Spe Salvi, Ensiklik Paus Benediktus XVI
Oleh Andreas A Yewangoe
Beberapa waktu lalu Paus Benediktus XVI mengumumkan sebuah ensiklik berjudul Spe Salvi. Inilah ensiklik kedua selama masa pelayanan Paus ini. Sebelumnya Paus telah mengumumkan sebuah ensiklik berjudul Deus Caritas Est. Sesungguhnya kedua ensiklik ini berkaitan satu sama lain. Dalam Deus Caritas Est ditekankan cinta-kasih Allah atas dunia ini.
Dalam pandangan Paus Benediktus XVI, yang sangat diinspirasikan oleh Agustinus, Bapa Gereja abad V, kelepasan sejati tidaklah ditawarkan oleh perbaikan-perbaikan struktur di dalam masyarakat, bagaimanapun baiknya, tetapi oleh cinta-kasih Allah di dalam Yesus Kristus. Cinta-kasih ini adalah laksana cermin yang diletakkan didepan mata kita dan dengan demikian memandang diri sendiri sebagai yang tidak sempurna, serba tidak mampu mencapai apa yang baik, dan kekecilan kita.
Tentu saja Paus Benediktus XVI tidak sedang menganjurkan sikap pesimistis terhadap segala sesuatu yang dihadapi manusia. Dia hanya mau bersifat realistis. Ia pun tidak menawarkan semacam penyelesaian bagaimana kelepasan sejati dicapai. Tetapi, ia hendak memperlihatkan melalui pengalaman dan penghayatan bagaimana kelepasan bisa diusahakan.
Sebagaimana kita ketahui, ensiklik adalah sepucuk surat resmi kepausan yang ditujukan kepada umat beriman (dan umat manusia pada umumnya) dengan harapan akan ada dampaknya di dalam menghadapi berbagai perkembangan-perkembangan dunia.
Paus Yohanes Paulus II (almarhum), yang digantikan Benediktus XVI, selama masa pelayanannya telah menerbitkan 14 ensikilik, baik yang sangat bersifat teologis seperti misalnya Redemptor Hominis yang berbicara tentang Kristus, maupun yang bersifat dan ditujukan kepada persoalan-persoalan sosial seperti Sollicitudo Rei Socialis. Dalam ensiklik yang disebut terakhir ini, Yohanes Paulus II mensinyalir jurang yang makin lebar antara yang berpunya dengan yang miskin.
Dalam ensiklik Spe Salvi ini tergambar dengan jelas bahwa Paus Benediktus XVI adalah guru besar dan pastor sekaligus. Jejak-jejaknya sebagai guru besar terlihat dari uraian yang sangat mendalam terhadap perkembangan pemikiran tentang pengharapan di dalam sejarah kekristenan (dan umat manusia).
Sebagai pastor ia ingin dan mendorong agar manusia mem- bebaskan enerji kekuatan pengharapan yang terdapat pada setiap individu yang terdalam dari ma- nusia. Seakan-akan ia mengata- kan kembalilah kepada kedalaman diri, ke dalam hati yang terda- lam dan Anda akan dikuatkan untuk maju lagi di dalam menjalani kehidupan.
Pengharapan dan Iman
Ensiklik ini memperlihatkan dengan jelas bagaimana hubungan antara pengharapan dengan iman. Iman berdiri di atas apa yang diharapkan. Iman adalah ketika kita meyakini apa yang tidak dilihat. Dalam roh ini, ensiklik ini juga mengaitkan iman dengan kesabaran, ketekunan dan keteguhan. Tetapi, ensiklik ini pun mengaitkan pengharapan dengan keabadian yang merupakan domain dari agama-agama.
Sebagai yang diinspirasikan Agustinus, Paus mengutip surat Bapa Gereja abad V ini kepada janda Proba. Menurut surat ini, Agustinus menyatakan bahwa keabadian bukanlah sesuatu yang bersifat abstrak dan perspektif yang menakutkan. Sesungguhnya keabadian adalah kehidupan sempurna, yang membahagiakan yang terhadapnya kita rindukan, namun kita tidak tahu, oleh karena kebahagiaan tertinggi di dunia tidak pernah dapat dicapai oleh siapapun.
Maka dalam kaitan ini, ensiklik ini juga berbicara tentang Allah. Ensiklik ini menegaskan bahwa sesungguhnya kita tidak (dapat) mengenal Allah dengan sempurna. Juga pengenalan akan Allah tidak bertambah oleh adanya temuan-temuan (baru) atau bukti-bukti yang masuk akal, atau dengan memperbanyak pengetahuan yang dapat diinderawi. Sebaliknyalah yang terjadi.
