Jeritan Perempuan pada Malam Natal
Oleh Josef Purnama Widyatmadja*
Bersama krisis keuangan global, yang makin terasa, kita memasuki Natal 2008 dan tahun baru 2009. Politik mengencangkan ikat pinggang mulai dilakukan oleh para ibu rumah tangga yang berpenghasilan pas-pasan. Kelangkaan minyak tanah, gas (elpiji), dan pupuk makin memperparah penderitaan kaum perempuan yang hidupnya sudah kempas-kempis.
Puluhan ribu buruh wanita migran harus siap untuk dipulangkan ke kampung halaman, karena resesi sudah datang. Kembali ke kampung bukan jalan yang mulus karena setumpuk persoalan ada di sepanjang jalan. Tetesan air mata dicucurkan ketika dekrit pemulangan mereka dimaklumatkan di negeri seberang. Tidak sekadar itu. Di pintu gerbang bandara udara, mereka bukan disambut dengan ramah sebagai pahlawan pencipta devisa yang sering didengungkan.
Nasib TKI kita tak lebih baik dari perjalanan Maria dan Yusuf, yang harus pulang ke Bethlehem dari Nazareth untuk memenuhi titah Kaisar Agustus. Maria dan Yusuf bagaikan buruh migan yang harus pulang kampung. Tidak ada tempat di hati para penguasa untuk memperbaiki nasib buruh wanita migran yang menjadi korban pemerasan.
Keadilan
Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono dalam ceramahnya di INFID (International Ngo Forum on Indonesian Develoment) berjudul The progress of Security Sector Reform di Cipayung pada 28 Oktober 2008 mengatakan, “pertahanan terbaik sebuah negara adalah mewujudkan keadilan”. Rakyat menyetujui seratus persen pernyataan itu sambil mengharapkan pelaksanaannya di lapangan.
Perdamaian dan keamanan menjadi dambaan tiap orang, baik penguasa maupun rakyat. Dalam bahasa Mandarin, perdamaian (he ping) ada kaitannya dengan pelaksanaan keadilan pangan. Perdamaian hanya ada ketika setiap mulut mendapatkan padi yang adil dan tidak ada perut yang kelaparan. Dalam Alkitab, Yesaya berujar: “Di mana ada kebenaran (keadilan) di situ akan tumbuh damai sejahtera” (Yes 32:17). Ketika masalah keadilan para TKI ditanyakan oleh penulis kepada Menteri Juwono Sudarsono, dia hanya mengangkat bahu dan meminta para aktivis LSM mengorganisasi para TKI yang akan pulang berdemo di bandara untuk memprotes pelayanan petugas bandara udara atas diri pahlawan devisa.
Dalam hidupnya, Maria tidak terpikir untuk melamar menjadi ibu dari Yesus yang dijanjikan menjadi Mesias, bagi bangsa-bangsa. Kasih karunia Allah pada Maria bukan suatu jalan yang manis seperti berkat harta yang berlimpah, kekuasaan, dan jabatan yang makin besar, banyak anak, serta umur panjang. Kasih karunia Allah dan menjadi ibu yang disertai Allah (Luk 1: 28) tidak berarti hidup tanpa air mata dan penderitaan.
Kasih karunia di sini berarti Maria harus bersedia menerima ketidakperawanan guna mengandung dan bayi-bayi di luar rencananya. Air mata mengalir ketika Maria mendapat sapaan dari malaikat Tuhan yang membawa berita kelahiran sang Mesias. Karena kasih karunia Allah yang diwartakan oleh malaikat Tuhan, Maria harus siap untuk menerima risiko dan beban yang pada umumnya diemban oleh para perempuan pada zamannya.
Maria akan mendapatkan nistaan dari masyarakatnya, karena kehilangan keperawanan dalam membawa misi kemanusiaan dan penebusan. Kehormatan Maria dipertaruhkan dan salib sudah di pundaknya sejak warta karunia Allah disampaikan kepadanya. Jutaan orang di dunia sering mengalami nasib seperti Maria. Banyak perempuan dari zaman ke zaman mengandung bayi yang tidak dikehendaki. Bukan seperti Maria, tapi korban kekerasan. Banyak perempuan kehilangan kehormatan mereka dan mengandung bayi di luar kehendaknya sendiri, karena pemaksaan, baik di masa perang maupun damai.
Banyak Maria pada masa perang dan damai harus mengandung aib, karena mengandung bayi yang dilahirkan tanpa ayah yang mengakuinya. Itu semua bisa terjadi di medan perang ataupun perdagangan perempuan. Bayi mereka dianggap bayi haram karena mereka sering disebut undocumented baby/child tanpa orangtua yang jelas. Kasih karunia Allah yang diterima Maria, berupa mengandung sang bayi Mesias, ternyata berupa perjalanan pahit dari Nazareth ke Bethlehem. Di Bethlehem semua penginapan tidak memberikan tempat bagi orang miskin, seperti Maria dan Yusuf, yang akan melahirkan bayi di penginapan mereka.
Kelahiran Yesus di penginapan akan mengotori tempat penginapan dan tidak memberikan keuntungan ekonomi. Keuntungan ekonomi dan keamanan penginapan jauh lebih penting daripada hak hidup bayi yang dianggap haram. Bayi yang dikandung Maria akan menjadi ancaman bagi kekuasaan tirani Herodes dan Romawi, sebab itu harus dimusnahkan. Maria harus jadi pengungsi di Mesir untuk menghindari hunusan pedang Herodes di negeri sendiri.
Kesetiaan
Dalam abad dua puluh satu dibutuhkan hati nurani seorang lelaki, seperti Yusuf, bukan seperti Raja Herodes dan pemilik penginapan di Jerusalem. Ketaatan Yusuf pada perintah malaikat merupakan solidaritas kelompok lelaki yang ingin menanggung kenistaan Maria. Ketidakperawanan Maria tidak mengurangi cinta dan kesetiaan Yusuf untuk mengambil Maria sebagai istrinya dan mengasihi bayi di kandungan Maria yang bukan benih dari percintaan mereka.
Penderitaan dan jeritan perempuan korban kekerasan dan pemerkosaan tidak berharap untuk mendapat pasangan Yusuf dalam hidup mereka. Para perempuan korban kekerasan masa kini mengharapkan wakil rakyat, penguasa politik, dan ekonomi masih memiliki hati nurani, seperti Yusuf, yang mau mengambil bagian untuk mengurangi penderitaan kaum perempuan.
Kisah Natal bukan pamer busana dan tarian indah di istana raja Herodes. Menyambut Natal, Yusuf telah berjalan pada jalan yang benar dengan tetap setia pada Maria dan mau menerima bayi yang bukan darah dagingnya. Maria masa kini membutuhkan secuil hati nurani dari para penguasa ekonomi, politik, dan keamanan yang menentukan kebijakan masa depan generasi mendatang dan nasib perempuan.
* Penulis adalah Rohaniwan
Sumber: Suara Pembaruan