Quo Vadis Nias Pasca Bencana ?
Oleh Duman Wa’u
Catatan Redaksi: Tulisan ini adalah komentar tanggal 10 Januari 2007 terhadap tulisan “Gejolak Perubahan dalam Masyarakat sebagai Konsekuensi Bencana Alam”.
Benar bahwa sedang terjadi perubahan besar di Nias dan setidaknya hingga tahun 2009 karena secara resmi BRR akan habis masa tugasnya dan yang kedua banyak ornop (organisasi non pemerintah) atau justru yang lebih dikenal dengan istilah NGO di Nias juga akan mengakhiri masa tugasnya dan biasanya ini NGO-NGO internasional. Mungkinlah sebagian akan tetap tinggal.
Concern kita (yang saya maksud kita adalah saya dan teman2 di LPAM) saat ini adalah pertama seperti yang disinggung di atas adalah pelibatan masyarakat dan yang kedua adalah paska fase rekonstruksi. Di saat ini saja benar bahwa ada semacam ‘economy booming’ bagi masyarakat Nias. Tetapi jangan lupa bahwa itu hanya di daerah perkotaan dan daerah-daerah yang direkonstruksi. Sedikit saja agak ke kampung-kampung apalagi ke desa yang tidak terlibat dalam proses rekonstruksi ini, persoalan kemudian menjadi tidak sederhana karena tidak adanya peningkatan pendapatan sementara di saat yang sama harga-harga jauh lebih mahal. Hampir semua barang. Jauh lebih mahal hidup di Nias daripada di Medan misalnya. Bener..
Dalam tahapan rekonstruksi ini juga ada yang janggal walaupun kemudian BRR telah mengumumkan akan merubah strateginya. Pendekatan yang aneh itu adalah tidak adanya pelibatan masyarakat yang intens. Mohon maaf, kalau ada pelaku program – menurut istiliah Ibu Noni ‘project’- yang mengatakan masyarakat tidak tahu apa-apa, sebaiknya dipikir ulanglah opini seperti itu. Pengalaman kita di LPAM, justru meyakinkan kita bahwa pemahaman lokal atau istilah bahasa Inggrisnya ‘local wisdom atau local knowledge’ sangat luar biasa. Ada hal-hal yang di luar perkiraan kita yang kemudian ketika didiskusikan dengan masyarakat desa lewat orahu atau pertemuan desa,atau dalam diskusi-diskusi dengan mereka, justru sebenarnya ide-ide mereka jauh lebih cerdas dari kita.
Kedua, pasca fase rekonstruksi. Ada dua asumsi. Pertama adalah snow ball effect dari fase rekonstruksi ini berlanjut dengan asumsi bahwa ada kemandirian ekonomi dan pertumbuhan ekonomi yang baik dan berkelanjutan. Artinya selama beberapa tahun ini (3 tahun kurang lebih) bisa mendorong pertumbahan ekonomi yang harapannya kemudian bisa sustainable (berkesinambungan). Kalau ini yang terjadi dan tentu saja boleh berharap seperti ini, ini menjadi sesuatu yang positif. Tetapi kalau asumsi yang kedua terjadi; asumsi kedua adalah berkurang drastisnya perputaran ekonomi di Nias paska rekonstruksi, masalah baru akan bermunculan bak ombak laut, akan muncul silih berganti. Yang akan terjadi adalah gap (perbedaan) antara yang kaya dan miskin yang semakin besar. Artinya, persoalan-persoalan sosial, ekonomi, budaya akan muncul; seperti tingkat kriminalitas, kecemburuan sosial dan lain sebagainya. Di bidang lingkungan, kita berasumsi bahwa akan ada bencana ekologis baru yang lebih dahsyat karena penebangan kayu yang tidak digantikan (re-planting) dan kerusakan ekologis lainnya; pengambilan bahan-bahan bangunan yang melebihi batas.
Tentu kita berharap ini bahwa asumsi kedua bisa diminimalisir walaupun fenomena yang terjadi lebih cendrung ke asumsi ke dua ini.
Jujurnya, kita juga beranggapan bahwa BRR itu memiliki peranan yang sangat signifikan dalam melakukan perubahan di Nias; terlepas apakah perubahan itu akan membawa ke arah yang positif atau justru akan menjadi malapetaka berikutnya. Sekali lagi memang, kita berharap bahwa dengan project yang ditangani oleh BRR dan ornop bisa membawa kebaikan buat Nias dengan catatan bahwa project atau program yang dilaksanakan itu berdasarkan konsultasi dengan masyarakat (community consultation). Kalau tidak, itu tidak akan jauh beda dengan program-program pemerintah yang salah arah dan tidak mengakar yang terjadi sebelum-sebelumnya (mungkin juga sekarang masih..)
Jadi sekali lagi barangkali pertanyaannya adalah “Quo Vadis Nias Pasca Bencana?â€