Lirih Sirih
Kegiatan makan sirih yang membuat mulut berwarna merah sudah sangat jarang kita temui. Apalagi, di daerah kota besar seperti Medan. Padahal, kegiatan ini sudah menjadi salah satu aktivitas budaya.
Juli Ramadhani Rambe, Medan
Soal menyirih sejatinya tidak hanya di Sumut, Indonesia bahkan seluruh negara di Asia Tenggara mengenal kebudayaan ini yang dapat menimbulkan kecanduan ini. Ya, menyirih atau bisa juga disebut sebagai makan sirih sudah mengakar di kalangan masyarakat Indonesia, baik pria maupun wanita sejak berpuluh tahun yang lalu. Dan biasanya kegiatan ini akan mereka lakukan saat waktu senggang atau pun berkumpul. Bukan hanya para kaum wanita yang memakan tumbuhan yang dipadu dengan beraneka macam jenis tanaman ini, tetapi para kaum adam juga melakukan kegiatan ini, saat mereka berkumpul.
Berjalannya waktu, orang yang makan sirih semakin sulit untuk dilihat. Kita dapat melihat seorang wanita sedang menyirih saat berada di kampungnya, yang terletak di daerah pegunungan, seperti Karo, Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan dan Nias (untuk Sumut). Sedangkan secara nasional, suku Dayak dan juga masyarakat di Papua masih sering melakukan kegiatan ini.
“Makan sirih sudah menjadi kebiasaan, bahkan bisa dibilang makan sirih merupakan ciri khas dari karo,†ujar Roshana Boru Bangun (46), warga Desa Suka Kabupaten Karo. Menurutnya, sejak remaja dirinya sudah memakan sirih, hal ini dilakukannya karena melihat orang tuanya yang terlihat sangat menikmati sirihnya. “Bahkan kalau sudah makan sirih jadi lebih santai, tidak ada pikiran,†tambahnya.
Tetapi, hal berbeda bagi para kaum pria yang sudah menganti kebiasaan menyirihnya dengan rokok. Misalnya, pada zaman keemasannya dahulu sirih selalu dibawa oleh seseorang kemana pun dirinya pergi. Selayaknya peran rokok saat ini, sirih juga menjadi buah tangan dalam sebuah perkumpulan. Tetapi seiring berjalannya waktu, peran sirih mulai diganti dengan rokok. Jadi tidak heran, bila melihat seorang pria lebih rela menghabiskan waktunya dengan sebatang rokok dibandingkan dengan menyirih.
Untuk menyirih, dibutuhkan daun sirih, kapur, gambir, pinang, dan tembakau. Terkadang sebagian masyarakat juga mencampur cengkeh untuk menambah rasa. Daun sirih akan menimbulkan rasa pedas dan getir dilidah, sedangkan kapur dan tembakau akan memberikan rasa pahit. Dua rasa ini yang paling dominan timbul saat menyirih.
Memakan sirih, akan menimbulkan kelenjar air ludah bertambah, jadi tidak heran bila Anda melihat orang yang makan sirih akan sering membuang air liurnya yang berwarna merah. Warna merah di sini ditimbulkan oleh daun sirih yang dikunyah. Tetapi hati-hati, seperti rokok, bagi yang pertama kali menikmati menyirih akan merasakan pening dan rasa mual. Hal ini biasanya karena adanya tembakau yang dicampur dalam sirih.
Hal ini diungkapkan oleh Murti Boru Surbakti (40) warga Desa Suka Kabupaten Karo. Dia menambahkan bahwa awalnya belajar menyirih akan pusing, apalagi karena rasa pedas yang ditimbulkan oleh daun sirih dan perlengkapannya. “Seperti belajar merokok, awalnya pening setelah itu jadi kebiasaan,†ujar Murti.
Untuk menghabiskan 1 gumpalan sirih (yang biasanya berisi 3 hingga 5 lembar daun sirih) dibutuhkan waktu selama 4 menit. Empat daun sirih atau lebih akan ditumpuk menjadi satu, setelah itu diberi 1 colekan kapur sirih. Sebelum dilipat menjadi kecil, bagian dalam daun sirih akan diberi gambir, pinang, dan tembakau kering. Setelah dibuat menjadi satu gumpalan, daun sirih dan kcampurannya ini siap dimakan, dengan cara mengigitnya sedikit demi sedikit. “Jangan kebanyakan. Setelah itu, sirih digosok pada gigi, kunyah dan buang air ludahnya,†ujar Desty (35), seorang warga Desa Suka di Kabupaten Karo.
Sebuah Lambang Penghormatan
Tiap etnis menganggap peran sirih pada umumnya adalah sama. Sebuah lambang penghormatan. Peran sirih paling tampak saat adanya pesta pernikahan ataupun pesta adat dari masing-masing etnis.
