Pernikahan Dini dan Tuntutan Revisi UU Perkawinan

Wednesday, January 28, 2009
By nias

Oleh Ahmad Sofian, MA Dan Misran Lubis*

Ketika PKPA melakukan sebuah penelitian tentang kekerasan terhadap perempuan dan pernikahan dini di Kabupaten Nias awal tahun 2008 yang kemudian menginspirasi PKPA untuk membuat sebuah film dokudrama sebagai bentuk media sosialisasi, muncul pertanyaan berkali-kali dari berbagai pihak tentang kebenaran fakta dalam cerita film itu. Sejujurnya fakta itu ada, namun masalahnya kita belum siap dengan keterbukaan terhadap fakta dan berpikir positif menyikapi fakta itu. Sebuah film dokudrama yang mengisahkan seorang anak perempuan bernama Yanti menolak keinginan keluarga untuk menikah di usianya yang masih 15 tahun, usaha Yanti dan kakak Yanti akhirnya membuahkan hasil menolak pernikahan dan Yanti melanjutkan study. Film dokudrama berjudul “Perempuan Nias Meretas Jalan Kesetaraan” (PNMJK) telah di launching pada 25 Oktober 2008 di Lapangan Merdeka Gunung Sitoli Nias.

Secara bersamaan dengan pemutaran film PNMJK, Indonesia dihebohkan dengan pemberitaan dari Semarang-Jawa Tengah, seorang pengusaha sekaligus pemilik pondok pesantren bernama Syekh Puji menikahi seorang anak yang masih berusia 12 tahun dan baru menyelesaikan sekolah dasar (SD). Peristiwa tersebut membuat banyak orang mengeluarkan statement termasuk Menteri Agama, KOMNAS Perlindungan Anak dan para pemerhati masalah anak. Pro-kontra dari berbagai sudut pandang bermunculan, baik sudut pandang agama Islam, Undang-undang Perlindungan Anak, Undang-undang Perkawinan hingga Konvensi PBB tentang Hak Anak menghiasi siaran berita dan dialog di media cetak dan elektronik.

Penulis ingin menyampaikan , dua cerita berbeda tentang pernikahan dini di atas seharusnya tidak terlalu mengejutkan kita, andaikan pemimpin-pemimpin negeri ini dan para pengambilan kebijakan tanggap terhadap data-data kasus yang dilansir setiap tahunnya oleh lembaga-lembaga pemerhati masalah anak dan perempuan, serta hasil-hasil penelitian dan survey. Misalnya Laporan Into A New World: Young Women’s Sexual and Reproductive Lives yang didukung oleh The William H Gates Foundation tahun 1998 telah melansirkan, usia pertama kali melahirkan di Indonesia antara usia 13-18 tahun mencapai 18% dan Pernikahan di b awah usia 18 tahun mencapai 49 persen pada tahun 1998. Kondisinya saat ini tidak lah jauh berbeda, berdasarkan hasil penelitian PKPA tahun 2008 di Kabupaten Nias, angka pernikahan antara 13-18 tahun sekira 9,4persen dari 218 responden perempuan yang telah menikah dan akan menikah. Angka pernikahan di usia muda bagi anak perempuan 3x lebih besar dibanding dengan anak laki-laki (Data Populasi Nias dan Nias Selatan, BPS Tahun 2005). Di kota Malang menurut catatan kantor Pengadilan Agama (PA) Kota Malang angka pernikahan di bawah usia 15 tahun meningkat 500 persen dibanding 2007, hingga September 2008 tercatat 10 pernikahan yang usia pengantin perempuannya masih di bawah 15 tahun. (BCZ Online/Kamis, 30 Oktober 2008). Fenomena pernikahan diusia anak-anak di daerah lainya tidaklah jauh berbeda mengingat fakta perilaku seksual remaja yang melakukan hubungan seks pra-nikah sering berujung pada pernikahan dini serta kultur masyarakat Indonesia yang masih memposisikan anak perempuan sebagai warga kelas ke-2 dan ingin mempercepat perkawinan dengan berbagai alasan ekonomi, sosial, anggapan pendidikan tinggi tidak terlalu penting bagi anak perempuan dan stigma negatif terhadap status perawan tua.

