Sukacita Natal di Tengah Krisis Global
Oleh Stevanus Subagijo*
Joy to the world, sukacita bagi dunia. Itulah kata-kata familiar menyambut datangnya Natal. Sejak kelahiran Yesus dua ribu tahun lalu, sukacita akan lahirnya Juru Selamat tetap utuh. Tidak ada “sukacita yang terdistorsi keadaan”. Tidak ada pula “sukacita dengan keprihatinan”, apalagi “separuh sukacita – separuh dukacita” sebagai reaksi sukacita di tengah keadaan yang tidak menguntungkan, seperti: perang, bencana alam, krisis ekonomi, wabah kelaparan, konflik rumah tangga, PHK, penyakit, dan kemiskinan. Apa pun situasi dunia, sukacita Natal mengatasi semua yang terjadi di dunia. Bahkan sejak Yesus dilahirkan, sukacita tetap memancar meski situasi sosial dan politik saat itu penuh dukacita dan ratap tangis.
Sejarah kelahiran Yesus mencatat terjadinya pembunuhan anak-anak oleh Raja Herodes yang diharapkan bisa menyasar kepada bayi Yesus. Meski di tengah teror seperti itu, sukacita tetap hadir. Dalam konteks, hari-hari ini, sukacita Natal masih seratus persen utuh, walau krisis global terus memakan korban di seluruh dunia. Hari-hari ini, umat kristiani pun tak luput dari ancaman dampak krisis global. PHK, kelesuan ekonomi, berkurangnya penghasilan, turunnya kualitas kehidupan, kemiskinan, dan seterusnya. Bagaimana umat kristiani menempatkan sukacita Natal yang sebentar lagi dirayakan di tengah derita krisis global ?
Dalam iman kristiani, sukacita (joy) diimani sebagai buah Roh Kudus. Yakni, bukti pekerjaan Allah dalam kehidupan orang yang percaya. Ini berarti bahwa sukacita bukan karya manusia semata, pun bukan akibat logis bersyarat bahwa dukacita, kesedihan, penderitaan, dan pendeknya semua problema, harus lenyap lebih dahulu agar sukacita muncul. Banyak orang memaknai sukacita Natal berupa hilangnya kesedihan atau problema kehidupan. Padahal, Alkitab tidak berbicara tentang sukacita dengan syarat atau perlunya kondisi yang mengawali, atau perasaan baik-baik saja atas segala sesuatu yang melingkupi kehidupan, agar orang bisa bersukacita.
Rasul Paulus pernah mengatakan dirinya sebagai orang berdukacita, namun senantiasa bersukacita (II Korintus 6:10). Ia mempraktikkan sukacita di tengah derita, musibah, dicambuk, dipenjara, dirampok, dan seterusnya. Bahkan Yesus sendiri mengatakan, kamu sekarang diliputi dukacita, tetapi … hatimu akan bergembira (Yoh 16:22). Alkitab memberikan banyak contoh kekecewaan dan sukacita, berjalan seiring dalam satu momen dan waktu. Sukacita dengan demikian mengatasi situasi dan kondisi apa pun, bahkan yang terburuk sekalipun.
Lebih Dalam
Sukacita Natal tidak harus diukur dengan pesta, baju baru, kue lezat, pun ibadah Natal yang meriah. Jika itu semua bisa dilakukan, sepanjang bertujuan untuk mensyukuri berkat dan sukacita Natal, di mana fokusnya tetap kepada Juru Selamat- tidak ada salahnya. Problemnya hanya masalah etis atau tidak tindakan itu di tengah krisis global. Tetapi, sukacita Natal lebih dari sekadar antusiasme keagamaan sesaat (ibadah dan perayaan Natal). Sukacita Natal berakar lebih dalam dari itu. Ia berakar pada an absence of despair. Sukacita yang tanpa syarat menjadi batasan untuk mempercayai Tuhan yang Maha Baik, bahkan di tengah hal yang menurut ukuran manusia sangat buruk. Sukacita Natal mengajarkan kepada kita bahwa ada sukacita yang lebih tinggi dari sekadar sukacita manusiawi bersyarat. Ada sukacita yang lebih tahan banting dari pada sukacita yang temporer.
