Rokok dan Perangkap Kemiskinan
Oleh Setyo Budiantoro*)
Tulisan pada harian Investor Daily (19/2) tentang “Rakyat Miskin Menyubsidi Industri Rokok†patut mendapat apresiasi. Merokok pada rakyat miskin membawa dampak yang luar biasa dahsyat. Kecanduan rokok terbukti makin menenggelamkan keluarga miskin ke dalam perangkap lingkaran kemiskinan.
Indonesia menduduki peringkat ketiga jumlah perokok terbesar di dunia. Fakta mengejutkan ditemukan pada penelitian terhadap 175 ribu keluarga miskin kota di Indonesia yang dilakukan Helen Keller. Penelitian Helen menemukan, belanja untuk rokok merupakan proporsi pengeluaran terbesar dibandingkan pengeluaran lain dalam rumah tangga.
Pada keluarga miskin tersebut, lebih dari seperlima pendapatan dikeluarkan untuk rokok, bahkan melampaui belanja makanan pokok (beras). Temuan pada kaum miskin kota ini, jauh lebih memprihatinkan dari data nasional.
Sementara itu, data agregat nasional (Susenas, 2005) menjukkan fakta yang tak kalah memprihatinkan. Persentase belanja rokok dalam keluarga termiskin melampaui keluarga terkaya. Berdasarkan data ini, belanja bulanan rokok keluarga termiskin setara pengeluaran 8 kali lipat biaya pendidikan dan 6 kali untuk biaya kesehatan. Dibandingkan pengeluaran makanan bergizi, jumlah itu juga setara dengan 15 kali daging, serta 5 kali bagi telur dan susu.
Akibat belanja rokok, keperluan lain terabaikan. Pendidikan rendah dan gizi buruk adalah akibat langsung dari kebiasaan menyedot asap beracun tersebut. Balita adalah salah satu korban rentan pada keluarga miskin perokok. Mengingat mayoritas perokok berasal dari keluarga miskin, maka gizi buruk balita secara massif jelas mengancam terjadinya kehilangan generasi (lost generation).
Laporan Bank Dunia akhir 2007 tentang perkembangan Indonesia mencapai Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) menyebutkan, gizi buruk adalah nokta buruk yang mencederai pencapaian tujuan lain. Belanja rokok pada keluarga miskin, jelas berkontribusi besar dengan “prestasi†ini.
Beban Kesehatan
Merokok, pertama-tama terbukti sangat merusak kesehatan. Dalam sebatang rokok terdapat sekitar 4.000 zat kimia beracun. Zat kimia tersebut antara lain nikotin, karbon monoksida, sianida dan formalin. Penyakit yang berkaitan dengan rokok di antaranya kanker, stroke dan saluran nafas. Stroke kini menjadi penyebab kematian terbesar di Indonesia.
Rokok bukan hanya membahayakan si perokok saja, melainkan orang lain di sekitarnya (perokok pasif). Parahnya lagi, delapan dari sepuluh perokok (84%) melakukan aktivitas merokok di dalam rumah ketika sedang berada bersama anggota keluarga. Istri dan anak-anak dari kepala keluarga yang merokok jelas menjadi kelompok rentan.
Aktivitas merokok di rumah, diindikasikan kuat terjadi pada keluarga miskin. Ini terkait dengan kondisi tingkat pendidikan dan kesadaran kesehatan yang rendah. Kerentanan terhadap penyakit pada keluarga miskin perokok menyebabkan pembebanan kesehatan yang semestinya tidak perlu. Ongkos kesehatan tersebut makin membebani keluarga miskin yang pendapatannya sangat terbatas.
Secara agregat, wabah rokok yang makin merajalela akan memunculkan ledakan biaya kesehatan yang jumlahnya jauh lebih besar dari pendapatan cukai rokok. Menurut Kosen, pada tahun 2001 diperkirakan biaya akibat kematian dini, sakit dan kecacatan akibat konsumsi rokok jumlahnya Rp 127 triliun atau lebih dari 7 kali cukai rokok.
Biaya kesakitan terutama pada rakyat miskin ujung-ujungnya juga akan menjadi beban negara melalui Asuransi Kesehatan untuk Rakyat Miskin (Askeskin), yang pada akhirnya ditanggung pula oleh pajak rakyat, baik perokok maupun bukan perokok.
Sikap Pemerintah
Terhadap situasi yang memprihatinkan ini, pemerintah tampaknya tak peduli. Dikoordinasi oleh Departemen Perindustrian dan gabungan industri rokok, pemerintah justru mendorong produksi rokok yang terus meningkat. Melalui peta jalan industri rokok, ditargetkan rokok diproduksi menjadi 260 miliar batang per tahun hingga tahun 2015. Ini berarti meningkat 40 miliar batang dibandingkan tahun 2005 yang berkisar 220 miliar batang.
Di sisi lain, harga rokok di Indonesia tergolong paling murah di Asia. Akibat murah dan gampang dijangkau, konsumsi rokok senantiasa meningkat. Ironisnya, pemerintah ingin mendapatkan pendapatan cukai yang tinggi melalui konsumsi rokok, tapi konsekuensi terhadap anak-anak dan rakyat miskin terbaikan. Susenas (2004) menunjukkan peningkatan perokok usia di bawah 10 tahun hampir 5 kali lipat selama 3 tahun.
Paradigma pemerintah Indonesia memang sangat berkebalikan dengan paradigma global. Dengan tujuan melindungi generasi muda, rakyat miskin, dan meningkatkan pendapatan negara, pemerintah seharusnya mengenakan tinggi cukai sehingga rokok menjadi mahal. Ini adalah win-win solution. Di samping penerimaan negara meningkat, harga yang tinggi menjadikan rokok kurang terjangkau pada kelompok rentan, yaitu keluarga miskin dan anak-anak.
Kebijakan soal rokok memang tidak berada di ruang kosong. Pengusaha rokok termasuk kategori pengusaha paling kaya di Indonesia. Seperti biasa, kekuatan kapital cenderung mempunyai kemampuan membengkokkan suatu kebijakan pemerintah meski hal itu bisa merugikan kepentingan umum dan negara pada jangka menengah serta panjang.***
*) Penulis adalah ekonom lulusan Institute of Social Studies (ISS) Belanda, aktif di Tobacco Control Support Centre (TCSC)
Sumber: Investor Daily