Masalah-masalah Kebahasaan Li Niha
I
Dari pengamatan terhadap bahasa tulis Li Niha generasi muda Ono Niha dalam dunia maya memang membuat kita kuatir, bahwa suatu saat Li Niha itu tinggal nama, alias punah. Banyak dari kita misalnya tidak bisa lagi membedakan kapan kita harus menuliskan “duria” atau “nduria” ketika berbicara tentang buah durian, kapan kita menuliskan “kefe” atau “gefe” untuk “uang”, “turia” atau “duria” untuk “kabar”, “banua” atau “mbanua” untuk “kampung” atau “langit”. Padahal, sebagaimana diungkapkan Dr. Lea Brown dalam sebuah wawancara dengan Nias Portal dan ditayangkan kembali dalam Situs Yaahowu, “mutasi awal” (initial mutation) ini merupakan salah satu ciri khas bahasa Nias.
II
Ada kecenderungan untuk melupakan bahwa yang dikatakan Li Niha itu adalah semua “dialek” yang dipakai oleh orang-orang Nias, baik yang tinggal di Nias Utara, Tengah maupun Selatan. Maka Lea Brown selaku peneliti bahasa membagi Li Niha dalam tiga varietas: Li Niha varietas Utara, Li Niha varietas Tengah dan Li Niha varietas Selatan. Sebenarnya pembagian ini masih bisa diperdebatkan kalau mengamati misalnya bagaimana saudara-saudara kita di Nias Barat berbicara dan kita bandingkan dengan saudara-saudara kita dari Lahewa, dsb. Sayangnya, banyak dari kita yang masih menganggap bahwa bahasa Nias itu adalah sebagaimana yang muncul dalam “Soera Gamaboe’oela Li Siföföna” dan “Soera Gamaboe’oela Li Sibohou” hasil jerih payah misionaris H. Sundermann. Benar, bahwa Bahasa Nias yang dipakai oleh H. Sunderman adalah sunguh-sungguh Li Niha, tetapi Li Niha yang dipakai di situ baru merupakan salah satu varietas Li Niha sebagaimana diungkapkan di atas. Hasil karya Sunderman dan juga misioner awal seperti Eduard Fries membawa dampak berikut: (1) ia semakin mempopulerkan Li Niha varietas Utara, dan (2) sebagai akibat tak langsung, “menenggelamkan†varietas Li Niha yang lain.
Penulis pernah melihat sebuah buku Nyanyian Rohani Gereja Katolik yang terbit sekitar tahun 1960an khusus untuk umat Katolik di Nias Selatan. Judulnya kalau tak salah: Ba Hae Gadugu Lagu (catatan: penulis tidak mengerti arti kalimat yang menjadi judul buku itu dan mohon koreksi seandainya ternyata keliru). Akan tetapi belakangan, pihak Gereja Katolik juga lebih mengutamakan penerbitan buku-buku keperluan Gereja dalam Bahasa Nias varietas Utara, barangkali karena beranggapan varietas ini cukup dikenal baik di Utara maupun di Selatan.
III
Kesan terbatasnya kemampuan kita menggunakan Li Niha untuk mengekspresikan berbagai hal terkait langsung dengan minimnya pemakaian Li Niha sebagai alat komunikasi. Dengan demikian, tidak terasa kebutuhan untuk mencari atau menciptakan padanan kata-kata non-Nias dalam Li Niha. Semakin kita menjauhi Li Niha sebagai alat komunikasi semakin besar kemungkinan Li Niha tak lagi mampu mengejar ketertinggalannya dalam hal ini.
IV
Salah satu cara paling efektif untuk memperkaya bahasa Nias adalah dengan memungut kata-kata dari bahasa lain ke dalam bahasa Nias tetapi dengan menyesuaikannya dengan “aturan-aturan” main Li Niha. Dalam Li Niha kata-kata seperti: moto, koda, gambara, buku, hondra adalah kata-kata pungut dari bahasa lain.
