Tayang Perdana Film Perkawinan Dini di Nias

Wednesday, October 29, 2008
By nias

*Penonton Ribuan, Perempuan Tersanjung

Medan – Tayang perdana film dokudrama berjudul “Perempuan Nias, Meretas Jalan Kesetaraan (PNMJK)” di Lapangan Merdeka Gunung Sitoli, Kabupaten Nias, Sabtu (25/10) malam, menyedot ribuan penonton, dan banyak perempuan tersanjung dan merasa terbela.

Seorang penonton yang juga aktivis perempuan di Gunung Sitoli, Nuril Melani Telaumbanua mengatakan, film PNMJK cukup mewakili aspirasi kaum perempuan Nias. “Saya berharap ada perubahan yang terjadi di masyarakat”, harapnya.

Ketua salah satu ormas Islam di Nias, Jefrita Farid menyatakan, film dokudrama PNMJK merupakan sebuah film bernuansa pendidikan yang jarang dilakukan di Nias. “Penontonnya sangat ramai karena pertunjukan seperti ini jarang dilakukan”, sebutnya.

Wakapolres Nias Jhony D Sinaga dalam komentarnya menyatakan, pemutaran film dokudrama PNMJK merupakan cara efektif dalam menyosialisasikan UU Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang saat ini gencar dilakukan aparat kepolisian.

Karenanya, dia berharap agar masyarakat dalam mengambil sisi edukasi dari film tersebut bahwa kekerasan dalam rumah tangga cukup berdampak negatif terhadap perempuan. “Mari kita hentikan kekerasan terhadap perempuan. Dan masyarakat jangan segan-segan untuk melaporkan ke kepolisian jika menemukan kasus kekerasan terhadap perempuan”, ujarnya.

Jhony mengakui produksi film bertemakekerasan terhadap perempuan di Nias belum ada digarap sebelumnya. “Saya salut. Ini merupakan cara berbeda dalam penyampaian pesan karena selama ini hanya dilakukan melalui seminar-seminar ataupun diskusi-diskusi”, tandasnya.

Wakapolres juga mengucapkan terimakasih kepada Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) dan Sineas Film Documentary (SFD) dengan dukungan Aliansi Jurnalis Independent (AJI) Medan, yang telah memproduksi film PNMJK.

“Saya berharap ada film lanjutan yang mengangkat tentang keberhasilan perempuan di Nias”, sebutnya.

Film dokudrama PNMJK berdurasi 35 menit ini berkisah tentang perkawinan dini di Kabupaten Nias yang diangkat dari kisah nyata. Berdasarkan penelitian PKPA, sepanjang 2005-2007 tercatat 109 kasus kekerasan terhadap perempuan dengan dominasi kasus perkawinan dini.

Manajer Area PKPA Nias, Misran Lubis mengatakan, film dokudrama PNMJK tidak dimaksudkan untuk mendeskreditkan adat dan budaya Nias. “Hanya saja ada cara-cara yang salah dalam mengaplikasikannya.Karenanya, kami berharap film ini menjadi titik awal bagi kita untuk lebih menghargai perempuan dan kekerasan terhadap perempuan tidak kita dengar dan jumpai lagi”, katanya.

KUPAS FILM DI RRI
Beberapa jam sebelum penayangan tersebut, film dokudrama PNMJK juga diputar pada acara kupas film di RRI Pro2 FM Nias. Sutradara, produser dan pemeran utama, berdialog dengan masyarakat. “Nonton film dulu, lalu mengupas film.Acara ini disiarkan secara langsung”, kata Sutradara film dokudrama PNMJK, Onny Kresnawan.

Onny mengatakan, masyarakat cukup terkesan atas film tersebut. Salah satu pertanyaan yang muncul dari peserta diskusi adalah pemilihan kata “Meretas” dalam judul film tersebut. “Jujurnya, saya dan tim kreatif membuat judul awal adalah “Merintis”. Kalau merintis adalah mengawali dan sudah banyak yang melakukannya. Meretas berarti betul-betul menguak.Dan kini saatnya perempuan Nias meretas jalan yang sudah dibuat”, sebutnya.

