Mahasiswa dan Reformasi yang Dibajak
Oleh Edi Hardum dan Heri Soba
Pengantar
Dalam beberapa hari terakhir, demonstrasi protes mahasiswa kembali marak di Jakarta dan berbagai daerah. Aksi-aksi tersebut sedikit mengingatkan masa-masa awal ketika gerakan reformasi mulai bergulir 10 tahun lalu. Mahasiswa mempunyai kekuatan moral sebagai pemicu perubahan, tetapi proses perubahan tidak bisa hanya mengandalkan mereka. Berikut sekilas ulasan gerakan reformasi yang sudah menginjak satu dekade oleh wartawan SP Siprianus Edi Hardum dan Heri Soba.
Aksi mahasiswa belakangan dilakukan dengan cara-cara damai, mogok makan, memacetkan jalan atau pusat keramaian hingga anarki. Agendanya pun beragam, dari protes kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM), memperingati 10 tahun reformasi, advokasi terhadap korban kekerasan, melawan korupsi, protes atas kebijakan kampus, hingga ketidakpuasan atas seseorang pemimpin tertentu. Ada yang membiayai diri sendiri, donatur, ataupun yang diorder untuk kepentingan tertentu. Apa pun motivasi, strategi dan kepentingannya, mudah-mudahan kekuatan moral mahasiswa tidak luntur karena kondisi tadi.
Kekuatan moral mahasiswa dinilai sebagai salah satu pemicu tumbangnya orang kuat Orde Baru, yakni Soeharto. Beberapa dekade sebelumnya, mahasiswa juga mengukir sejarah tersendiri untuk menumbangkan sebuah menara gading kekuasaan. Sekalipun banyak faktor eksternal yang mendorong perubahan atau jatuhnya sebuah rezim. Ketika 10 tahun lalu, sebut saja Tragedi Kemanusiaan 13-15 Mei 1998, naiknya harga kebutuhan pokok, ketidakpuasan terhadap kroni Cendana, persaingan elite bangsa dan tekanan internasional serta krisis yang berkepanjangan juga berkontribusi atas reformasi. Masing-masing dengan porsi dan kepentingannya yang kemudian bertemu dalam satu musuh bersama.
Reformasi boleh dikatakan gagal. Para tokoh reformasi sudah mengakuinya setelah menikmati hasil reformasi itu sendiri dalam kerangka sirkulasi elite yang dianggap sebagai suksesnya reformasi politik. Kegagalan terlihat dari tidak adanya perubahan mendasar atas agenda reformasi yang diperjuangkan. Rakyat tetap menderita, tetapi sekolompok orang semakin menumpuk kekayaan dan kekuasaan. Kegagalan juga karena tidak adanya keadilan bagi para korban yang ikut menyumbang puncaknya kemarahan rakyat 10 tahun lalu. Mereka berkorban dan meninggalkan ketidakadilan, kepedihan dan penderitaan keluarga dan kolega yang ditinggalkan.
“Jatuhnya Soeharto ternyata baru sebatas bisa menciptakan pranata-pranata politik baru. Perilaku para elite politik, penyelenggara negara serta aparat penegak hukum yang mengisi pranata-pranata baru belum banyak berubah,” demikian tegas mantan Ketua Senat Mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta 1997-1998, Ridaya Laode Ngkowe, pekan lalu.
Penegasan yang sama juga disampaikan oleh sebagian besar mantan aktivis 1998 seperti pentolan Forum Kota (Forkot) Adian Napitupulu, Forum Komunikasi Senat Mahasiswa Jakarta (FKSMJ) Sarbini, Komite Aksi Mahasiswa Trisakti (Kamtri) Jim Lomen, serta beberapa aktivis dari Front Mahasiswa untuk Reformasi dan Demokrasi (Famred) dan Forum Bersama (Forbes). Organ-organ tersebut lahir dari konsolidasi mahasiswa berbasis kampus. Namun, masih banyak organisasi kemahasiswaan dan pemuda yang juga mempunyai basis kuat yang justru melahirkan kader-kader yang siap bertempur jauh sebelum tumbangnya Soeharto.
Krisis
Jauh sebelum tahun 1998, banyak akademisi, aktivis mahasiswa yang berani menentang Soeharto mundur dari jabatannya sebagai Presiden. Ada sederet nama yang mungkin terlupakan, tapi konsisten hingga saat ini dan tersebar di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya dan beberapa kota di luar Pulau Jawa. Sebut saja, George Yunus Aditjondro dan Arief Budiman (saat itu dosen Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga), Bonar Tigor Naipospos (mahasiswa Fisipol UGM), dan masih banyak lagi lainnya. Kendati konsolidasi belum optimal, benih dan inspirasi perlawanan sudah ditanamkan.
Bersatunya mahasiswa berunjuk rasa menentang Soeharto sejak medio 1997 sampai mundurnya Soeharto pada 21 Mei 1998, tidak terlepas dari berbagai unsur pendukung seperti krisis moneter dan membelotnya para “brutus” yang pernah menjadi kroni Soeharto waktu itu. Krisis moneter yang melanda Asia telah melemahkan mata uang baht (Thailand), ringgit (Malaysia), peso (Filipina), dan rupiah pun jatuh ke titik terendah terhadap dolar AS.
