Watson, DNA, dan Rasisme
IRWAN JULIANTO
Nasib sial rupanya sedang menimpa James D Watson (79). Komentarnya tentang tingkat kecerdasan orang-orang Amerika keturunan Afrika yang lebih inferior dibandingkan warga Amerika lainnya bulan lalu menyulut kecaman dan kemarahan karena dinilai rasis. Akibatnya, ia dicopot dari jabatannya sebagai chancellor di Laboratorium Cold Spring Harbor di New York, salah satu lembaga riset dan pendidikan sains terbaik di dunia yang dibesarkannya sejak 43 tahun lalu.
Watson adalah penemu struktur molekuler DNA (asam deoksiribonukleat) pada kromosom yang berbentuk ulir ganda (double helix) bersama Francis Crick tahun 1953, yang mengantar mereka memperoleh hadiah Nobel Kedokteran tahun 1962. Mereka dijuluki pasangan ilmuwan yang “telah bergabung dengan Darwin dan Copernicus sebagai tokoh-tokoh abadi”. Temuan mereka dipuji sebagai pencapaian ilmu terbesar abad ke-20.
Setelah Crick wafat, Watson tinggal seorang diri sebagai the godfather of DNA, demikian puja-puji Charlotte Hunt-Grubbe, salah seorang murid Watson, dalam wawancara yang ditulisnya di The Sunday Times, London, 14 Oktober 2007.
Ternyata wawancara itu menjadi bumerang bagi Watson. Pernyataannya yang kontroversial itu persisnya begini, “Secara inheren, bagi saya prospek Afrika sungguh kelam karena seluruh kebijakan sosial kita didasarkan pada anggapan bahwa tingkat kecerdasan orang Afrika sama dengan kita, nyatanya semua hasil pengujian menunjukkan tidak demikian.”
Watson memang dikenal sebagai tokoh yang dikagumi, tetapi juga sering mengeluarkan komentar ceplas-ceplos. “Jika Anda memang benar-benar bodoh, saya akan menyebutnya sebagai penyakit,” katanya, seperti dikutip majalah New Scientist.
“Bagi 10 persen paling bawah yang benar-benar mengalami kesulitan belajar, bahkan di sekolah dasar, apa penyebabnya? Banyak orang akan mengatakan mungkin kemiskinan atau sejenisnya. Mungkin tidaklah demikian,” tambahnya.
Watson mencoba membantu warga kulit hitam yang tercecer dengan mendirikan sebuah pusat belajar DNA di perbatasan Harlem, New York. Namun, niatnya untuk merekrut lebih banyak asisten kulit hitam gagal karena, katanya, tak ada yang layak untuk direkrut.
Akibat wawancaranya yang menghebohkan di London tadi, rencananya untuk mempromosikan buku memoarnya yang terbaru, Avoid Boring People: Lessons from a Life in Science, di Inggris jadi berantakan. Ia menulis, “Tidak ada alasan yang meyakinkan bahwa kapasitas intelektual umat manusia yang terpisah secara geografis dalam evolusi mereka menunjukkan semua ras manusia berevolusi secara identik.”
Tak pelak lagi, James Watson adalah seorang penganut paham eugenics (secara harfiah artinya “baik ketika dilahirkan”), yang pertama kali diperkenalkan oleh Francis Galton pada 1883. Padahal, dalam bukunya yang berjudul DNA, The Secret of Life (2003), Watson menulis, “Eugenics dewasa ini adalah kata yang kotor karena diasosiasikan dengan rasisme dan Nazi—fase yang kelam dan paling ingin dilupakan dalam sejarah genetika”. Karena kekonyolannya, majalah The Economist edisi 10 November 2007 menyebut Watson telah membuat komentar bodoh yang mematikan kariernya tentang “seberapa jauh tingkat kecerdasan ras tertentu lebih
ditentukan oleh alam (nature) atau oleh pengasuhan/asupan makanan bergizi (nurture)”.
Seleksi alam
Walaupun Watson menyatakan penyesalannya, masih banyak warga kulit putih Amerika yang diam-diam tetap meyakini superioritas ras kulit putih dibandingkan dengan ras-ras kulit berwarna lainnya. Sejarah perbudakan, perang saudara, dan segregasi di Amerika masih menyisakan prasangka rasialisme hingga kini.
Buku The Bell Curve: Intelligence and Class Structure in American Life (1994) karya guru besar Universitas Harvard Richard Herrnstein dan Charles Murray, misalnya, menyatakan rata-rata uji IQ warga Amerika keturunan Afrika yang lebih rendah adalah akibat adanya faktor genetis dan bukan manifestasi faktor-faktor sosial.
Kontroversi terakhir adalah publikasi temuan riset Bruce Lahn (37), guru besar genetika manusia Universitas Chicago, di jurnal Science edisi September 2005. Menurut Lahn—ia sendiri imigran asal China—ukuran otak dan tingginya kecerdasan manusia dipengaruhi oleh seleksi alam dan perubahan genetis yang berlangsung selama ribuan tahun pada evolusi manusia. Perubahan itu terjadi dan menyebar secara luas di kalangan orang di benua Eropa, Asia, dan Amerika, tetapi kurang terjadi di kawasan Afrika
sub-Sahara.