Seorang tokoh perempuan Nias yang juga mantan anggota DPRD Kabupaten Nias, Nur Delima mengatakan, film ini sangat menyentuh. Sementara staf Dinas KB dan Pemberdayaan Perempuan Kabupaten Nias Dermanyati Mendrofa mengatakan, kami sangat tertarik menonton film dokudrama ini. Di kabupaten ini juga banyak hal-hal serupa terjadi. Saya harap PKPA bisa memproduksi film yang menceritakan tentang perempuan Nias yang berprestasi. Film ini diharapkan dapat memotivasi perempuan-perempuan Nias untuk bisa lebih maju selangkah.

Onny mengatakan, film tersebut merupakan karya besar anak-anak Nias dan dipersembahkan untuk anak-anak Nias. “Kami berusaha memaksimalkan hasil dengan keterbatasan yang ada, misalnya pemain yang tidak punya pengalaman dalam bermain dan minimnya dana. Ini sesuai dengan motto SFD. ‘Berkarya Profesional, Bersemangat Kerelawanan”, ujarnya. “Kita tidak berhenti dengan keterbatasan dana, karena ada persoalan masyarakat yang harus segera disampaikan, itu yang lebih penting”, tandas Onny. (SIB, 29 Oktober 2008)

Tags: ,

20 Responses to “Tayang Perdana Film Perkawinan Dini di Nias”

  1. sinumana

    Aku sudah menemukan tulisan riset James Danandjaya yg ditunjuk Bang Yulius Hulu. Memang cenderung memberatkan biaya kawin adat seperti yg disoroti HIDUP itu. Aku sudah baca HIDUP pula. Jadinya kita bertanya-tanya apa benar banyak orang yg bisa kawin dini (melamar anak gadis orang) secara benar-benar menurut adat Nias loh, kalau dia masih taraf miskin?

    Sebagai gambaran Danandjaya menulis tentang itu; “Jumlah emas kawin di Nias bagian Selatan pada dewasa ini relatif lebih sedikit jika dibandingkan dengan jumlah yang berlaku di Nias bagian Utara, Barat, Tengah dan Timur. Yang tertinggi dari keempat daerah tersebut adalah di Nias bagian Barat, yaitu terutama di negeri Lahömi dari kecamatan Sirombu. Emas kawin di Lahömi sampai pada akhir tahun 1968, yang paling rendah adalah 100 ekor babi yang masing-masing berukuran empat alisi, dan tidak boleh ditawar-tawar lagi.”

    Yahh… boleh dikurs sekarang ini berapa besar saja emas kawin 100 ekor babi 4 alisi itu (belum lagi berasnya dan guldennya) secara adat di Nias! Maka Faogöli Harefa pun pernah dulu menulis; “Matilah Awak Ini!” … Alaaa Mak!

    #16961
  2. ehalawa

    Bu Erlin,

    Informasi tambahan yang diberikan Pak Yulius Hulu dan Sinumana kiranya menambah ‘perbendaharaan’ Anda soal perkawinan menurut adat Nias, namun dengan beberapa catatan.

    Buku-buku yang disebutkan Pak Yulius ditulis sudah cukup lama (1976, 1993, 1983, 1984). Artinya buku yang terakhir disebut diterbitkan 26 tahun lalu, dan yang pertama disebut diterbitkan 34 tahun lalu. Artinya, informasi yang dikandungnya tidak lagi boleh dianggap sebagai patokan yang berlaku dalam masyarakat Nias sekarang. Selama kurun waktu 25 – 35 tahun terakhir sudah banyak perubahan dalam masyarakat Nias.

    Perubahan yang saya maksud mencakup hampir semua aspek: sosial, ekonomi, pendidikan, pembangunan, paradigma dan sebagainya.

    Sinumana misalnya menyebut bahwa pada tahun 1968 emas kawin 100 ekor babi. Dan itu benar, terjadi pada tahun 1968, tetapi itu sudah 42 tahun lalu. Sejak tahun 1999, saya telah ikut menghadiri dan bahkan turut aktif mempersiapkan sejumlah pernikahan. Selama menyaksikan langsung beberapa perkawinan itu saya tidak pernah melihat lebih dari 10 ekor babi (dari berbagai ukuran) dipotong. Selama periode itu pula, saya menyaksikan perkawinan dengan biaya yang berkisar Rp 7 juta – Rp 40 juta dan itu sudah termasuk babi tadi.