Awalnya, aksi keprihatinan hanya di dalam kampus dan hanya melibatkan segelintir mahasiswa. Di luar kampus, sejumlah elemen ekstra kampus pun masih memprotes “sebatas” wacana dan sesekali tampil di media massa. Akumulasi kekerasan dalam Targedi 27 Juli 1996, gerakan aktivis mahasiswa garis keras, dan konsolidasi gerakan prodemokrasi (seperti Komite Independen Pemantau Pemilu/KIPP). Kontribusi kader dari sejumlah organisasi berbasis mahasiswa dalam kelompok Cipayung (HMI, GMKI, GMNI, PMKRI, dan PMII) maupun organisasi kepemudaan yang tergabung dalam Forum Kebangsaan Pemuda Indonesia (FKPI) juga cukup banyak. Salah satu yang monumental adalah penolakan bersama menentang pencalonan Soeharto sebagai Presiden RI untuk ketujuh kali dengan masa bakti 1998-2003.
Kuantitas aksi-aksi mahasiswa pun meningkat dan menyebar ke berbagai kampus, seperti Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Indonesia (UI), dan Universitas Gadjah Mada (UGM). Aksi pun melebar di luar kampus, walaupun harus berhadapan dengan aparat keamanan yang menjaga di gerbang kampus.
Intensitas tekanan mahasiswa yang meningkat rupanya tidak mengurungkan niat Presiden Soeharto untuk terpilih kembali sebagai Presiden pada tanggal 11 Maret 1998. Slogan “turunkan harga” juga diartikan “Turunkan Harto dan Keluarga”. Apalagi Siti Hardiyanti Rukmana (Tutut) dan Mohamad “Bob” Hasan, masuk dalam Kabinet Pembangunan VII.
Penculikan
Upaya membendung mahasiswa meningkat pada teror dan intimidasi hingga penculikan beberapa aktivis dan mahasiswa yang marak saat itu dimana hingga 30 Maret 1998 paling tidak ada empat orang yang dilaporkan hilang.
Pada 12 Mei 1998, tiga hari setelah konsolidasi mahasiswa di Bogor (Institut Pertanian Bogor/IPB), empat mahasiswa Trisakti tewas ditembak aparat keamanan. Keempat mahasiswa itu adalah Elang Mulia Lesmana, Hendriawan Sie, Heri Hartanto, dan Hafidhin Alifidin Royan. Aksi penembakan itu sesaat setelah ribuan mahasiswa Universitas Trisaksi baru memasuki kampusnya setelah selesai menggelar aksi keprihatinan. Koran SP yang pertama kali menamakan mereka “Pahlawan Reformasi” sebagai tanda berkabung.
Seakan-akan sudah diskenariokan, hari-hari berikutnya terjadi kerusuhan besar di Jakarta. Kerusuhan yang menyisakan luka batin berkepanjangan hingga saat ini ketika ketidakadilan bagi para korban tidak pernah ada. Sementara pihak yang bertanggung jawab atas kerusuhan itu kini tampil sebagai orang tidak bersalah. Inilah sisa-sisa Tragedi 13-15 Mei 1998 yang hari-hari ini dikenang kembali oleh Solidaritas Nusa Bangsa dan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras).
Gelombang aksi mahasiswa kemudian membesar pada 18 Mei 1998 dengan sasaran gedung DPR/MPR. Menhankam/ Pangab Jenderal Wiranto saat itu memerintahkan anak buahnya untuk bersiaga menghadang para mahasiswa. Desakan yang menguat membuat Ketua DPR Harmoko meminta Soeharto secara arif dan bijaksana mengundurkan diri. Permintaan Harmoko ini membuat Soeharto merasa dibohongi.
Pergulatan politik elite politik saat itu pun terus bergulir detik demi detik. Salah satu pukulan telak kepada Soeharto adalah penolakan 14 Menteri Kabinet Pembangunan VII untuk bergabung dalam Kabinet Reformasi yang ingin dibentuk Soeharto, pada 20 Mei malam.
Kini, tidak sedikit mantan aktivis dan mantan mahasiswa 1998 yang mengambil keuntungan dengan situasi setelah Soeharto jatuh. Ada yang bergabung dengan parpol dan menjadi legislatif, komisaris di sejumlah BUMN, wiraswasta, maupun yang profesional. Tapi ada juga yang masih konsisten dalam menjaga nilai-nilai perjuangan dan memilih untuk terjun langsung mendampingi masyarakat. Pilihan tersebut adalah hak setiap orang, tetapi tanpa disadari reformasi tidak saja dibajak para elite, tetapi juga oleh mereka yang pernah bersuara lantang ketika menjadi mahasiswa. Mudah-mudahan, masih ada harapan untuk mengangkat kembali gerakan moral mahasiswa ketika rakyat terus dililit penderitaan saat ini. Apalagi, kooptasi, hegemoni dan hedonisme yang begitu kuat melingkari kehidupan mahasiswa sekarang.* (Suara Pembaruan – 15/5/08)