Idul Adha dan Natal — Relasi Harmonis Muslim-Kristen
Catatan: Dalam sebuah ulasan di Tabloid Reformata Edisi 73 yang belum lama terbit, diceritakan mengenai pengusiran Pendeta Bedali Hulu dari kompleks perumahan dimana mereka tinggal, Perumahan Sepatan, Tangerang, Banten pada November 2007. Hal itu dilakukan oleh massa sebuah organisasi massa. Semoga tulisan berikut ini bisa menjadi pencerahan, agar hal-hal seperti itu tidak terjadi lagi di bumi Indonesia tercinta. Simak dan semoga kita semua bisa mendapatkan pelajaran dari tulisan Yenny Wahid berikut ini.
—————————————
Idul Adha dan Natal
Relasi Harmonis Muslim-Kristen
Oleh Yenny Zannuba Wahid
Tahun ini umat Muslim dan umat Kristiani akan merayakan hari raya dalam waktu yang berdekatan. Idul Adha akan dirayakan empat hari sebelum perayaan Natal. Realitas dua hari besar agama yang hampir bersamaan ini mesti menjadi satu momentum untuk menerjemahkan ajaran toleransi dalam konteks kebangsaan.
Idul Adha adalah hari besar agama kedua umat Muslim setelah Idul Fitri, yang lazim disebut dengan Hari Raya Kurban. Kurban sendiri berarti persembahan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Itu dalam bentuk atau wujud sesuatu yang bagi si pelaku dirasa sebagai yang paling disenangi, atau paling dihargai. Semakin tinggi nilai pengorbanan seseorang, semakin dekat pula pada keridhaan-Nya. Umumnya, kurban diwujudkan dalam menyembelih hewan ternak yang dagingnya kemudian dibagikan kepada mereka yang berhak mendapatkan, utamanya kaum papa yang miskin harta (al-mustadh’afun).
Secara garis besar bisa dikatakan, Idul Adha merupakan pelembagaan atas pengalaman spiritual agung dari bapak keyakinan Tauhid umat manusia, yakni Nabi Ibrahim. Dari beliau inilah diturunkan generasi para nabi yang kemudian mengajarkan keesaan Tuhan (baca: monoteisme) dalam tiga tradisi agama: Pertama, tradisi Yahudi yang diajarkan oleh Musa dengan kitab Tauratnya; Kedua, tradisi Kristiani yang diajarkan oleh Isa dengan kitab Injilnya; dan Ketiga, sebagai pamungkas, tradisi Islam yang diajarkan oleh Muhammad SAW dengan kitab al-Quran-nya.
Natal sendiri adalah perayaan atas kelahiran Yesus. Dalam perspektif umat Kristiani, Yesus dihormati sebagai Sang Penebus dosa. Umat Kristiani juga melihat pentingnya momen kelahiran Yesus. Dalam Perjanjian Baru disebutkan bahwa Yesus lahir di sebuah kandang. Orang tuanya, Maria dan Yusuf, termasuk kalangan rakyat jelata dan hidup sederhana (Injil Lukas, 2: 4-7). Di sini, makna Natal sesungguhnya tersimpan. Yakni ajakan untuk hidup bersahaja dan rasa solidaritas tinggi terhadap kaum miskin dan lemah; terutama dalam rangka berbuat-baik, tidak berkeras hati, dan selalu berpihak pada orang kecil, serta tidak memberi ruang pada kebencian.
Dalam literatur Islam, Yesus adalah Nabi Isa yang merupakan satu di antara sekian Nabi yang mesti diimani umat Muslim. Seorang Muslim tidak akan dikatakan sebagai seorang Muslim yang sempurna bila ia tidak mengakui keberadaan dan ajarannya. Iman kepada Nabi Isa merupakan salah satu pilar rukun iman yang sangat fundamental. Beliau juga termasuk satu dari lima nabi yang bergelar ulul ‘azmi, (berpendirian teguh), selain Nabi Adam, Nabi Musa, Nabi Ibrahim, dan Nabi Muhammad. Betapa tinggi kedudukan Yesus dalam Islam, sampai-sampai al-Quran sendiri menganjurkan umat Islam untuk mengucap salam kesejahteraan (baca: selamat Natal) pada hari kelahirannya.
Dari sini bisa disimpulkan, hubungan ketiga agama besar ini sangatlah intim. Bagaimana tidak, tiga agama terlahir dari satu rahim yang sama. Idealnya, kedekatan geneologis ini berimbas pada praktik keseharian antar-penganutnya di mana tumbuh iklim saling menghargai dan toleransi; dan lebih luas lagi, pada keharmonisan dalam konteks kehidupan keberagamaan di negeri tercinta ini.
Faktanya, keberagamaan kita seringkali dilanda konflik dan ketegangan. Alih-alih mengakui keyakinan agama lain, menghormati tempat-tempat ibadah agama lain saja susah dilakukan. Bahkan tak jarang tindak intimidasi dan kekerasan dilakukan. Bukan toleransi yang kemudian nampak, tapi justru intoleransi.
Padahal, praktik toleransi dan sikap penghargaan terhadap non-Muslim sebenarnya memiliki akar historis dalam sejarah perjalanan Islam. Baik pada zaman Nabi, sahabat, tabi’in, maupun ulama-ulama mutakhir. Dikisahkan oleh Ibnu Hisyam, Nabi Muhammad pernah menerima kunjungan delegasi Kristiani dari Provinsi Najran sebanyak 60 orang dengan dikepalai oleh al-‘Aqib Abdul Masih, al-Ayham, dan Abu Haritsah ibn ‘Alqamah. Mereka semua memakai jubah dan surban, pakaian yang juga biasa dikenakan Nabi dan para sahabatnya. Sesampai tiba di Madinah mereka langsung menuju masjid. Saat itu, Nabi tengah mengerjakan shalat Ashar bersama beberapa sahabat. Dan ketika waktu kebaktian tiba, Nabi memperkenankan mereka untuk melakukan sembahyang di dalam masjid.