    ***
    Saya juga melihat fleksibilitas dalam adat Nias. Artinya, segala aturan adat yang diinformasikan dalam buku-buku yang disebutkan di atas dalam kenyataannya bisa ‘diatur’ selama proses persiapan hingga pada hari H-nya. Lihat tulisan saya berjudul: Bõwõ Dalam Adat Nias(1).

    Dalam tulisan lain, Faktor-Faktor Penyebab Keterbelakangan dan Kemiskinan Masyarakat Nias, saya memang cukup kritis menyoroti masalah bõwõ itu. Tulisan itu saya tulis tahun 2000, tidak lama setelah saya mulai terjun lebih aktif ‘melihat’ langsung di lapangan sejumlah perkawinan menurut adat Nias. Semenjak itu, ada perubahan ‘paradigma’ saya dalam memandang ‘bõwõ’ itu, hal yang mempengaruhi nada tulisan saya ‘Bõwõ Dalam Adat Nias(1)’ yang saya sebutkan di depan. Sejak perubahan ‘paradigma’ itu saya melihat ‘bõwõ’ sesungguhnya sebagai sesuatu yang sangat positif, hal yang senada dengan tulisan P. Romanus Daeli OFM Cap yang Anda sebut di depan (tulisan itu belum saya baca namun judulnya tentulah merefleksikan inti pesannya).

    Pada komentar saya (Komen 12) dalam artikel itu saya menyebutkan beberapa ‘perkembangan’ yang berkaitan dengan perkawinan menurut adat Nias. Komentar no 12 itu juga mengandung kritik saya terhadap orang Nias yang hanya ‘mengeluh’ tanpa mau ‘terjun’ ikut mengubah keadaan.

    Untuk sementara sekian dulu 🙂

    Salam,

    ehalawa

    #16963
  3. Yulius Hulu

    Keterangan Bapak Ehalawa sangat bermanfaat. Maka buat Bu Erlin Nursiamingsih bila ingin tahu adat perkawinan Nias lebih dalam berikut perkembangannya dari dulu hingga kini (baik tata cara, proses, dan besarannya) perlu pula meninjau hsl penelitian Andrew Beatty dlm buku “Society and Exchange in Nias” th 1992. Maka dgn demikian cukup luas info ttg adat perkawinan Nias, termasuk yg sedang dipraktekkan sekarang ini di masyarakat Nias. Selamat menelusuri Bu. Yaahowu!

    #16992
  4. esther telaumbanua

    Selamat dan sukses dengan produksi film tentang perempuan Nias. Semakin banyak informasi tentang perempuan Nias, semakin kaya pengetahuan kita. Disisi lain, dengan memahami masalah mendasar perempuan Nias secara utuh, kita dapat memacu pembaruan dan perubahan sebagaimana yang diharapkan yaitu mengangkat harkatnya sebagai manusia ciptaan Tuhan yang bernilai tinggi setara dengan harkat kaum pria.

    Saya sangat menghormati budaya Nias yang khas, unik dan luhur. Namun, menurut hemat saya, budaya lokal yang kurang positif dan tidak mengangkat harkat sudah semestinya direvitasi. Buadaya adalah ciri peradaban, sehingga bagian yang tidak membuatnya lebih beradab, memang perlu dilakukan perubahan. Tentu tidak semudah mengatakannya, sebab merubah budaya yang ada sama dengan merubah konstruksi berfikir kita, merobah paradigma berfikir yang sudah tertanam sepanjang hayat kehidupan Nias. Perlu waktu dan cara pendekatan yang tepat. Pro dan kontra akan ada, namun harus dilakukan terus menerus sehingga dapat berterima sesuai dengan perkembangan zaman dan kebutuhan hidup.

    Merevitalisasi budaya, dalam persepsi saya, adalah dimaknai dengan memahami dengan seksama dan benar nilai-nilai luhur yang dikandung didalamnya, memelihara bagian yang positif sesuai dengan kekinian sebagai penguat jati diri dan membina hubungan sosial yang harmonis, dan mengurangi bagian yang tidak mengkonstruksi kehidupan kita menjadi lebih baik… salam.

