Menelusuri Akar Kemiskinan Nias
*Sebuah Pengantar
Oleh Erix Hutasoit
Kemiskinan di Pulau Nias adalah anomali. Tidak seharusnya kemiskinan â€berjangkit†di daerah yang kaya akan sumber daya alam. Pulau Nias punya keindahan alam, punya tanah yang produktif, punya laut yang kaya akan ikan dan hasil lainnya, punya orang-orang yang kuat bekerja. Jika kita mengunjungi desa-desa di puncak gunung di daerah Gomo sana. Kita akan berjumpa dengan orang asli Nias yang tenaga nya begitu kuat. Dan mereka pun rajin bekerja.
Dari titik ini lah saya menyimpulkan kemiskinan di Pulau Nias bukan kemiskinan natural. Melainkan kemiskinan struktural. Kemiskinan yang disebabkan sistem yang tidak beres dan tidak adil (injustice system).
Mari saya ajak Anda menelusuri sejenak jejak-jejak injustice system itu. Kita berangkat dari segi pertumbuhan ekonomi. Jika kita baca laporan Badan Pusat Statistik (BPS). Kita akan temui fakta spektakuler bahwa pertumbuhan ekonomi Kabupaten Nias jauh lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi Indonesia dan Sumatera Utara.
Fakta yang lebih fantastis terjadi di tahun 1998-1999. Di tahun 1998, perekonomian Nias ambruk ke angka sekitar minus 10 persen. Tapi kejatuhan ini dapat dimaklumi, karena pada tahun itu Indonesia sedang diguncang kekacauan ekonomi. Namun setahun kemudian, pertumbuhan ekonomi Nias melonjak sekitar 15 persen. Ini menunjukkan betapa produktif nya perekonomian Nias.
Jika kita ikuti teori pertumbuhan ekonomi. Harusnya pertumbuhan ekonomi yang tinggi itu akan membawa dampak pada pemerataan kesejahteraan. Akan tetapi Trickle Down Effect yang diyakini dapat mendistribusikan kesejahteraan, ternyata tidak â€tiba†di Nias.
Pertumbuhan yang tinggi itu, malah berbanding terbalik dengan angka kemiskinan. Kemiskinan terus meningkat. Alhasil pada tahun 2004, Kabupaten Nias Selatan dan Kabupaten Nias â€dinobatkan†sebagai kabupaten termiskin pertama dan kelima di Sumatera Utara.
Inilah yang menggiring nalar kita pada pertanyaan kritis, â€Siapa seh yang menikmati pertumbuhan ekonomi yang tinggi itu ?â€
Mari kita kembali telusuri perekonomian Nias untuk menemukan jawabnya. Berdasarkan data BPS di tahun 2005. Lebih dari 46 persen perekonomian Nias di topang oleh sektor pertanian; urutan kedua ditempati sektor perdagangan sebesar 21 %. Sektor jasa-jasa memberikan kontribusi sebesar 11 % dan berada di peringkat ketiga. Sedangkan peringkat keempat adalah sektor bangunan yang menyumbang 10 %.
Tapi yang terjadi adalah paradoks. Sektor pertanian malah menjadi penyumbang angka kemiskinan terbanyak. Artinya orang miskin di sini umumnya adalah petani. Kok bisa ?
Mari kita lihat kembali data BPS. Pada tahun 2004 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Nias adalah Rp.200.106.529.780,-. Dimana sektor pertanian menyumbang 41,09 persen. Dan sektor perdagangan hanya berkontribusi sebesar 21,78 persen .
Akan tetapi dari segi distribusi (penyebaran) terjadi kesenjangan yang besar. Petani yang berjumlah 341.130 jiwa hanya memperoleh bagian dari PDRB sebesar Rp.1.900.000,-/kapita. Sedangkan pedagang yang jumlahnya hanya 15.040 jiwa, meraup Rp.26.000.000,-/kapita. Artinya perbedaan PDRB perkapita antara petani dan pedagang sebesar 1 berbanding 13. Dan jurang antara si miskin dan si kaya di Nias semakin jauh terbentang.