Kontroversi usia perkawinan
Kampanye penolakan pernikahan di usia dini yang dilakukan oleh PKPA melalui berbagai media sosialisasi sering mendapatkan pertanyaan mendasar mengenai batasan minimal usia perkawinan. Bukan hal mudah menjawab pertanyaan sederhana yang disampaikan masyarakat. Meskipun Undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan secara tegas,”Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”(Pasal 1) dan pada pasal 26 ayat 1 poin c disebutkan, keluarga dan orang tua berkewajiban untuk mencegah terjadinya perkawinan di usia anak-anak. Secara jelas undang-undang ini mengatakan, tidak seharusnya pernikahan dilakukan terhadap mereka yang usianya masih di bawah 18 tahun. Namun tidak semudah itu PKPA dapat menjawabnya, karena UU No.1 tahun 1974 tentang perkawinan memberikan batasan yang berbeda dan tidak konsisten terhadap batas minimal usia perkawinan.

Di tengah kontroversi hukum di Indonesia mengenai batas minimun usia perkawinan, pernikahan di usia dini juga terjadi karena tradisi di suatu komunitas dan penafsiran terhadap ajaran agama yang salah. Pernyataan Syekh Puji di berbagai media massa yang mengatakan bahwa pernikahannya dengan Ulfa seorang anak perempuan 12 tahun, merupakan teladan dari Nabi Muhammad SAW yang menikahi Aisyah ketika itu berusia 9 tahun. Pandangan tersebut dibantah Ali Akbar, MAg seorang Dosen IAIN Sumut yang mengatakan bahwa Pernikahan Nabi sama juga Aisyah usia 9 tahun hanya Mitos, (Waspada Online/Jum’at 31 Oktober 2008). Hal yang sama juga ditulis oleh Azhari Akmal Tarigan tentang Dilema Pelaksanaan Hukum Islam, (Waspada Online/31 Oktober 2008).

Kultur di sebagian besar masyarakat Indonesia juga masih memandang hal yang wajar jika pernikahan dilakukan pada usia anak-anak. Setidaknya ada beberapa faktor yang menyebabkannya berdasarkan hasil kajian dari laporan kasus-kasus KDRT, Kekerasan terhadap perempuan, kekerasan terhadap anak, diskursus dan penelitian yang dilakukan oleh PKPA tahun 2008, yaitu ;

1. Pandangan tentang “kedewasaan” seseorang yang dilihat dari perspektif ekonomi. Ketika seseorang telah mampu menghasilkan uang atau telah terjun ke sektor pekerjaan produktif telah dipandang dewasa dan dapat melangsungkan perkawinan, meskipun secara usia masih anak-anak.
2. Kedewasaan seseorang yang dilihat dari perubahan-perubahan secara fisik, misalnya menstruasi bagi anak perempuan dan mimpi basah bagi anak laki-laki, diikuti dengan perubahan terhadap organ-organ reproduksi.
3. Terjadinya kehamilan di luar nikah, menikah adalah solusi yang sering diambil oleh keluarga dan masyarakat untuk menutupi aib dan menyelamatkan status anak pasca kelahiran.
4. Korban pernikahan dini lebih banyak anak perempuan karena kemandirian secara ekonomi, status pendidikan dan kapasitas perempuan bukan hal penting bagi keluarga. Karena perempuan sebagai istri segala kebutuhan dan hak-hak individualnya akan menjadi tanggung jawab suami.
5. Tidak adanya sanksi pidana terhadap pelanggaran Undang-undang Perkawinan, menyebabkan pihak-pihak yang memaksa pernikahan di usia dini tidak dapat ditangani secara pidana.