    #16993
  5. sinumana

    Berita HIDUP aku rasa kurang berimbang juga. Dia beri contoh orang Nias yg kawin ‘yg tidak meninggalkan hutang akibat adat jujuran’. Tentang orang Nias yg kawin ‘yg meninggalkan hutang akibat adat jujuran’ gak diliput. HIDUP mengungkap opini dan argumentasi relatif sumir dgn hanya menulis: “Saat HIDUP berkunjung ke Nias tahun lalu dan menghadiri sebuah pesta, moncong babi merupakan makanan kehormatan yang diberikan kepada para tokoh msyarakat dan pemuka agama. Jumlah babi, emas, dan uang yang harus dibayarkan untuk boli niha akan bertambah jika gadis tersebut berasal dari keluarga berstatus sosial tinggi, seperti keluarga ketua adat.”

    Kalau HIDUP menyajikan contoh kasus orang yg kawin ‘sehingga orang itu seumur hidup harus bekerja ekstra keras untuk melunasi hutang boli niha’.. nahh barulah kita bisa perbandingkan pengaruh adat Nias itu. Mangkanya aku bilang tulisan HIDUP itu gak berimbang. Satu pihak berdasar pada tafsir dan opini belaka… kalau kritis membacanya loh.

    #17017
  6. erlin nursiaminingsih

    Makasih ya.. Ibu/Bapak/Kakak/Abang semua soal informasi adat perkawinan Nias. Sangat meluaskan wawasan saya. Akan saya carinya sumber pustaka tersebut diperpust. Salam!

    #17141
  7. sherli

    Informasi bg kt diskusi hangat ngebahas topik ini di http://niasonline.net/2010/05/10/mengapa-bowo-dalam-perkawinan-nias-cenderung-besar/ Tks!

    #18433
  8. Saya sangat berterima kasih kepada awak Majalah HIDUP yang mengangkat dan mengupas budaya Nias di edisi 7 Maret 2010. Pastor, Romanus Daeli OFMCap juga menuliskan pendapatnya tentang bowo. Setelah membacanya malah saya bersyukur bukan reaktif, ternyata Awak HIDUP melihat hal yang patut menjadi perhatian kita, masyarakat Nias.

    Salam dalam Kasih,
    Postinus

    #18469
  9. sinumana

    Sayangnya… HIDUP gak menyajikan contoh kasus orang yg kawin ’sehingga orang itu seumur hidup harus bekerja ekstra keras untuk melunasi hutang boli niha’. Hal yg diangkatnya berangkat dr tafsir & opini.

    #18487
  10. Ya’ahowu Fefu. Salam persaudaraan
    Saya membaca HIDUP edisi 7 Maret 2010. Tema besar HIDUP: Gereja dan Adat Nias, disajikan dalam beberapa judul tulisan menarik:

    1. Bibit, Bobot, dan Bebet: intinya, penulis membandingkan adat perkawinan Nias dengan Jawa, Batak dan Papua.

    2. Adat Jujuran yang Memiskinkan: Dalam tulisan ini diwawancarai Ibu Anita Saruhama. Ketika diwawancarai oleh HIDUP, Anita menjawab: “menurut saya, jujuran itu mengakibatkan orang jadi miskin. Ibu Anita ini sudah nikah, bahkan sudah memiliki anak.

    3. Jujuran Sebagai Bukti Kasih: Penulisnya Pastor Romanus Daeli, OFMCap. Intinya, Pastor Romanus melihat bahwa bowo itu masi-masi (itu awalnya). Pastor Romanus melihat bahwa sekrang ini bowo itu semakin “diada-adakan” sehingga bowo mengarah pada gengsi-gengsi-an.

    4. Boli Niha dalam Adat Perkawinan Nias. Dalam tulisan ini, diulaslah buku hasil penelitian Jajang A. Sonjaya (A. Robi Hia: “Melacak Batu Menguak Mitos”, sub bab: Perempuan dalam Belenggu Tradisi.

    5. Mengubah Adat dengan Bijak. Dalam tulisan ini, dikutip pendapat Pastor yang berkarya di Nias: Pastor Domi dan Pastor Johanes Hammerle. Kedua tokoh yang mengalami langsung dan tinggal lama di Pulau Nias ini berpendapat bahwa bowo itu memberatkan. Tidak hanya itu, dalam tulisan ini ditampilkan dua wanita Nias yang ikut memikirkan masalah adat jujuran yang menindas (Albertha Halawa, dosen di STP Dian Mandala Gunung Sitoli dan Agnes Dakhi).

    Jadi, kita patut bersyukur pada Majalah HIDUP.

    #18490

Leave a Reply

Kalender Berita

October 2008
M T W T F S S
 12345
6789101112
13141516171819
20212223242526
2728293031