Perhatikan bahwa “hondra” misalnya telah mendapat pengertian baru: sepeda motor, bukan lagi “merek” sepeda motor “Honda”. Maka: “Fahondra ita” berarti: Kita bersepeda motor. Karena “honda†telah menjadi kata pungut dalam Bahasa Nias, maka, kita juga menerapkan aturan bahasa Nias: kita selipkan “r” di antara d dan a, sehingga: “honda” menjadi “hondra”. Demikian halnya dengan “koda” dari kata kodak. Bagaimana dengan komputer? Kita jangan merasa aneh atau malu ketika menyebut: “kofutö” atau “koputö“. Memang seharusnya begitu: kata pungut itu harus tunduk pada aturan bahasa yang memungutnya !
Maka di kampung-kampung, orang-orang desa menyebut “sokela” untuk tumbuhan atau buah “coklat”. Dan kalau Anda kebetulan mendengar musik hingar-bingar dalam sebuah pesta perkawinan di Nias, mereka kemungkinan besar sedang bermain kibo (keyboard). Janggalkah kata-kata itu setelah disesuaikan dengan aturan bahasa Nias ?
Jawabnya: janggal karena kita sudah terbiasa “mengejek” orang Nias yang tidak bisa mengucapkan kata “makan” (-> maka), dengan (-> denga), dsb. Padahal demikianlah harusnya kalau kita mau memperkaya Bahasa Nias. Nah, kalau “pemilu” menjadi “familu” atau “pömilu“, “negara” menjadi “nögara“, “sepeda” menjadi “söpeda” … ini adalah konsekuensi dari proses adopsi tadi. Orang Italia misalnya “meng-itali-kan” nama Kota “Frankfurt” menjadi “Francoforto” dan “Jakarta” menjadi “Giakarta”, dan mereka mengucapkan “London” (bukan “Landen”) untuk menyebut kota “London”. Kenapa Orang Nias malu menerapkan aturan bahasanya ketika memungut kata dari bahasa lain ?
V
Terkait dengan butir (3) dan (4) di atas, memang kita memiliki “masalah” utama saat ini: Nias tidak mempunyai semacam “dewan” atau “lembaga” yang mengurus perkembangan Bahasa Nias. Kita misalnya bingung soal penulisan: “Ya’ahowu“-kah atau “Ja’ahowu” ? “Chögu” atau “Khögu” ? Ada kecenderungan kita mengikuti Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) yang diresmikan tahun 1972. Dan karena tidak adanya “badan pengawas†Li Niha, maka “kekuatan pasarlah†yang berperan besar dalam mengarahkan Li Niha.
Maka, menurut saya, bahasa Nias “berkembang” dengan sangat “liar” saat ini. Kita (terutama anaka-anak muda) dengan mudah mengadopsi aturan-aturan atau “konvensi” yang tak sehat yang bisa merusak bahasa Nias. Akan tetapi kita tidak boleh menyalahkan anak-anak muda Nias kalau mereka menulis atau mengucapkan: “Ya’odo möi ba sekola” daripada “Möido ba zekola” atau “Ya’odo manga duria” daripada “U’a nduria” atau “Da upikirkan ua …” daripada “Da u’era’era ua“.
Anak-anak muda Nias itu tidak punya pedoman, yang mana yang harus diikuti. Maka kita menyambut gembira keinginan sejumlah kalangan dalam masyarakat Nias yang bercita-cita melahirkan semacam “Lembaga Bahasa Nias”.
VI
Ada beberapa kalangan yang berpendapat: “biarlah kita berkontribusi sesuai dengan bidang ilmu masing-masing”. Artinya, biarlah Pakar Bahasa Nias berbicara tentang Bahasa Nias. Itulah idealnya, dan sebenarnya di negara-negara maju konsep ini yang sangat populer. Masalahnya sekarang, kita masih sangat kekurangan “Ahli Bahasa Nias”.
Barangkali, kalau kita menunggu “para pakar Bahasa Nias” memberikan kontribusi, kita tidak memiliki Kamus Kecil Bahasa Nias karangan alm. W. Gulö yang dosen matematika, kita tidak akan memiliki Hoho – Manö-manö So’atumbukha Moroi Ba Panca Sila yang disusun oleh SW Mendröfa yang tidak pernah mengenyam pendidikan Universitas, demikian pula beberapa buku lain dari para penulis yang menjadi “pakar†karena “terpaksaâ€: demi kecintaan terhadap (dan demi kelangsungan hidup) Bahasa Nias. Lantas bagaimana ? Saat ini kita membutuhkan kontribusi dari siapapun yang punya kerinduan dan mencintai Bahasa Nias.
