Walikota Gunungsitoli Prihatin, 10 Ribu Anak di Nias Hidup Miskin
Gunungsitoli, (Analisa) – Walikota Gunungsitoli Martinus Lase merasa prihatin karena 10 ribu anak atau 30 persen dari jumlah anak di Kepulauan Nias hidup di bawah garis kemiskinan. Akibatnya, anak-anak tersebut tidak mendapat perhatian dan kasih sayang seperti layaknya anak lain yang hidupnya cukup.
Pemerintah menyambut baik adanya Pelatihan Hak Asasi Anak bagi unsur Pemerintah, unsur pendidikan dan unsur pemerintah Desa Masyarakat yang diselenggarakan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) Nias, selama 3 hari, dengan harapan peserta dapat menjadi agen perubahan mengubah kondisi tersebut.
Demikian Walikota Gunungsitoli Martinus Lase pada Acara Pembukaan Pelatihan Hak Anak, Kamis (13/10) di Aula Utama Hotel Dian Otomosi (DO) Gunungsitoli, Jalan Yos Sudarso.
Menurutnya, faktor utama penyebab tumbuh suburnya kasus anak antara lain karena kemiskinan yang membutuhkan kebutuhan hidup yang tidak terpenuhi dengan baik, sehingga sering terjadi anak yang tidak tahu apa-apa menjadi sasaran amarah orangtua. Hal lain karena di tengah masyarakat saat mulai kurang memahami nilai dan norma agama yang dianut oleh masing-masing pelaku kejahatan.
Pihaknya menuturkan beberapa upaya pemerintah kota Gunungsitoli di bidang pendidikan antara lain di tahun ajaran 2011 sebanyak 9 siswa SMK dapat beasiswa ke Amerika setelah sebelumnya dilakukan seleksi bagi siswa yang pintar tetapi orang tua tidak mampu membiayai anaknya sekolah.
Malah pemerintah merencanakan di tahun 2012 sebanyak 50 anak di beasiswakan lagi ke sekolah internasional di Jakarta dan sebanyak 10 orang siswa juga akan di beasiswakan ke negara China setelah dilakukan seleksi November 2011 mendatang sesuai dengan pemerintah Kota Gunungsitoli – China bagi anak pintar tetapi orang tua berada posisi ekonomi yang pas-pasan, jelas Lase.
Direktur External PKPA Sumut, Misrah Lubis didampingi Staff Administrasi PKPA Nias, Heni Yusfana dewi, Chill Creative Center PKPA Nias, Fitriani Hura, Staff Advokasi PKPA Nias, Hotland Situmorang mengatakan, terdapat 50 kasus anak ditemukan setiap tahun di Kepulauan Nias di antaranya kasus kekerasan secual kepada anak yang mendominasi di susul kasus kekerasan dalam rumah tangga yang nyaris membuat si anak cacat.
Hal tersebut menurutnya dapat membuat anak mencari ruang lain dan komunitas yang lebih aman dan damai baginya yang akhirnya si anak mengarah untuk cenderung berprilaki negatif sebab anak tidak mendapat kasih sayang. Soalnya karakter anak di ambil alih pihak lain. (esp)
Sumber: Analisa Daily
pertama-tama saya sangat berterimakasih kepada bapak walikota gunungsitoli atas perhatian yang cukup mapan terhadap kemiskinan di kepulauan nias terutama si kota gunungsitoli.memang pak walikota kondisi untuk saat sekarang ini anak-anak nisa benar-benar sangat memprihatinkan dan sangat di butuhkan perhatian yang serius dari berbagai pihak terutama pemerintah. berdasarkan hemat saya pak wali bahwa bukan hanya faktor kemiskinan yang membuat anak-anak nias tidak mendapatkan pendidikan namun salah satu faktor yang sangat seruius harus dibenahi adalah tingkat kesadaran dan kemauan seorang anak untuk bersekolah, hal ini tentunya harus dimulai dari dari orang tua yang memiliki tangungjawab tersendiri terhadap anak-anaknya saya kira pembenahan dalam ruang lingkup ini perlu untuk menyadarkan org tua seorang anak. berdasarkan pemantauan saya bukan sedikit pemerintah pusat memberikan bantuan kepada masyarkat miskin agar bisa menyekolahkan anaknya ini harus kita akui salah satu contoh adalah PKH (program Keluarga Harapan)dinama kepulauan nias juga mendapatkan bantuan tersebut melalui dinas sosial namun pada kenyataannya ternyata tidak menjawab harapan-harapan pemerintah untuk memberikan kesejahtraan bagi masyarakat miskin.menurut saya pak wali kota sungguh tidak mengurangi rasa hormat kepada pak wailkota agar turun kekalangan masyarakat kecil untuk memberikan dorang kepada mereka yang sama sekali tidak mengenal aarti sebuah pendidikan, karna pak wali orang tua anak saat sekarang ini lebih besar harapan mereka jika anak mereka tidak sekolah karna bisa membatu mereka mendereskaret lalu mendapatkan uang.
tksah yaahowu
Ya’ahowu,
Soal beasiswa ke Jakarta atau ke Luar Negeri, itu ide bagus. Tapi sebenarnya yang lebih baik adalah menambah jumlah sekolah dan tenaga guru untuk TK, SD, SMP, SMA/SMK. Ini penting, sebab dalam Renstra Kemendiknas sampai 2015, Moh. Nuh, mengedepankan empat pilar “Education for All” (Tempo 23-29 November 2009) di mana pilar pertamanya “availability”/ketersediaan dan pilar keduanya “affordability”/keterjangkauan merupakan prioritas. Dari beberapa kali kunjungan saya ke Nias Selatan, terutama di kampung-kampung Hilifalage, Hilinamozaua, Hilimondregraya, Bawomataluo, Lahusa Fau, perbandingan jumlah sekolah (pilar ketersediaan) dengan jumlah anak usia sekolah sangat “jomplang” (sekolah + guru tidak memadai). Sehingga banyak anak yang tidak dapat bersekolah. BOS tidak mengalir/terserap karena “wadah penampungnya” (sekolah+siswa) tidak ada. Sayang sekali. Di Hilinamozaua saja ada sekitar 500an anak usia sekolah (baik PAUD maupun SD-SMA/SMK) sementara SD hanya 2, dengan guru yang terbatas. TK atau PAUD belum ada, SMP 1, (2011 ini baru ada SMA persiapan), sehingga pada 2008 kami mendirikan TK dan kelompok asuhan/belajar untuk menampung anak-anak usia PAUD/TK dan anak-anak usia SD yang tidak tertampung di SD formal. Kita tahu bersama bahwa salah satu jalan keluar dari kemiskinan struktural adalah pendidikan. Agar generasi masa kini (10 ribu anak miskin) ini terlepas dari kemiskinan, maka jalan keluarnya adalah pendidikan. Dan pilar pertama dan kedua dari “Education for All” ini merupakan keniscayaan. “Ketersediaan” sekolah dan “keterjangkauan” biaya pendidikan harus menjadi prioritas pemerintah kabupaten/kota di Nias (Utara, Selatan, Timur, maupuan Barat). Saohagolo