U Lama (Oe), Tanda Hubung, dan EYD dalam Li Niha
Seorang pembaca artikel “Karakter “ö” dalam Li Nihaâ€, Bung Fofo’usö, memberikan komentar terkait dengan u lama (“oeâ€), tanda hubung dalam kata-kata Li Niha dan penerapan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) dalam Li Niha. Tulisan singkat ini merupakan tanggapan atas komentar itu.
Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD) yang diberlakukan sejak tahun 1972 tidaklah otomatis menjadi ejaan yang diberlakukan bagi bahasa-bahasa daerah. Akan tetapi tidak berapa lama setelah EYD diberlakukan untuk bahasa Indonesia, di Nias EYD mulai diadopsi baik oleh Pemdda Nias dalam administrasinya maupun para penulis dan masyarakat umum.
Tiga hal penting yang diadopsi dari EYD adalah: “y†(untuk menggantikan “j†– Ja’ahowu menjadi Ya’ahowu), “kh†(pengganti “ch†– fachamö menjadi fakhamö) dan c (pengganti “tj†– tjama menjadi cama). Tanda apostrof (‘) yang dalam EYD dihilangkan, ternyata tetap dipakai dalam Li Niha: Ya’ahowu, era’era, asai’ö, lasa’e.
U lama (oe) dalam “Soera Gamaboe’oela Li Sibohou” barangkali merupakan peninggalan Ejaan Van Ophuysen. Syukurlah, “oe” ini telah diganti dengan “u” yang menghindari kesulitan yang muncul ketika membaca kata-kata Li Niha seperti: fofoe, boroe, fakoe. Dalam ketiga kata itu, “oe” bukanlah “u”. Dalam “Soera Gamaboe’oela Li Sibohou”, untuk menghindari “kesulitan”, kalau tidak salah dipakai e umlaut.
Perubahan-perubahan itu, termasuk penerapan aturan EYD dalam Li Niha, agaknya spontan saja, tanpa ada suatu instruksi khusus, misalnya dari Dinas Pendidikan. Buku-buku SW Mendröfa yang terbit sesudah tahun 1972 sudah menggunakan EYD tersebut.
Dalam contoh yang Fofo’usõ sebutkan dalam komentarnya, memang kurang pas kalau kata-kata itu dipisah dengan tanda hubung: Ngenoe-ngenoe, fa’owoea-woea, waö-waö, karena “ngenoe“, “woea” dan “waö” bukan kata tunggal yang berdiri sendiri atau yang punya arti. Demikian halnya dengan “era” dalam “era’era“, “lohe” dalam “lohelohe“, “kabe” dalam “kabekabe” dsb. Kalau kita memisahkan kata-kata itu dalam penulisannya, justru menjadi rancu. Era memang sebuah kata Li Niha: ulat batang pohon seperti era zaku, era nohi, tetapi ini tidak bisa menjadi alasan menuliskan era’era (pendapat, pikiran yang tak terkait dengan era zaku atau era nohi) menjadi “era-era”.
Contoh lain: torotoro dan towitowi, keduanya nama burung.
Towi memang searti dengan towitowi, tetapi setahu saya kata ini meruapakan “singkatan” dari kata aslinya towitowi. Kata “towi” tak pernah saya dengar selain dari yang terdapat dalam kalimat “sindirian” berikut: “Sökhido, towi, sangalai bakha mbösi.” (Demi menghasilkan kalimat dengan bunyi yang “puitis”, maka “towitowi†disingkat “towi†dalam kalimat itu). Saya tak bernah mendengar: “Muhude dowi“, melainkan: Muhede dowitowi (mohon dikoreksi kalau pernyataan ini kurang tepat).
Bagaimana dengan tolo-tolo, faigi-faigi, tehe-tehe ? Ya sebaiknya ditulis dengan mengunakan tanda ulang (-).
Bagaimana seharusnya menulis tölötölö ? Kata tölö berarti: telan, dan tölötölö berati “alat untuk menelan†alias kerongkongan. Meskipun tölötölö terkait dengan kata tölö, ia telah menjadi sebuah kata dengan arti yang tersendiri. Jadi ia pun sebaiknya ditulis tölötölö tanpa tanda pemisah atau tanda hubung (-).
Kata “tolo-tolo” yang ditulis di depan berati “tolong-tolonglah”, seperti dalam kalimat: “Tolo-tolo ga’au ba wohalöwö“. Akan tetapi kalau artinya “bantuan”, maka sebaiknya ditulis: “tolotolo“, seperti dalam kalimat: “Be’e tolotologu ma’ifu mato 10 ribu gefemö” (Berikan aku bantuan sepuluh ribu rupiah).
(e.halawa*)
Pak Halawa,
Terima kasih atas pencerahannya yang sangat baik. Jujur saja, selama ini hal tersebut masih membingungkan bagi saya. Bahkan saya sendiri masih merancukan antara “kata ulang” dan “kata dasar” yang bentuknya seolah-olah diulang dalam bahasa Nias seperti yang saya contohkan dalam komentar saya itu.
Saya juga lebih cenderung untuk secara alami mengadopsi aturan dan kaidah penulisan sesuai dengan Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan ke dalam Li Niha, dengan mempertahankan keunikannya yang khas, seperti karakter “ö” dan “ŵ.” Biarlah ini tetap menjadi bagian dari kekayaan bahasa dan budaya nusantara.
Saya tidak tahu persis apakah saat ini di Nias ada pelajaran Bahasa Daerah sebagai muatan lokal kurikulum pengajaran di sekolah-sekolah. Alangkah ironisnya bila hal-hal semacam ini luput dari perhatian pihak-pihak terkait demi kelestarian budaya dan bahasa-bahasa daerah di negeri kita.
Ya’ahowu
Bung Fofo’usö,
Terima kasih atas pancingan diskusi dari Anda, dan semoga teman-teman lain menambah wawasan atau perbendaharaan kita tentang Li Niha.
Ya’ahowu.
ehalawa