Opini Dalam Apologi

Tuesday, February 13, 2007
By nias

(Sebuah Coretan Kecil)

Ollyanus Yarman Zebua*

Teriakan itu menggelegar, tatkala Saddam Husein menggebrak dan berdiri tegak dalam ruang sidang yang bagaikan kerangkeng singa liar. Ia menolak semua keputusan bahkan mengatakan semua itu fitnah.

Sang “kiblat” dan penguasa Irak itu, bagaimanapun telah dihukum gantung dengan keputusan dalam sidang Mahkamah Internasional. Kisah ini telah berlalu beberapa saat yang lalu, mungkin mulai dilupakan atau mungkin juga ada yang masih merasa begitu miris dengan kenyataan itu. Teriakan sejenis itu kerap dilontarkan oleh banyak orang. Entah dalam kontek apa. Namun, satu hal yang pasti dan jelas, menyuarakan apa yang semestinya. Membongkar kenyataan atau malah mungkin menjaga sesuatu supaya tidak diutak-atik.

Stagnasi Zona Aman
“Ah, sudahlah. Semua sudah menjadi kenyataan”. Kerap pernyataan singkat itu terlontar dari siapapun. Kerap aku tersentak dan bertanya ”kog masih ada orang yang berpikir seperti itu?” secara tidak sadar ini merupakan sebuah stagnasi pemikiran. Ketika kita tidak berani maju dan memikirkan hal-hal yang baru dari sebuah kenyataan. Mungkin memang telah menjadi keputusan dan menggambarkan sebuah fakta yang valid. Tapi, jika berhenti di sana, moment yang begitu baik akan mengerut perlahan yaitu inovasi dan kreativitas. Semua hal akan mengalami stagnasi itu, pemerintah, perusahaan, kerangka sosial, pemikiran tentang budaya, jika masih memelihara pola pikir seperti ini. Stagnasi ini ibarat sebuah mobil yang digas dengan tenaga maksimal dalam benaman lumpur yang selutut. Atau dapat diibaratkan dengan buku yang ditumpuk dalam lemari kaca tanpa pernah dibaca. Ia ada dan tidak perlu diperdebatkan [dipermasalahkan] lagi karena telah menjadi zona yang aman. Benarkah?

Napoleon Bonaparte ketika melakukan suatu invasi di Eropa. Saat itu mereka turun dan menambatkan tali kapal mereka. Tiba-tiba Bonaparte berkata: ”bakar semua kapal!” Semua prajurit pucat pasi. Mereka takut akan kematian. Namun satu hal yang baru, untuk bisa hidup mereka harus menang. Dan semua itu telah dibuktikan oleh Bonaparte. Zona yang aman, atau hal-hal yang membuat kita aman kerap menjadi tameng untuk berlindung. Sehingga pada akhirnya, ada kemungkinan kita enggan untuk berhadapan dengan tantangan [yang tidak nyaman].

Berpikir ala Piramid
Berpikir ala piramid adalah memikirkan sesuatu seolah-olah semua hal sama dengan yang dipikirkan oleh semua orang. Puncak piramid itu ibarat subyek utama seperti yang kita ketahui tentang raja-raja mesir. Semakin dekat dengan puncak piramid subyek semakin dianggap sebagai dewa atau putra dewa. Dan apa yang dikatakan oleh yang ”tertinggi” itu kata yang lain [pars pro toto]. Tidak perlu jauh-jauh melihatnya, kerap mewarnai setiap opini yang kita lontarkan. ”Sesuatu itu berhasil atau tidak, tergantung pada…” atau ”seharusnya kan begini yang baiknya….” Dua contoh penggalan pernyataan itu menghadapkan kita pada cara berpikir ala piramid. Di sana ada dua sisi yang berbeda yakni Subyek [pembicara] dan subyek-subyek [yang mungkin tidak tersurat]. Sekaligus penggalan-penggalan opini yang sejenis seperti di atas mengisyaratkan sebuah counter terhadap suatu hal. Counter [opini] yang sering terjadi itu [selalu/mungkin] tampil dalam bentuk apologi. Maka, kelihatanlah ada apologi dalam opini atau opini dalam apologi. Kerap tidak dapat dipisahkan.

Berpikir ala piramid ini [atau entah apapun kita menyebutnya kemudian] akan membawa kita pada [setidak-tidaknya satu hal] sebuah pola up and down [instruksional-personal] dan tidak akan bisa dibalik [bottom up]. “Personal” ini bukan hanya dalam artian perseorangan tetapi juga bisa dalam artian kelompok. Tentu kita semua bisa berkata apa yang akan terjadi dengan pola up and down dalam berpikir seperti ini.

Opini dan Apologi
Saat kita berbicara tentang opini dan apologi atau sebaliknya, kita dihadapkan pada sebuah posisi. Kita berada dimana ketika mengatakan sesuatu. Ini penting. Misalkan berada pada posisi A [entah apapun], maka kita dapat menjabarkan sesuatu dengan begitu anggun. Namun kemudian, ketika posisi A dihadapkan pada berbagai pertanyaan atau semacamnya [dikritik] maka sadarilah anda ada di posisi mana? Kemungkinan besar anda akan berdiri di suatu tempat yang kokoh [mungkin nama kelompok, instansi atau referensi yang lebih luas lagi]. Lihat apa yang terjadi. Di sana ada opini yang terpilin erat dengan apologi. Berargumen sekaligus membela. Maka, raison d’atre [alasan keberadaan] selalu mencuat ke atas saat mengutarakan sesuatu. Hal ini tidak bisa diingkari. Sekarang anda berada di posisi mana?

Hal lain yang ada dalam opini dan apologi adalah harga diri. Kerap harga diri ini membutuhkan banyak ”tumbal” yang [ironisnya] dipacu oleh sikap mempertahankan yang sering terbungkus dengan emosi. Ada ungkapan purba Nias yang sangat tepat untuk menjelaskan ini ”tola mate moroi aila” [lebih baik mati daripada mendapat malu]. Tentu kita tidak akan membahas ungkapan ini. Yang perlu kita lihat adalah apa yang terjadi jika harga diri menjadi titik tolak dalam melakukan sesuatu. Kita bukan melakukan apa yang semestinya kita lakukan. Tetapi melakukan sesuatu karena dibutuhkan. Kita ingin mempertahankan sesuatu. Ketika zona aman terganggu misalnya, maka kita baru dan akan melakukan sesuatu yang lebih dari sebelumnya. Lihat, bagaimana keadaan kita sebelum itu terjadi? Andalah yang bisa menjawab dengan situasi anda. Lagi-lagi, mungkin kita lengah terhadap apa yang semestinya kita lakukan. Bagaimana dengan anda?

* Penulis adalah lulusan Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan – Bandung, sekarang bekerja pada sebuah team retreatment, pengolahan emosi dan motivasi di Bandung

One Response to “Opini Dalam Apologi”

  1. Orang Tua

    Kalau alasan seseuai tatanan sosial, Apakah itu termasuk zona aman ? Kemudian apakah perlu kita meragukan “harga diri” dari sudut filasafat ?

    ORTU

    #822

Leave a Reply

Kalender Berita

February 2007
M T W T F S S
 1234
567891011
12131415161718
19202122232425
262728