Lindungi Bahasa Daerah dengan Payung Hukum
[SEMARANG] Payung hukum baik berupa undang-undang maupun perda sangat penting untuk melindungi bahasa daerah dari ancaman kepunahan akibat gempuran arus globalisasi. Payung hukum itu bersifat mengikat, karena berisikan langkah-langkah kebijakan yang bersifat teknis sehingga memudahkan sosialisasi kepada masyarakat, terutama melalui pendidikan formal.Ketua Persatuan Pedalangan Indonesia (Pedadi) Jawa Tengah, Soetadi kepada wartawan di arena konggres bahasa Jawa (KBJ) IV 2006 di Semarang, Selasa (12/9). “Dengan adanya payung hukum berupa perda, dukungan dana untuk program pelestarian dan pengembangan bahasa maupun budaya akan lebih kuat,” tegas Soetadi yang juga ketua panitia pengarah KBJ IV.
Sebelumnya, Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Sudibyo menyebutkan, sebanyak 726 bahasa daerah di Indonesia terancam dengan globalisasi dan perkembangan teknologi. Karena itu, tanpa ada upaya memperbanyak kosa kata sesuai dengan perkembangan zaman dan teknologi sesuai tuntutan masyarakat penuturnya, bahasa-bahasa daerah tersebut, sulit berkembang, bahkan bisa punah.
Hal diungkapkan Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas), Bambang Sudibyo, ketika mewakili Presiden membuka Kongres Bahasa Jawa (KBJ) IV 2006, di Semarang, Jawa Tengah, Senin (11/9). Menurut Mendiknas, agar bahasa daerah tidak semakin tenggelam di tengah arus perubahan kehidupan masyarakat penuturnya, kosa katanya harus diperbanyak (Pembaruan,12/9).
Malu
Soetadi mengatakan, gempuran arus globalisasi membuat bahasa daerah menjadi terpinggirkan. Banyak anak muda yang tidak lagi mau menggunakan bahasa daerahnya, atau bahasa ibunya dalam pergaulan sehari-hari. Banyak yang malu dinilai kampungan, karena masih menggunakan bahasa ibu.
“Di Jawa, kondisi ini pun terjadi, banyak anak muda sekarang yang malu, karena takut dibilang ndeso (kampungan), karena menggunakan bahasa Jawa. Sebab, banyak anak muda yang merasa lebih keren jika bicara pakai bahasa Inggris, atau bahasa gaul, yang dicampur-campur antara bahasa Inggris, bahasa Indonesia dengan dialek khas Jakarta. Mereka merasa lebih elite dan bergengsi, dari pada pakai bahasa Jawa,” ujarnya.
Senada dengan itu, Kepala Kantor Bahasa Pemprov Kalimantan Timur (Kaltim), Drs Pardi Suratno MHum, yang tampil sebagai salah seorang pemakalah dalam konggres tersebut bahkan berpendapat, jika kondisi bahasa Jawa saat ini, khususnya di provinsi dengan penutur terbesar, yakni Jawa Timur, Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta, dalam kondisi sakit. Dinilai sakit, karena banyak anak muda yang tak lagi percaya diri menggunakan bahasa ibunya.
“Bagaimana mungkin bahasa Jawa bisa lestari, kalau para penuturnya saja mulai enggan menggunakannya,” tukas Pardi.
Dia justru menyebut contoh yang terjadi pada komunitas masyarakat pendatang Jawa di Kaltim bersemangat melestarikan budaya dan bahasa Jawa.
Komunitas pendatang Jawa di daerah itu, kata Pardi, telah memiliki wadah Ikatan Paguyuban Keluarga Tanah Jawi (Ika Pakarti), sebuah wadah komunitas Jawa untuk melestarikan dan membina bahasa Jawa.
Di sana ada delapan radio komunitas yang khusus menyiarkan program bahasa dan budaya Jawa, serta sebuah televisi lokal, yakni Daya TV yang rutin seminggu sekali menyiarkan acara campur-sari dan kesenian wayang kulit. Bahkan organisasi ini juga merencanakan membangun lembaga kebudayaan Jawa.
Menurut Soetadi, apa yang terjadi pada masyarakat Jawa di luar Jawa, seperti di Kaltim, daerah lain atau bahkan di luar negeri seperti Suriname, yang semangat dalam melestarikan bahasa dan budaya Jawa, patut ditiru oleh komunitas Jawa yang justru hidup di Tanah Jawa.
“Semangat semacam itu memang dilandasi pengalaman nostalgia terhadap leluhur dan nenek moyang, namun justru hal semacam ini yang perlu dijaga agar semangat melestarikan bahasa dan budaya Jawa itu tidak pernah luntur,” tegas Soetadi. [142]
Sumber: Suara Pembaruan Online, 13 September 2006