Merujuk pada Gunawan Sumodiningrat dalam Pemberdayaan Sosial; Kajian Ringkas Pembangunan Manusia Indonesia (2007). Dia menyebut kesenjangan terjadi apabila 20 persen penduduk yang tergolong kaya meraih 50 persen atau lebih dari GNP (Gross National Product). Untuk tingkat kabupaten dari bisa lihat dari PDRB (Produk Domestik Regional Bruto).
Inilah yang menggiring kita pada pertanyaan lain, â€Bagaimana caranya 20 persen penduduk kaya itu mampu meraup lebih dari setengah perekonomian Nias ?â€
Nias dalam Pusaran Hukum Pasar: M-C-M`
Bagian ini saya mulai dengan mengutip Noniwati Telaumbanua dalam Kepulauan Nias: Konsekuensi Sebuah Ketidakstabilan dan Ketidakpastian Kondisi Alam (Bagian II) (2007):
“Dunia bisnis berpusat di Gunungsitoli, Teluk Dalam dan Lahewa, namun tidak diimbangi dengan ketangguhan penduduk untuk menguasai sektor-sektor vital, melainkan dipegang oleh pendatang, baik sebagai badan tunggal maupun sebagai pemodal kuat. Wilayah ini menjadi bergantung sekali dengan fluktuasi pasaran yang ditetapkan secara otonom oleh penguasa pasar yang berada di tiga kota di atas…â€
Dari paragraf ini saya menyimpulkan. Pertama, sektor bisnis di Pulau Nias terpusat pada tiga kota yaitu Gunungistoli, Teluk Dalam dan Lahewa. Kedua, sektor bisnis itu dikuasai oleh para pendatang sebagai pemilik modal (kapitalis). Ketiga, kelompok ini secara otonom menjadi “decision of price†(penentu tingkat harga-harga).
Nah, sebentar kita beralih ke teori-teori seputaran pertukaran (perdagangan). Karl Marx dalam buku babon nya Das Capital: A Critique of Political Economy Volume I (1954) pada bagian kedua The Transformation of Money into Capital. Menyebut bahwa pertukaran dalam masyarakat kapitalis mengambil rumus Money – Commodity – Money (M-C-M).
Menurut hukum ini, si kapitalis memulainya dengan uang (M) untuk membeli komoditi (C). Komoditi tersebut kemudian dijualnya untuk memperoleh uang lagi (M2). Marx menamakan tahap pertama ini (M – C) sebagai kapital pendahuluan (Advanced Capital), dan tahap kedua (C – M) sebagai kapital kerja (Relation of Capital).
Tetapi, Marx mengingatkan bahwa keseluruhan proses ini (M – C – M ), tidak ada maknanya, jika si kapitalis hanya mendapatkan uang sebesar uangnya semula. Misalnya, jika semua ia memiliki Rp. 1000,- (M), kemudian digunakannya untuk membeli atau memproduksi sepatu seharga Rp. 900.- (C), dan menjual sepatu itu dengan harga dasar Rp. 1.000,- (M).
Bagi Marx, pertukaran model ini bukanlah cara produksi kapitalis. Karena itu, Marx menuliskan kembali rumusnya ini menjadi M – C – M’, dimana M’ (M plus) mewakili jumlah yang lebih besar dari M atau M’ > M. Uang senilai Rp. 1000,- (M) yang digunakan untuk membeli atau memproduksi sepatu senilai Rp. 900,- (C). Sepatu itu kemudian dijual menjadi Rp. 1.100 (M’). Dari proses ini, si kapitalis mendapatkan tambahan uang senilai Rp. 100,- yang kemudian sirkuit ini terus berputar tanpa henti. M’ inilah yang nantinya disebut Marx sebagai “nilai lebih“.
Pada tahap M – C – M’, yang disebut Marx dengan istilah sirkuit uang, si kapitalis memproduksi komoditi bukan untuk konsumsi tapi, untuk dijual dengan tujuan semata-mata akumulasi nilai uang. Demikian pula, si konsumen membeli barang bukan semata-mata bertujuan memenuhi kebutuhannya. Proses M – C – M’ ini terjadi dalam situasi yang tidak pernah usai dan diam, sehingga terjadi apa yang disebut surplus product (kelebihan produksi).
