Stagflasi di Ambang Pintu
Oleh: Joseph E. Stiglitz
Ekonomi dunia memang mengalami pertumbuhan yang pesat pada tahun-tahun terakhir ini. Pertumbuhan secara global sangat mengesankan, sementara kesenjangan antara negara-negara berkembang dan negara-negara maju semakin menyempit, dipimpin oleh India dan Cina yang mengalami pertumbuhan masing-masing sebesar 11,1 persen dan 9,7 persen pada 2006 serta 11,5 persen dan 8,9 persen pada 2007. Bahkan Afrika pun tidak ketinggalan dengan pertumbuhan di atas 5 persen pada 2006 dan 2007.
Tapi bulan madu ini mungkin segera berakhir. Selama beberapa tahun terakhir sudah ada kekhawatiran mengenai ketidakseimbangan global pinjaman luar negeri Amerika yang sangat besar. Amerika pada gilirannya mengatakan dunia sebenarnya harus berterima kasih: karena dengan hidup lebih besar pasak daripada tiang ini Amerika justru membantu perekonomian global, terutama dengan terakumulasinya ratusan miliar dolar cadangan yang berhasil ditabung negara-negara Asia. Tapi, seperti sudah lama diakui, pertumbuhan ekonomi Amerika di bawah pemerintah Presiden George W. Bush tidak akan bertahan. Sekarang hari perhitungan sudah tiba.
Perang yang dilancarkan Amerika di Irak telah memicu kenaikan harga minyak sampai empat kali lipat sejak 2003. Pada 1970-an kejutan harga minyak memang menyebabkan inflasi di beberapa negara, dan resesi di negara-negara lainnya, sementara pemerintah menaikkan suku bunga untuk mengatasi kenaikan harga. Dan beberapa negara bahkan mengalami yang terburuk dari kedua-duanya: stagflasi.
Sampai saat ini tiga faktor kritis berhasil membantu dunia mengatasi harga minyak yang melambung. Pertama, Cina, dengan produktivitasnya yang meningkat pesat–bertumpu pada tingginya tingkat investasi, termasuk investasi dalam bidang pendidikan dan teknologi–telah membantu dengan mengekspor deflasi. Kedua, Amerika Serikat telah memanfaatkan semua ini dengan menurunkan suku bunga sampai pada tingkat yang belum pernah diberlakukan sebelumnya sehingga menimbulkan gelembung properti yang memungkinkan siapa pun yang masih mampu memperoleh pinjaman membeli rumah. Akhirnya, buruh di seluruh dunia menerima pukulan yang berat, rela menerima upah riil yang lebih rendah dan bagian yang lebih kecil dari kue PDB.
Permainan ini segera berakhir. Cina sekarang menghadapi tekanan inflasi. Apalagi jika Amerika meyakinkan Cina agar membiarkan mata uangnya diapresiasi, maka biaya hidup di Amerika dan negara-negara lainnya di dunia akan meningkat. Dan, dengan meningkatnya penggunaan bahan bakar nabati, pasar pangan dan energi menjadi terpadu. Sementara itu, meningkatnya permintaan oleh mereka yang berpenghasilan tinggi dan berkurangnya pasokan akibat tidak menentunya cuaca terkait dengan perubahan iklim, semua ini berarti tingginya harga pangan–suatu ancaman yang fatal bagi negara-negara berkembang.
Prospek berlanjutnya pesta-pora konsumsi di Amerika juga suram. Walaupun Federal Reserve Amerika terus menurunkan suku bunga, para peminjam tidak akan berbondong-bondong memanfaatkan pinjaman ini untuk membeli rumah. Dengan merosotnya harga properti, makin sedikit orang Amerika yang mau dan mampu meneruskan gaya hidup boros. Bagaimanapun, pemerintahan Bush berharap dapat mencegah terjadinya gelombang penyitaan rumah-rumah yang dibayar dengan pinjaman–dan dengan demikian mewariskan persoalan ekonomi ini kepada presiden berikutnya, seperti juga ia mewariskan keterpurukan Amerika dalam perang Irak. Peluang keberhasilannya sangat tipis. Bagi Amerika saat ini, persoalan riilnya cuma apakah akan terjadi downturn ekonomi yang singkat tapi mendalam, atau slowdown yang berlarut-larut tapi dangkal.