VII
Situs ini sengaja membuat beberapa topik yang terkait dengan Nias: Bahasa Nias, Budaya, Syair Lagu Nias, Syair Koor Gereja Nias. Ada juga satu sub-domain khusus untuk mendaftarkan kata-kata Nias: www.kamus-nias.niasonline.net. Ini semua dimaksudkan sebagai wadah menampung kontribusi para pengunjung untuk melestarikan dan mengembangkan bahasa dan budaya Nias dan sekali gus sebagai sarana dokumentasi.
Sedemikian jauh, topik-topik itu belum banyak menarik minat generasi muda kita. Sebagian dari kita baru sampai kepada tahap “terpesona” terhadap buah karya para kontributor dari luar Ono Niha. Padahal tidak ada ruginya kita mencoba.
E. Halawa*
Artikel ini merupakan “modifikasi†dari pendapat penulis dalam diskusi berjudul “Bahasa Nias lengkap atau tidak? Itu satu pertanyaan bagi saya???†yang dimuat dalam ruang kese-kese Nias Island 18 Oktober 2004.
Salah satu poin penting yang diungkapkan oleh Dr. Lea Brown sebagaimana dirujuk dalam artikel ini, di sini saya kutip kembali:
“Walaupun penting bagi anak-anak muda Nias menguasai Bahasa Indonesia secara mahir, saya beranggapan akan sangat memalukan apabila mereka tidak melanjutkan penggunaan bahasa mereka sendiri (Li Niha) di rumah dan meneruskan kekayaan dan keunikan budaya Nias itu kepada anak-anak mereka.” (Dr. Lea Brown, dalam Wawancara Dengan Nias Portal).
Juga seperti yang disentil oleh Bapak E. Halawa dalam artikel ini:
“Maka di kampung-kampung, orang-orang desa menyebut “sokela†untuk tumbuhan atau buah “coklatâ€. Dan kalau Anda kebetulan mendengar musik hingar-bingar dalam sebuah pesta perkawinan di Nias, mereka kemungkinan besar sedang bermain kibo (keyboard). Janggalkah kata-kata itu setelah disesuaikan dengan aturan bahasa Nias ?
Jawabnya: janggal karena kita sudah terbiasa “mengejek†orang Nias yang tidak bisa mengucapkan kata “makan†(-> maka), dengan (-> denga), dsb.†(E. Halawa, dalam “Masalah-masalah Kebahasaan Li Niha,†Situs Ya’ahowu).
Akan tetapi sekarang ini dalam bahasa tutur sehari-hari, kita begitu akrab dan mungkin sudah tidak lagi merasa janggal dengan kerancuan dalam kata-kata sapaan seperti: Ya’ahowu bang! He zo ö’otarai tante? Hewisa ndra’ugö kak? Hamega so’ö om? Juga dalam kalimat-kalimat pembicaraan misalnya, “Lö menjadi masalah da’ö sa’ae bale!†Atau “Sorry kawan, terlambat ndra’odo,†dan mungkin masih banyak contoh lainnya. Akan lebih “celaka†lagi bila pola bertutur seperti ini dalam Li Niha, dilakukan sebagai salah satu cara untuk mengekspresikan diri serta untuk memperlihatkan identitas atau status “kemajuan secara sosial†dan “keterpelajaran†penuturnya.
Bila inilah yang terjadi, maka agaknya kita secara tidak sadar sudah tejebak dalam paradigma inferioritas di mana kita beranggapan bahwa bertutur dalam Li Niha dengan menyisipkan secara utuh kata-kata dari luar Li Niha sekan-akan lebih “keren†sehingga kita mulai merasa enggan menggunakan Li Niha secara benar dan apa adanya, misalnya: “Ya’ahowu ga’a!†He zo ö’otarai lawe? Hewisa ndra’ugö, ga’a lawe? Hamega so’ö baya? dsb, lalu mengonotasikan bahwa penuturan semacam ini sebagai sesuatu yang kolot dan terbelakang. Bukankah ini sebuah ironi?