Dalam konteks Pulau Nias, hukum inilah yang berlaku dalam dua fase. Fase pertama, pemilik modal menggunakan uangnya (M) untuk membeli komoditas (C) seperti karet, kopra, coklat dengan harga yang murah. Kemudian menjual kembali Komoditas itu dengan harga mahal (M2). Dari sana pemilik modal mendapat keuntungan. Tapi fase kedua adalah keuntungan yang dapat dari memasok barang-barang dari Sumatera daratan ke Nias dengan cara yang sama.
Inilah yang membuat kelompok pemilik modal seperti pedagang mampu menguasai lebih dari 50 persen perekonomian Nias.
Sampai disini, saya menyimpulkan bahwa kemiskinan di Pula Nias sangat dipengaruhi oleh sistem kapitalisme. Pemilik modal terlalu “berkuasa†dalam mendikte tingkat harga. Dan mereka seolah tidak terjamah oleh kekuatan apapun.
Tidak anehlah kalau Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) menepatkan Pulau Nias sebagai daerah yang paling amburadul tata kelola ekonominya.
Sampai disinilah untuk sementara penelusuran kita tentang akar kemiskinan di Nias. Akan lebih menarik lagi, jika ada yang berminat untuk melakukan pendalaman. Menemukan siapa aktor-aktor yang terlibat dan bagaimana pola keberlangsungan sistem kapitalisme di Pulau Nias ini. Salam***
Erix Hutasoit, bekerja untuk salah satu lembaga sosial di Nias.
Koko Giawa, Liong masih tetep setia ngikutin diskusi inih… trims komen positifnya yg dulu itu loh… saya kan nungguin cerita koko Erix ttg Galileo & Suster Maria Seleste… ternyata gak nongol-nongol juga! Nhah… kalo usul koko Sarumaha diterusin bakalan rame lagi tuh. Kan Re-go dimotori Si Wanita Besi dari Inggris itu, hasilnya ya neoliberalisme sekarang ini… aih solusi Re-go pasti bentrok dgn teori marxis koko Erix. Pasti pula koko Laso angkat bicara lagi, masalah lama yang dah usang katanya Laso-ko. Kita liat aja ntar gimana jadinya! Salam kompak Giawa-ko… saya nerusin baca kisah keluarga pulau es dulu ya… 🙂
Saudaraku Erix,
Saya salut : anda rajin. Akan tetapi usahakan (hanya saran)tanggapan atau jawaban Erix tidak terlalu luas pada hal-hal yang kurang relevan. Penjelasan yang terlalu luas seperti itu yang menyebabkan timbul “keseleo logika” atau dengan kata lain “tidak konsisten” menurut Saudara Ya’ahowu.
Pertanyaan atau permintaan penjelasan dari penanggap seharusnya dapat diselesaikan dalam satu dua kalimat, Saudara Erix (apakah karena terlalu banyak literatur ?) menjawab terlalu luas sehingga tidak fokus. Saya dapat memahami permintaan penjelasa oleh Saudara Ya’ahowu mengenai : teori kemiskinan, keunikan kemiskinan, dan pola-pola penyebab kemiskinan. Bagi seorang yang memahami arti kata “teori”, makna “unik”, makna “pola” pasti akan bertanya juga seperti itu. Kemudian Saudara Erix menjawab dengan kalimat “yang saya maksud” dan kemudian balik bertanya.
Kesempatan yang Saudara Erix miliki melalui salah satu LSM datang ke Nias tidak dimiliki oleh setiap orang. Jalan hidup Saudara Erix (dalam kaitan topik ini) memang melalui LSM di Nias. Kemungkinan juga saudara Ya’ahowu tidak memiliki kesempatan itu karena bekerja di luar negeri. Jadi bertanya kembali seperti itu tidak pada tempatnya dalam diskusi seperti ini. Dengan cara seperti itu, diskusi ini tambah menjauh dari inti topik.
Seandainya Saudara Erix sepaham dengan saya tentang pengertian kemiskinan struktural (lihat diatas), atau pun tidak sepaham dengan saya (tentu dengan argumen yang logis) maka diskusi ini pasti akan lebih berdaya guna dan berhasil guna. Saya tidak berkhayal bahwa ada solusi permasalahan akan tetapi sedikitnya tujuan Saudara Erix dengan topik ini tergambar.