Jika saja semua orang terutama orang tua benar-benar menyadari dan belajar dari berbagai dampak negatif yang ditimbulkan akibat pernikahan di usia dini tentu saja tidak ada orang tua yang ingin merelakan anak-anaknya terutama anak perempuannya akan menjadi korban berikutnya.

Revisi suatu keharusan
Pendewasaan usia perkawinan (PUP) yang diprogramkan oleh pemerintah dan juga usaha-usaha menolak pernikahan di usia dini yang dilakukan oleh sejumlah organisasi perlindungan anak hanya yang akan menjadi wacana perdebatan tak berujung. Solusi lain harus dilakukan oleh negara yang melindungi anak dari praktikpraktik pernikahan usia dini adalah dengan merevisi UU No. 1 tahun 1974.

Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) bersama-sama sejumlah organisasi gerakan perempuan pernah mengajukan revisi terhadap UU Perkawinan. Beberapa permasalahan pokok yang usulkan untuk direvisi antara lain;

1.Pendewasaan usia perkawinan di atas 18 tahun, dengan tidak membedakan batas minimal usia perkawinan bagi perempuan dan laki-laki.
2. Prinsip non diskriminasi dalam pencatatan perkawinan, di unit-unit di bawah naungan Departemen Agama.
3. Prinsip no diskriminasi juga diterapkan terhadap hak dan kewajiban bagi perempuan dan laki-laki.
4. Hak dan status anak yang dilahirkan di luar hubungan pernikahan tetap memiliki hak dan status yang sama dengan anak yang dilahirkan dalam ikatan perkawinan secara perdata, sesuai UU No.23 tahun 2002 pasal 7 ayat (1) menyebutkan Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri.

Dukungan dan tuntutan tentang revisi Undang-undang perkawinan merupakan perwujudan dari upaya bersama untuk menyelamatkan masa depan anak-anak Indonesia, karena pada dasarnya anak hanya titipan dan karunia Tuhan. Prinsip mengedepankan kepentingan terbaik bagi anak dalam setiap pengambilan keputusan yang menyangkut anak merupakan kewajiban semua pihak. (Waspada Online, 21 Oktober 2008)

*Penulis Tim PKPA (Pusat Kajian dan Perlindungan Anak)

2 Responses to “Pernikahan Dini dan Tuntutan Revisi UU Perkawinan”

  1. Redaksi Yaahowu Nias Online

    Kami berterima kasih atas kerjasamanya dan pemuatan artikel ini di website Nias Online. mudah-mudahan bermabfaat bagi pengunjung situs ini dan sama-sama kita mendorong adanya perubahan kebijakan di negeri ini untuk melindungi anak-anak Indonesia.

    Horas
    Yaahowu

    #4276
  2. Jaya

    Keterangan diatas [Waspada Online] : Kondisinya saat ini tidak lah jauh berbeda, berdasarkan hasil penelitian PKPA tahun 2008 di Kabupaten Nias, angka pernikahan antara 13-18 tahun sekira 9,4persen dari 218 responden perempuan yang telah menikah dan akan menikah.

    Wawancara di artikel Tentang Pernikahan Dini dan Kondisi Kehidupan Anak-anak di Nias [situs ini] : Akan tetapi dari data penelitian PKPA dari responden perempuan yang sudah dan akan menikah sebanyak 280 orang terdapat 9,4 % yang menikah diantara usia 13-18 tahun.

    Hal tsb aku respon di artikel wawancara: Bang Lubis, data anda variabelnya masih ambigu: “perempuan yang sudah dan akan menikah”. Angka 280 itu yang sudah atau akan nikah? Yang sudah berapa? Yang akan berapa? [tapi blm dpt jawaban sesuai pertanyaanku].

    Sekarang muncul lagi angka statistik ambigu, 218 atau 280 responden?

    #4280

Leave a Reply

Kalender Berita

January 2009
M T W T F S S
 1234
567891011
12131415161718
19202122232425
262728293031