Ketidakmampuan melafalkan kata-kata dalam Bahasa Indonesia secara benar mungkin dapat merupakan sebuah tanda “kekurangterpelajaran†seseorang, sehingga menjadi bahan “ejekan†dalam masyarakat kita Ono Niha. Namun bertutur atau berkomunikasi dengan menggunakan Li Niha secara benar tidaklah identik dengan kebodohan atau keterbelakangan, justru dapat berupa hal sebaliknya.
Bila kita ingin melestarikan Li Niha sebagai bagian dari kekayaan dan keunikan budaya Nias, maka seharusnya kita dapat memulai dengan mengubah “anggapan-anggapan keliru†sedemikian yang mungkin selama ini cenderung kita yakini.
Semoga kecintaan dan penghargaan kita terhadap Li Niha dengan segala keunikannya sebagai salah satu warisan budaya dan peradaban yang berharga serta sebagai sesuatu yang terasa “sayang†bila akhirnya lenyap ditelan zaman, dapat menjadi dasar komitmen kita untuk berusaha menjaga dan memeliharanya.
Ya’ahowu
A: Hadia duria ?
B: Biasa-biasa manö.
A: Hana awena möi’ö ba khöda ?
B: Oya sibai kesibukan selama da’a. Minta maaf ndra’o khömi. Tenga u-sengaja. Mi’ila manö ya’ia hewisa keadaan sisa ba Jakarta andrö, tenga si mane ba khöda ba da’a.
A: La’ua. Asala lö olifu’ö mbanuada ya’i. Lö irai taya ba dödöma ndra’ugö, ero mangandröga ba itörö tödöma.
B: Hezo ndra abang, ira tante ba ira Om ?
A: No mö’ira ba laza. Te sa bongi awena mangawuli ira dania. Badu nidanö ua, ba lau olombase.
***
Tidak gampang berbicara dalam Li Niha tanpa meminjam kata-kata bahasa Indonesia untuk melengkapi kalimat kita. Ini biasanya terjadi kalau kita baru saja pulang kampung. Hari-hari pertama biasanya bak “neraka” dalam hal komunikasi.
Akan tetapi kalau ada kemauan, dalam beberapa hari, kita bisa bicara lebih “normal” kembali, semakin banyak kosakata Li Niha dalam kalimat-kalimat kita, dan semakin sedikit kata-kata Bahasa Indonesia.
Yang memprihatinkan, adalah kalau kita denga sengaja memperlihatkan “kemahiran” kita berbahasa Indonesia kepada keluarga atau teman-teman yang ingin melihat kesahajaan kita, dan bukan tingkah yang dibuat-buat, juga dalam berbahasa.
Ja`ia da`o, natola mea so zitobali kamus bahsa choda he si so ba Gunu Sitoli ba he ba Talu dala, Dania sui tatohugo
Saya sangat terkesan dengan analisis Pa Halawa, memang benar semakin lama sepertinya masyarakat nias semakin meninggalkan gaya, dialek asli dari bahasa Nias sendiri. Sekalipun belum terdengar ada pihak yang melakukan riset tentang hal ini, tetapi saya yakin ada beberapa hal yang membuat orang nias berusaha meninggalkan keKHASan bahasa daerahnya:
1. MELAWAN KETERPURUKAN STRATA SOSIAL-EKONOMI, salah satu bukti yang seolah-olah menjadi pembuktian keMAPANan sosial-ekonomi di tengah-tengah masyarakat adalah kemampuan masyarakat tersebut untuk bisa berkomunikasi dengan bahasa populer. Misalnya Bahasa Indonesia VS Bahasa Nias; Bahasa Inggris VS Bahasa Indonesia.