Hal ini terlihat bagi warga Karo, Tapanulis Selatan, Tapanuli Utara, dan Nias menggunakan sirih saat pesat pernikahan. Sedangkan pada suku Melayu, sirih sebagai lambang menyambut tamu. Jadi tidak heran, bila anda melihat tarian adat Melayu yang selalu membawa sebuah tepak yang di dalamnya berisi daun sirih dan keroconya.
Hingga saat ini, kebudayaan makan sirih di kalangan suku Nias masih tetap dilanjutkan terutama saat adanya pesta pernikahan. Akan terlihat para orang tua dari suku ini terlihat asyik dengan sirihnya masing-masing. Hal yang sama juga akan terlihat pada para wanita di Karo yang tetap mengunyah sirih saat pesta pernikahan. Hanya saja bedanya para wanita Karo juga mengunyah sirih saat mereka berkumpul dalam sehari-hari. Bahkan uniknya, para wanita ini juga menyediakan tempat untuk membuang air ludahnya yang berwarna merah.
Selain itu, tiap daerah dalam menikmati sirih juga berbeda bahannya. Seperti di Tapsel, Taput dan Nias memakan sirih dicampur dengan pinang, sedangkan di Karo dan Simalungun, makan sirih tanpa menggunakan pinang. Hal ini dimungkinkan karena letak geografis daerah masing-masing yang berbeda kesuburan tanahnya yang juga mempengaruhi hasil tanamannya. Seperti diketahui, biasanya pohon pinang tumbuh di daerah yang panas atau dataran rendah. (*)
Buat Gigi Makin Kuat
Tumbuhan daun sirih ini dikenal sangat berkhasiat, tumbuhan yang memiliki nama lain Piper L Betle L atau nama latinnya Chavica Aurculata Miq dikenal sebagai tumbuhan yang banyak mengandung manfaat untuk obat. Seperti minyak Atsiri, hidroksida Vicol, Kavicol, Kavibetol, Allylpyro Katekol, Cyneole, Caryophyllene, Cadinene, Estragol, Terpenenna, Seskuiter Pena, Fenil Propana, Tanin, Diastase, Gula dan Patri.
Dengan berbagai kandungan tersebut, tidak heran bila daun sirih mengandung berbagai macam khasiat untuk kesehatan. Daun sirih ini juga sangat ampuh untuk mengobati batuk, bronchitis, menghilangkan bau badan, mengobati luka bakar, mimisan, bisul, mata gatal dan merah, korengan dan gatal-gatal, menghentikan pendarahan gusi, sariawan, menghilangkan bau mulut, keputihan, jerawat dan mengurangi produksi air susu ibu yang berlebihan. Bahkan untuk dijadikan obat tradisional juga cukup mudah, seperti meminum air rebusan daun sirih, atau memakai hasil tumbukan daun sirih tersebut.
Tumbuhan ini juga memiliki jenis yang membuat gigi tambah kuat. Dan inilah yang menjadi alasan para wanita tetap melakukan kegiatan menyirih, agar giginya tetap kuat. Selain kapur sirih, saat memakan sirih juga akan dipadupadankan dengan tembakau, dan dipercaya hal ini yang membuat seseorang menjadi candu akan kegiatan menyirih. “Gigi kuat kalau makan sirih, bisa makan apa saja,†kata Roshana. (*)
Hadir Sejak Abad 10
Sekretaris Pussis (Pusat Sejarah dan Ilmu Sosial) Unimed, Erond L Damanik mengatakan kebudayaan menyirih ini merupakan ciri khas masyarakat di Asia Tenggara. Bahkan sejak abad ke-10, budaya menyirih ini sudah ada.
“Dari literatur yang saya baca, menyirih sudah ada sejak abad ke-10. Dan kegiatan ini merupakan ciri khas masyarakat di Asia Tenggara,†ujar Erond.
Menurutnya, di setiap negara di Asia tenggara seperti Thailand, Kamboja, dan lainnya menganggap sirih awalnya sebagai simbol, atau diidentikkan dengan kelamin (upacara pernikahan).
Dan pinang, sebagai salah satu yang menjadi bahan dalam menyirih memiliki makna seorang pria akan meminang wanita. “Misalnya di Nias, bila seorang wanita memberi sirih ke seorang pria, itu menyatakan bahwa si wanita suka sama si pria. Bila diterima si pria itu berarti si pria mau dan mereka akan segera menikah,†tambah Erond.
Adanya persamaan antara rokok dan sirih dalam kebudayaan masyarakat ini, dianggap Erond merupakan sebuah perubahan pola. Terutama bagi kaum pria, yang awalnya menyirih kemudian diganti dengan rokok. Bahkan untuk saat ini, sirih sangat identik dengan para wanita, sedangkan rokok lebih identik dengan para pria. “Tetapi jangan samakan rokok dengan sirih, saat wanita menyirih tidak akan dipandang hina. Berbeda dengan rokok karena ini sudah sangat identik pria. Jadi ini mungkin alasan kenapa wanita tidak terlalu nyaman saat merokok di depan umum,†tambahnya. (*)
Sumber: Sumut Pos, 2 Oktober 2011