Ini berarti, saat kita memasuki bulan sukacita Natal di tengah krisis global, umat kristiani diajarkan untuk belajar bersukacita sebagai persoalan kehendak yang disadari. Sebagai kehendak di sini bukan bermakna bahwa kita secara sadar mau dan mempraktikkan ekspresi sukacita, gembira, dan tertawa. Jika itu yang terjadi justru menjadi kontradiksi dengan krisis global, hari-hari ini, dengan segala imbasnya yang seharusnya membuat kita prihatin. Mana mungkin kita tertawa demi Natal, ketika saudara kita terkena PHK. Kita tak bisa memungkiri bahwa dunia hari-hari ini memang kejam. Meski demikian, kita tetap harus bersukacita. Bukan bersukacita di atas penderitaan orang lain, tetapi justru di tengah derita itu kita dikuatkan, disukacitakan melalui keputusan kita untuk selalu mempercayai kebaikan Allah.
Dengan mempercayai-Nya, kita diingatkan sebagai ciptaan. Dengan diingatkan sebagai ciptaan, maka Allah makin besar dan kita makin kecil (He must increase, I must decrease, Yoh 3:30). Dengan melihat diri kita, tidak ada apa-apanya, makin kecil dibanding Penciptanya, akan lebih mudah kita mensyukuri keadaan. Dengan kedewasaan rohani ini, kita ‘lebih tahu diri’ dalam berhadap-hadapan dengan Pencipta. Lebih ikhlas terhadap jalan hidup derita kita, apa pun bentuknya.
Jika kita sudah terbebas dari pertanyaan “mengapa saya harus menderita seperti ini?”, maka akan lebih mudah kita mengambil jarak, bersikap netral terhadap penderitaan. Secara manusia, kita akan tetap merasakan derita, tetapi secara rohani kita menafikannya. Kita bertanya ìhai maut di mana sengatmu?” (I Kor 15:15). Dan sukacita Natal tidak berhenti di situ saja, tetapi sukacita Natal menghadirkan sukacita Ilahiah yang tak lekang oleh panas problem dan dingin derita. Ia sukacita yang awet, sukacita sebagai karya Allah yang kekal dan bukan reaksi senang manusia yang bersyarat. Sukacita di mana kita percaya bahwa hal yang baik sedang dan sudah datang. Seorang ayah bersukacita karena anaknya yang hilang telah kembali. Murid-murid bersukacita karena Yesus yang disalib dan mati, kini sudah bangkit. Seorang perempuan bersukacita setelah kesakitan yang mendahului kelahiran anaknya. Sesuatu yang tidak menyenangkan secara alamiah menuntut restorasi pemulihan.
Kepuasan Tertinggi
Sukacita menjadi kepuasan tertinggi, ketika apa yang awalnya buruk dan merugikan, berbalik arah menjadi secercah kebaikan dan terus nyata menjadi keuntungan. Namun, sukacita Ilahi dimungkinkan meski perubahan menjadi baik belum juga terjadi. Sukacita Natal, dengan demikian hanya membutuhkan percaya bahwa yang baik sedang datang. Ide sukacita Natal lebih mudah dipahami jika disandingkan dengan konsep pengharapan. Paulus mengatakan îbersukacitalah dalam pengharapan” (Roma 12:12). Pengharapan yang konsisten lebih bisa memelihara iman, jika iman terpelihara, fokus hidup lebih kepada si Pemberi daripada apa yang sedang dialami. Dengan fokus lebih kepada si Pemberi Hidup, pengharapan kepada-Nya tidak mengecewakan. Allah tidak pernah tidur.
Namun, sukacita Natal jangan ditempatkan sebagai bagian dari teologi jawaban. di mana sukacita Natal menjawab pasti, meniadakan penderitaan kita. Derita tetap terasa pedih. Krisis tetap terasa perih. Bisa saja semua itu sedang berlangsung ketika Natal tiba. Jangan jadikan sukacita Natal sebagai jawaban dangkal bagi dukacita zaman ini. Sukacita Natal tidak bisa diperlakukan sebagai jimat atau kiat picisan, tetapi ia harus dipahami dan dijalani dalam relasi manusia – Tuhan, ciptaan – Pencipta, kita yang semakin kecil – Dia yang semakin besar, umat kristiani yang menyangkal diri dengan Yesus yang makin hadir.
Hanya dengan mempertahankan relasi dengan-Nya, yang membuat kita tetap bersukacita Natal secara utuh walau di tengah krisis pribadi, keluarga, nasional, global. Mari adopsi sukacita Natal, sukacita Ilahi dan tanam terus benih pengharapan di tengah penderitaan, hari-hari ini, karena pengharapan kepada Allah tidak mengecewakan.
*Penulis adalah Peneliti pada Center for National Urgency Studies Jakarta
Sumber: Suara Pembaruan