Lagi pula Amerika sudah mengekspor masalah-masalah yang menimpanya ini ke negeri-negeri lain, tak hanya dengan menjual toxic mortgages dan praktek finansial yang buruk, tapi juga melalui dolar yang semakin lemah akibat kebijakan makro dan mikro yang cacat. Eropa, misalnya, akan mengalami kesulitan yang makin besar untuk mengekspor barang-barangnya. Dan dalam suatu dunia yang sudah bertumpu pada fondasi “dolar yang kuat,” konsekuensi terjadinya ketidakstabilan pasar keuangan harus dibayar mahal oleh semua negara.
Pada saat yang sama juga telah terjadi redistribusi global pendapatan secara besar-besaran dari negara-negara pengimpor ke negara-negara pengekspor–yang banyak di antaranya bukan negara-negara demokratis–dan dari buruh di seluruh dunia ke kantong-kantong mereka yang sudah kaya-raya. Tidak jelas apakah para pekerja ini akan rela membiarkan taraf hidupnya terus merosot demi globalisasi yang tidak seimbang, sementara apa yang dijanjikannya semakin jauh dari jangkauan. Di Amerika, akibatnya sudah semakin terasa.
Bagi mereka yang berpikir bahwa globalisasi yang dikelola dengan baik berpotensi membawa manfaat baik bagi negara maju maupun negara berkembang, serta mereka yang percaya pada keadilan sosial global dan pentingnya demokrasi (serta kelas menengah yang mendukungnya), apa yang terjadi semuanya merupakan berita buruk. Penyesuaian ekonomi sebenarnya memang selalu menyakitkan, tapi lebih pedih lagi ketika pemenangnya ternyata tidak begitu bernafsu membelanjakan uang yang mereka reguk.
Sesungguhnya sisi lain dari “dunia yang berlimpah dengan likuiditas” ini adalah dunia yang menghadapi tekanan permintaan secara keseluruhan. Selama tujuh tahun terakhir belanja Amerika yang tidak terkendalikan memang mengurangi kesenjangan. Tapi sekarang baik belanja rumah tangga maupun belanja pemerintah kemungkinan besar akan dikekang, sementara calon presiden dari kedua partai telah menjanjikan kebijakan fiskal yang bertanggung jawab. Setelah tujuh tahun utang nasional Amerika meningkat dari US$ 5,6 triliun menjadi US$ 9 triliun, janji itu merupakan berita yang harus disambut baik–tapi sayang, timing-nya tiba pada saat yang tidak menguntungkan.
Ada satu catatan positif dari gambaran yang suram ini: sumber pertumbuhan global sekarang ini berbeda dari sepuluh tahun yang lalu. Mesin pertumbuhan global yang riil pada tahun-tahun terakhir ini berada di negara-negara berkembang. Meskipun demikian, pertumbuhan yang lamban–ada kemungkinan juga resesi–di Amerika sebagai ekonomi terbesar di dunia pasti membawa konsekuensi global. Akan terjadi slowdown global. Jika badan-badan moneter merespons dengan tepat tekanan inflasi yang semakin meningkat–dan menyadari bahwa sebagian besar tekanan ini berasal dari sesuatu yang diimpor dari luar dan bukan akibat ekses permintaan di dalam negeri–kita akan mampu mengatasi tekanan ini. Tapi, jika mereka ngotot meningkatkan suku bunga guna mengatasi inflasi, kita sebaiknya bersiap-siap menghadapi situasi yang paling buruk: stagflasi.
Jika bank-bank sentral menempuh jalan ini, mereka memang pada akhirnya berhasil mengatasi inflasi. Tapi harga yang harus dibayar–meningkatnya pengangguran, merosotnya upah, dan disitanya banyak rumah yang dibayar dengan pinjaman–sungguh sangat mahal. *
*) Joseph E. Stiglitz, peraih Nobel Ekonomi. Hak cipta: Project Syndicate, 2008.
Sumber:http://tempointeraktif.com/hg/khusus/kolom/, on line pada hari Senin, 14 Januari 2008