2. KOMUNIKASI DALAM KELUARGA, komunikasi dalam keluarga dewasa ini, jarang mengajarkan anak-anak dalam bahasa daerah. Bahkan bahasa populer selain bahasa inggris, menjadi referensi untuk dipelajari, sehingga bahasa daerah seperti bahasa nias semakin tidak mendapat tempat kepada generasi muda sekarang.
3. PERANAN PEMDA NIAS & NISEL, sejauh ini, kita tidak merasakan, pemerintah daerah peduli dengan BAHASA NIAS. Hampir dalam kegiatan pemerintah hanya satu kata dari bahasa nias yang masih sering dipakai yaitu “YA’AHOWU” selebihnya tentunya bahasa populer. padahal PEMDA punya kesempatan untuk ikut promosi bahasa NIAS.
4. RASA BANGGA, masyarakat nias belum menyadari bahwa kita seharusnya memiliki KEBANGGAAN, dengan bahasa daerah sendiri. Bahkan tidak sedikit yang malu mengaku orang NIAS, lebih nyaman mengaku orang Sumatera atau orang Medan dari pada sebagai Orang Nias. A N E H , B U K A N ?
5. ASET DAERAH, masyarakat nias belum menyadari keragaman bahasa nias adalah salah satu asset berharga yang memiliki nilai jual yang tinggi. Ada berapa peneliti dari luar negeri dan dari luar nias yang mendapatkan gelar DOKTOR karena meneliti keragaman bahasa NIAS. Tetapi kita sendiri tidak menganggap itu sebagai peluang.
5. NAMA ORANG NIAS, kalau tidak memakai marga (mado), kita pasti sulit mengetahui kalau seseorang itu adalah orang NIAS, kenapa karena namanya tidak berbau bahasa NIAS. Ketika orang tua ingin memberi nama kepada anaknya, dia lebih memilih memakai nama (PAULUS) dari pada (FAULO) atau (MARKUS) dari pada (MAREKO). Bahkan dengan marga sendiri pun sering kelihatan menggelikan penulisannya.
Walaupun ini merupakan hak pribadi tetapi mungkin hal ini bisa jadi pertimbangan.
Saohagölö
Barugamuri Dachi
(SAKI Consulting)
Fofousõ: “Bila inilah yang terjadi, maka agaknya kita secara tidak sadar sudah tejebak dalam paradigma inferioritas di mana kita beranggapan bahwa bertutur dalam Li Niha dengan menyisipkan secara utuh kata-kata dari luar Li Niha sekan-akan lebih “keren†sehingga kita mulai merasa enggan menggunakan Li Niha secara benar dan apa adanya, misalnya: “Ya’ahowu ga’a!—
Kayaknya sebagian dari Ono Niha meniru-niru Bung Karno, Presiden pertama RI, yang dalam setiap pidatonya terselip kata-kata Inggris dan Belanda. Saya seorang pengagum Bung Karno, tetapi khusus dalam hal ini, saya menyampaikan ‘protes keras’ 🙂
Pemerhati
ha waomuso dõdoõgu meubaso mbua wangera-ngera ndra talifusõgu moroi yawa. atulõ si’ai na oi so khõda wa aombrõ-aombrõ dõdõ sanandrõsa ba li nono niha. oya ndra talifusõda siso ba danõ siyefo zaila ba wangoguna’õ li niha mendrua manõ ba wamamaha ndraonora. Bõhõi siso siyefo nasi, siso ba Gunungsitoli manõ oya zimanõ. Labe’e mbõrõ gera-era ena’õ alio onekhe khõra nono ba li ndrawa (Bahasa Indonesia). Natahaogõ ta osisi’õ ba ta nehegõ, ha waraõ si’ai la lalau li niha ba ndraono sawuyu. Soyania lalau li ndrawa simane “Cium” moroi “Uma”, “jangan” moroi “bõi” ba tanõ bõ’õnia na.
Hiza’i tebai gõi ta tahigõ ndra talifusõda simanõ bõrõ wa’afaehu sa’ae wa’auri niha ba ginõtõ da’e moroi ba mbrõrõta.
Andrõ bõrõ da’õ hawa’asõkhi na so zitobali dane-daneda ba li niha andre simane “kamus” (lo uuila u foeluaha da’a ba li niha)
Saohagõlõ