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah mengkisahkan bahwa Nabi menegur istri tercinta Aisyah agar tidak bersikap kasar terhadap orang yang berbeda agama. Itu ketika suatu ketika rombongan Yahudi lewat di depan Nabi dan para sahabat. Tiba-tiba seorang dari mereka mengucap salam kebencian, dan ‘Aisyah pun langsung membalas dengan salam serupa. Mendengar ucapan istrinya, Nabi kemudian berkata: Wahai Aisyah, kamu hendaknya bersikap lemah lembut dan mengutamakan kasih dalam pelbagai perkara
Sikap yang sama diperlihatkan kalangan Kristiani. Dikisahkah juga oleh Ibnu Hisyam, ketika umat Islam dikejar-kejar kaum kafir Quraisy Mekah, raja Abesinia yang Kristen memberi mereka jaminan keamanan dan perlindungan. Ratusan sahabat Nabi seperti Utsman bin Affan, Abu Hudzaifah bin ‘Utbah, Zubair bin Awwam, Abdurrahman bin ‘Auf, Abdullah ibn Jahsy, Ja’far bin Abi Thalib, secara bergelombang hijrah ke Abesinia untuk menghindari kekerasan kaum kafir Mekah. Bahkan saat kafir Makkah meminta raja Najasy untuk mengembalikan lagi umat Islam itu ke kota Mekah, sang raja tetap pada pendiriannya semula untuk melindungi pengikut agama Islam. Dalam konteks inilah surat al-Maidah ayat 82 diturunkan, “Sesungguhnya kamu akan jumpai yang paling dekat persahabatannya dengan orang- orang beriman adalah orang-orang yang berkata: Sesungguhnya kami ini orang-orang Kristiani”
Sahabat Nabi juga memberi kita teladan istimewa bagaimana semestinya bergaul dengan orang yang berbeda agama, terutama kaum Kristiani. Saat pasukan Khalifah Umar ibn Khattab pimpinan Abu Ubaidah al-Jarrah berhasil mengalahkan pasukan Romawi yang Kristiani dalam pertempuran Yarmuk di Elia (Jerusalem), dibuat satu kesepakatan damai antara kedua belah pihak. Isinya antara lain adalah jaminan Umar bahwa gereja mereka tidak akan diduduki ataupun dihancurkan, harta-benda mereka tidak akan dijarah, dan mereka diberi kebebasan untuk beraktivitas dan beragama menurut keyakinan mereka sendiri.
Beberapa kisah di atas sengaja penulis kemukakan untuk menunjukkan nuansa harmoni hubungan Islam dan Kristiani di zaman Nabi. Sikap saling menghargai dan toleransi sesama telah begitu gamblang diteladankan Nabi beserta sahabatnya, bahkan dalam praktik peribadatan sekalipun. Nabi telah mengukuhkan itu semua semenjak kehadiran Islam. Karena itu, tidak seharusnya curiga dan benci yang dikedepankan. Al-Quran sendiri tegas mengatakan, Hai orang-orang beriman, hendaklah suatu kaum tidak menghina kaum yang lain, karena bisa jadi mereka yang dihina lebih baik dari yang menghina (QS. al-Hujurat [49]: 11).
Memang, ada beberapa perbedaan antara ajaran Kristiani dan ajaran Islam. Tapi harus diakui pula bahwa terdapat persamaan-persamaan yang bisa dirajut bersama, terutama dalam hal menebarkan cinta-kasih kepada mereka yang lemah, kaum miskin. Dalam hal ini, Idul Adha dan Natal membagi pengalaman dan ajaran yang sangat berharga, bahwa untuk menebarkan kasih tersebut harus dimulai dari diri-sendiri, dari keluarga, sehingga dapat dijadikan teladan bagi umat yang lain.
Menurut Diana L Eck (2002), bahwa perjumpaan nilai dan budaya dalam agama-agama semestinya harus menjadi modal untuk mengembangkan asimilasi dan peleburan, terutama dalam rangka menjadikan perbedaan sebagai energi positif dalam konteks kebangsaan.
Berpijak dari sini, kehidupan keberagamaan mau tidak mau mesti diciptakan harmonis. Menebar kasih dan perdamaian dalam semangat toleransi adalah jalan terbaik menuju itu, sebagaimana inti ajaran Islam dan Kristiani sendiri. Maka dari itu, hari raya Idul Adha yang berdekatan dengan Hari Raya Natal tahun ini adalah momentum yang tepat untuk merealisasikannya. Sebab sejatinya kedua agama adalah saudara, lahir dari satu rahim yang sama, yakni Nabi Ibrahim yang mengesakan Tuhan. Apabila keharmonisan terwujud di antara pluralitas penghuni negeri ini, sangat pantas bila kita berandai-andai Indonesia di masa depan akan menjadi negeri yang harmoni, aman dan sejahtera, baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.
Penulis adalah Sekjen DPP PKB dan Direktur The Wahid Institute
Sumber: http://www.suarapembaruan.com/News/2007/12/21/index.html
——————————————————————————–
Last modified: 21/12/07