Karena banyak dikecam sebagai promosi “rasialisme”, Lahn akhirnya tak melanjutkan risetnya lagi. Tak kurang dari koran International Herald Tribune (12/11/2007) menurunkan laporan di halaman 1 dengan judul “DNA Studies and Racism—Genetic Variance Fuels Speculation and Fears”, menyebut kontroversi riset Lahn dipergunjingkan di blog www.HalfSigma.com.
Menurut Dr Herawati Sudoyo, pakar genetika populasi Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, isu gen, ras, dan kecerdasan memang amat sensitif di Amerika. “Di Asia tidak terlalu sensitif. Saya sendiri yakin bahwa manusia itu pada dasarnya sama, tetapi kenyataannya memang ada variasi rasial,” tuturnya ketika dihubungi kemarin.
Contoh yang paling jelas adalah dalam hal metabolisme obat- obatan. Respons orang-orang Asia lebih jelek dibandingkan dengan orang kulit putih karena perbedaan kadar enzim sitokrom P450 untuk metabolisme obat. Agar obat-obatan yang diproduksi oleh industri farmasi Amerika dan Eropa tidak menumpuk jadi racun di hati orang-orang Asia dan Afrika, studi genetika populasi tetap perlu dilakukan.
“Bukan untuk soal rasialisme. Karena seleksi alam, ada gen-gen yang timbul pada kelompok manusia pemburu-peramu yang survive. Kini dengan perubahan gizi, gen itu jadi tidak baik sehingga sebagian kita jadi rentan terserang diabetes,” katanya.
Memang benar 99 persen genom atau DNA dua individu manusia sama, tak peduli apa pun rasnya. Namun, perbedaan 1 persen dari 3 miliar pasang basa DNA manusia tetap besar bagi keragaman umat manusia, termasuk kecerdasannya. (Kompas, 21 November 2007)
Terkait dengan artikel diatas, untuk kelengkapan informasi, saya sampaikan : Artikel dari The Associated Press tanggal 25 Oktober 2007 . Semoga bermanfaat.
Nobel laureate and lab part ways after racial comments
The Associated Press
Published: October 25, 2007
NEW YORK: James Watson, famous for DNA research but widely condemned for recent comments about the intelligence levels of Africans, retired Thursday from his post at a prestigious research institution.
Watson, 79, and the Cold Spring Harbor Laboratory in New York announced his departure a week after the lab suspended him. He was chancellor of the institution; his retirement took effect immediately.
Watson shared a Nobel Prize with Francis Crick and Maurice Wilkins in 1962 for co-discovering the structure of the DNA molecule. He is one of America’s most prominent scientists.
In his statement Thursday, Watson said that because of his age, his retirement was “more than overdue. The circumstances in which this transfer is occurring, however, are not those which I could ever have anticipated or desired.”
The laboratory said last week that its board had suspended Watson from his duties following his remarks to a British newspaper.
Today in Americas
“For over 40 years, Dr. Watson has made immeasurable contributions to the laboratory’s research and educational programs,” Eduardo Mestre, chairman of the board of the laboratory, said in a statement. He added: “The board respects his decision to retire at this point in his career.”
The laboratory’s statement announcing his resignation did not mention the controversy over Watson’s comments.
Watson, who has a long history of making provocative statements, ran into trouble last week for remarks he made in the Sunday Times Magazine of London.
A profile quoted him as saying that he’s “inherently gloomy about the prospect of Africa” because “all our social policies are based on the fact that their intelligence is the same as ours – whereas all the testing says not really.”
He said that while he hopes everyone is equal, “people who have to deal with black employees find this is not true.”
He also said people should not be discriminated against on the basis of color, because “there are many people of color who are very talented.”
In the aftermath of the published remarks, Watson told an audience in London: “To all those who have drawn the inference from my words that Africa, as a continent, is somehow genetically inferior, I can only apologize unreservedly.”
But by then, London’s Science Museum had canceled a sold-out lecture Watson was to give there, and London’s mayor had branded the comments “racist propaganda.”
In the United States, the Federation of American Scientists said Watson was promoting “personal prejudices that are racist, vicious and unsupported by science.” The Cold Spring Harbor lab said its board and administration “vehemently disagree with these statements and are bewildered and saddened if he indeed made such comments.”
Watson had served at the lab for nearly 40 years, having been named director in 1968. He was its president from 1994 to 2003.
In the years after he left Harvard to direct the laboratory, Watson transformed it from a small facility into a world-class institution prominent in research on cancer, plant biology, neuroscience and computational biology, the board said in announcing his retirement.
Bruce Stillman, who succeeded him as president, said Thursday that he had created an “unparalleled” research environment at the laboratory.
In his statement Thursday, Watson said, “As an educator, I have always striven to see that the fruits of the American Dream are available to all. I have been much blessed.”
He also referred to his Scots and Irish forebears, saying their lives were guided by faith in reason and social justice, “especially the need for those on top to help care for the less fortunate.