Tetapi kita tidak perlu terlalu berkecil hati sebab diskusi ini tetap memberi manfaat-positif bagi kita semua untuk berusaha berkomunikasi dengan akal budi yang baik. Mendorong kita supaya tidak berpandangan seperti kodok dalam tempurung (talaho baro zole).
Saohagolo.
M. J. Daeli
Aduh….aku makin malu aja nih….gak ketemu2 juga kemiskinan di Pulau Niasnya…perkara kecil aja bingung….gak usah tinggi2lah….klo aku jadi Menteri dalam kabinet yang akan datang….AKAN KU BUAT NIAS MENJADI KAYA RAYA DALAM SEGALA HAL….YA…KAYA RAYA DALAM SEGALA HAL….tentunya dengan orang2 yang bisa di ajak kerja sama…Tapi apalah dayaku Negara ini Demokratis Banget…KUANTITAS yang lebih utama dari pada KUALITASNYA…Gimana gak banyak yang miskin termasuk Nias…?
Memberi artikel dengan pengakuan pemikiran tinggi (katanya)tapi nulis Huruf aja banyak yang salah….Gmana gak banyak salah PAHA melulu ? Tulisan YA’AHOWU yang seharusnya ,…di bolak balik kayak ikan asin YANG DI JUAL MUSO DAN AIDIT…menjadi YA’HAOWU lah…YAHOBU LAH entah apa lagi nanti….padahl katanya sedang bekerja di salah satu lembaga sosial di Nias.. Klo referensi ASLI NIAS untuk Ungkapan “DOA BERKAT UNTUK ORANG LAIN ” (YA’AHOWU”) di bolak balik, apa kata Dunia…?
Ini berarti betapa rendahnya Moral orang2 ini dan mengorbankan IMAN DAN PENGHARAPAN hanya untuk kepentingan pribadinya(Menganggap rendah budaya Nias di hadapan publik )….ATAUKAH MEREKA INI TIDAK TAHU OLEH KARENA MEREKA TELAH MENGETAHUI DAHULU ?
Aku aja bingung apa yang kutulis barusan…Akhir kata…Mudah2an PUTRA-PUTRI NIAS TETAP TEGAR MENGHADAPI ORANG2 RENDAH MORAL SEPERTI ITU…
Untuk Amada Erix Hutasoit….saya harap anda bisa take off dari ruang ini….karena poin anda sudah negatif banget di hadapan masyarakat Nias di belahan Bumi ini…saat ini anda sudah sangat terkenal…(Hebat kan ?)
Jika anda mengerti mengapa saya mengharapkan demikian, maka anda yang tahu bagaimana seharusnya anda bersikap dalam tindakan selanjutnya…
Saohagolo…Ya’ahowu !
Ya’ahowu Fefu,
Bapak jadi semakin bingung untuk kita semua, mengapa ruang yang ada ini menjadi ruang yang dianggap sepele buat kita? apakah kita (orang Nias) sudah bosan dijadikan bahan diskusi sepanjang masa? Bapak berpikir, kita perlu mengucapkan terimaksih buat Pak Erix. Mengapa? ini kita bisa jawab sendiri, apabila kita menyikapinya dengan realistis dan objektif. Pulau Nias memiliki keunikan sendiri yang harus bisa diolah oleh orang Nias, bukan malah kita harus menyingkirkannya. Bapak sendiri orang Nias dan berani mengatakan bahwa dalam budaya Nias sendiri semuanya tidak positif. jadi, Bapak harap kepada anakku AANVV janganlah takut mengakui Kelemahan.
kepada Bapak Erix, maju trus jangan pernah berhenti untuk membuka tabir Pulau Nias ini sebab tak banyak orang Nias yang seperti Bapak.
Saohagölö untuk kita semua!?
Ya’ahowu.
Peserta diskusi semua,
Ruang komentar untuk artikel saudara Erix “Menelusuri Akar Kemiskinan Nias” untuk sementara ditutup sehubungan dengan rencana Redaksi untuk membuat rangkuman pendapat yang mengemuka selama diskusi.
Terima kasih kepada semua yang telah memberikan pendapat yang menambah memperluas wawasan kita tentang topik yang terkait.
Salam,
Redaksi