dukungan itu dapat diwujudkan dalam bentuk perhatian, pembinaan, atau promosi. Kurangnya perhatian dari pihak pemerintah dan swasta merupakan salah satu faktor menurunnya keaktifan dan jumlah SSB. Yang dibutuhkan adalah solusi atas permasalahan dan kebijakan yang tepat sasaran. Selain itu, yang juga dibutuhkan adalah stakeholder memahami pentingnya keberadaan SSB agar mengerti kebutuhan SSB. Disisi lain, peranan semua pihak agar tetap kompak dalam memberikan kontribusi positif sumbangsih pemikiran, percepatan pembangunan, atau pembinaan terhadap operasional SSB Hilisawatöniha. Bila tidak diantisipasi sejak dini, cepat atau lambat adat istiadat dan tradisi di Desa Botohilitanö diprediksikan akan punah.

Selain atraksi-atraksi yang telah dipaparkan sebelumnya, desa Botohilitanö selaku desa adat masih memiliki beragam adat istiadat dan tradisi yang tertata dalam suatu peraturan desa selaku tatanan baku yang mengikat dan mengatur masyarakat adat desa. Adat-istiadat ini tanpa mengabaikan legalitas peraturan pemerintah namun tetap tidak mengurangi keaslian nilai dan norma budaya warisan peninggalan leluhur masyarakat desa Botohilitanö. Adat-istiadat itu misalnya meliputi seni bertutur kata, pola gerak dan laku, dan hoho (syair).

Penulis menyadari adanya kekurangan dalam penyusunan artikel ini. Oleh karena itu, dibutuhkan saran dan kritik yang sifatnya membangun budaya nusantara pada umumnya dan secara khusus budaya Nias. Kiranya artikel ini bermanfaat sebagai bahan “reflection to goal” (merenungkan kembali sembari memikirkan untuk memantapkan apa yang akan menjadi sasaran ke depan) dan “introspection to goal” (sikap dan tujuan untuk mengukur atau mengoreksi kemampuan diri secara pribadi untuk selanjutnya menuju ke arah yang lebih baik dan lebih bermanfaat).

*Penulis adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Lingkungan Pemerintah Daerah Kabupaten Nias Selatan.

Narasumber:
Samakhoi Wau dengan gelar adat Tuha Sitöra.
Amurisi Fau dengan gelar adat Solagö Ewali.
Samasuka Fau, SE dengan gelar adat Salawa Harimao dan Samaeri Eho.

Editor: Lovely Christi Zega

Tags: ,

6 Responses to “Sanggar Seni Budaya Hilisawatöniha dan Pernak-pernik Peninggalan Leluhur di Nias”

Leave a Reply

Kalender Berita

October 2013
M T W T F S S
 123456
78910111213
14151617181920
21222324252627
28293031