Mengelola Kebebasan – Tantangan Bagi Masyarakat Ono Niha
Oleh Mathias J. Daeli
I. Pengantar
Dua bulan yang lalu, tepatnya dalam Sidang Paripurna DPR tanggal 29 Oktober 2008 yang lalu Kabupaten Nias berdasarkan UU N0. 22 Tahun 1999 dimekarkan menjadi 4 (empat) daerah: Kabupaten Nias (induk), Kabupaten Nias Barat, Kabupaten Nias Utara, dan Kota Gunung Sitoli. Dari peristiwa politik dan hukum ini, bagi masyarakat Ono Niha bukan hanya memberikan kesenangan, kegembiraan, dan kebanggaan. Melainkan yang utama dan terpenting adalah kesadaran pada “tantanganâ€: kesungguhan dan tekad mengelola kebebasan dengan sebaik-baiknya – konsekwensi logis dari pemekaran – otonomi.
Sehubungan dengan itu, lebih-lebih pada awal pemekaran, penulis mengajak pembaca merenungi bersama “hal-hal yang perlu disadariâ€. Sebelum sampai pada yang dimaksud, karena awal pemekaran ini bertepatan dengan beberapa Hari Raya, maka penulis menyampaikan:
- SELAMAT HARI NATAL 2008 bagi umat Kristiani. Semoga hikmah Natal menggelorakan kasih dan damai dalam hati setiap insan yang berkehendak baik.
- SELAMAT TAHUN BARU 1430 HIJRIYAH bagi umat Muslim. Semoga hikmah Tahun Baru 1430 menggelorakan semangat kasih persaudaraan antara warga bangsa Indonesia dan seluruh umat manusia.
- SELAMAT TAHUN BARU 2009 bagi seluruh Ono Niha. Semoga tahun 2009 ini, Ono Niha sungguh mulai memanfaatkan otonomi dengan sebaik-baiknya untuk kebaikan dan kesejahteraan seluruh masyarakat Ono Niha dan bangsa Indonesia.
Peristiwa politik dan hukum – pengesahan pemekaran itu patut disambut gembira dan bangga oleh Ono Niha (masyarakat Nias). Gembira karena menjadi daerah otonomi memang diinginkan. Bangga karena dalam waktu yang relatif singkat, sejak terbentuknya Kabupaten Nias Selatan tahun 2003, Tanõ Niha telah menjadi 4 Kabupaten dan Kota Gunung Sitoli.
Dalam tataran kebebasan berpendapat, terhadap pristiwa hukum dan politik ini, ada dua kemungkinan tanggapan ekstrim yang timbul apabila diajukan ramalan tentang kecenderungan perkembangan Tanõ Niha (Pulau Nias) setelah pemekaran.. Pertama, yang melihat kecenderungan secara optimistik berlebihan atau utopistik, karena terlalu yakin pada “semangat†sebagai kebenaran satu-satunya untuk pembangunan. Kalau tidak memiliki semangat dan tidak optimis mengapa berjuang untuk dimekarkan, kata kelompok ini. Mereka menganggap pemekaran yang disertai otonomi itu sebagai variabel perubahan yang bersifat mutlak dan dominan untuk terlaksananya pembangunan di Tanõ Niha. Kedua, pada ekstrimitas yang lain melihat kecenderungan perkembangan setelah pemekaran secara pesimis dan cemas berlebihan atau distopistik. Dapat saja kelompok ini mengatakan bahwa Tanõ Niha yang pembangunannya tertinggal dibandingkan dengan daerah lain di Sumatera Utara: Apakah sudah saatnya dimekarkan menjadi beberapa daerah otonomi ? Krisis ekonomi nasional mau pun mondial dewasa ini mereka tambahkan untuk memperkuat alasan kepesimisan mereka.
Kedua pandangan tersebut diatas bukan merupakan pandangan yang sehat dan proposional, namun tidak salah dalam kebebasan berpendapat. Harus dipahami dan disikapi dengan bijak. Timbulnya pandangan yang tidak proposional ini karena beberapa kenyataan, antara lain: Pertama, pertimbangan bias anggapan terhadap otonomi. Beranggapan seakan-akan setelah pemekaran dengan otonomi, pembangunan berlangsung lancar atau setidaknya lebih baik. Kedua, kurangnya pemahaman terhadap pendekatan partial pelaksanaan pembangunan selama ini yang kendalanya kadang absolut. Ketiga, tiadanya pemahaman filosofis-konseptual yang adekuat tentang otonomi-pemekaran.
Penulis tidak bermaksud membahas lebih lanjut ketidakproposionalan kedua pandangan itu. Sebab, tujuan penulis bukan untuk berteori atau berfalsafah tentang pemekaran wilayah dengan otonominya. Juga tidak bermaksud untuk lebih mengetahui alasan sehingga pemekaran itu disahkan Sidang Paripurna DPR. Alasan-alasan yang digunakan sehingga disahkannya pemekaran bukan lagi masalah. Setelah pemekaran, maka yang menjadi fokus perhatian, sikap dan tekad perbuatan Ono Niha ialah agar otonomi tidak hanya simbol melainkan sungguh-sungguh menjadi sarana yang berdaya guna, berhasil guna, dan tepat guna untuk mewujudkan yang dicita-citakan .
Pada artikel ini, penulis berturut-turut menyampaikan dalam beberapa bagian hal-hal mengenai : otonomi jembatan cita-cita, tekad yang berkesadaran, dan (Penutup) abstraksi seharusnya yang kita lakukan. Penulis bukan bertujuan menyampaikan hanya satu kebenaran pendapat. Yang penulis sampaikan dalam artikel ini lebih merupakan bahan untuk kita memulai bersumbang sadap saran dalam upaya mesukseskan penerapan otonomi di Tanõ Niha.
Di samping itu, penulis sejak awal dikandung maksud untuk melengkapi artikel ini dengan konsep tentang : “potensi-potensi yang perlu dikelola dengan baik†dan “yang seharusnya dilakukan secara konkritâ€. Namun, ketidakmemiliki cukup data, maksud tersebut tidak tercapai atau setidaknya tertunda. Dan sangat diharapkan teman-teman yang memiliki bahan bersedia menulis , sebab hasil pemikiran “apa pun “ asal disampaikan dengan tulus merupakan bahan yang baik bagi penentu kebijakan penyusunan strategi perjuangan meraih tujuan otonomi.