Hanya dengan kehilangan segala sesuatu yang kita ketahui tentang Allah maka kita (dapat) mengenal Allah. Jalan pikiran yang “aneh” ini disebut oleh Agustinus sebagai ketidakpahaman kesarjanaan (bahasa Belanda: de geleerde ontwetendheid).
Dengan segera kita melihat bahwa ada kecenderungan Paus Benediktus XVI menekankan apa yang dikenal sebagai teologi negatif. Yang dimaksud adalah cara membicarakan Allah, termasuk menafikan-Nya, justru sebab Ia tidak dapat ditangkap di dalam percakapan dan bahkan di dalam cara berpikir. Tetapi, pengharapan Kristen, demikian ensiklik ini menegaskan, tidaklah dicapai melalui pengudusan diri secara individual, melainkan di dalam persekutuan. Ensiklik ini juga menggarisbawahi keseimbangan antara doa dan kerja.
Memasuki era modern, Paus memperlihatkan bahwa arah pengharapan telah mengalami perubahan. Disebut, misalnya, Imanuel Kant, yang pada akhirnya melihat segala sesuatu berada dalam kemungkinan untuk berakhir secara tidak alami dan tidak wajar. Pikiran Kant ini bertentangan dengan berbagai pemikiran-pemikiran tentang kemajuan yang justru sedang dialami manusia.
Karl Marx juga disinggung dalam ensiklik ini. Marx memang mampu menggambarkan bagaimana orde yang sedang berlaku harus ditolak. Namun, ia tidak sanggup memberikan jalan bagaimana orde dunia yang baru itu harus diorganisasi apabila kelas yang berkuasa itu telah dimusnahkan. Bahkan ada kesan seakan-akan kalau struktur ekonomi diperbaiki maka segala sesuatunya akan beres. Marx tidak menyadari bahwa secara individual manusia dengan kebebasannya juga cenderung mendesakkan kehendaknya yang jahat.
Jelaslah bahwa kelepasan tidak dapat disandarkan pada temuan-temuan ilmu pengetahuan. Juga tidak pada struktur-struktur sosial. Kelepasan sejati hanya terjadi oleh cinta-kasih Allah.
Ensiklik ini menegaskan bahwa Kristus adalah asal-usul dan tujuan dari pengharapan manusia. Mengapa? Karena Allah di dalam Dia telah memperlihatkan wujud manusia dan telah mengasihi manusia. Maka sangat jelas, kasih kepada Allah tidak dapat dilepaskan dari kasih kepada sesama manusia. Bahkan kasih kepada Allah hanya mungkin apabila ada pertanggungjawaban bagi kehidupan orang- orang lain.
Penting Direnungkan
Menghadapi berbagai penderitaan manusia, ensiklik ini menegaskan bahwa hanya oleh kekuatan pengharapan saja dan adanya kesadaran bahwa Allah telah memikul penderitaan itu yang dapat menyelesaikannya. Bahkan kemanusiaan kita diukur pada, sampai berapa jauhkah relasi kita dengan Sang Penderita itu. Pada akhir ensiklik ini diperlihatkan pengalaman-pengalaman yang tidak habis-habisnya dari cinta-kasih Allah atas dunia ini.
Ensiklik yang menekankan kembali pada makna pengharapan ini sangat penting untuk direnungkan ketika umat manusia dewasa ini sedang menghadapi berbagai krisis di dalam hidupnya. Bahkan tidak cukup dengan itu. Ensiklik ini mestinya mendorong kita untuk terus-menerus memperoleh jalan keluar dari kesulitan-kesulitan. Pengharapan yang ditekankan ensiklik ini mengingatkan kita kepada seorang teolog Jerman pada 1970-an, Juergen Moltmann, yang secara kuat sekali meyakini Allah sebagai Allah Pengharapan. Dengan membalikkan cara berpikir teologi yang lazimnya menempatkan pengharapan pada akhir pembahasan, di sini justru ditempatkan sebagai titik tolak iman.
Dalam pandangan Moltmann, bahkan ketakutan adalah dosa yang mesti diwaspadai. Ketakutan adalah ungkapan ketidakpercayaan terhadap Allah yang selalu selangkah lebih dulu di depan kita.
Menghadapi pemanasan global yang mengancam kehidupan di muka bumi ini ada alasan kuat bagi kita untuk takut. Bahkan, kehilangan pengharapan. Tetapi, dengan keyakinan bahwa alam semesta ini adalah ungkapan cinta-kasih Allah, kita boleh yakin bahwa jalan keluar untuk menyelamatkan bumi kita akan ditemukan. Tetapi, kita sendiri juga mesti bertanggung jawab. Kalau tidak, maka pengharapan itu akan sia-sia.
Penulis adalah Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI)
Sumber: www.suarapembaruan.com, Last modified: 10/12/07