Pemerintahan Asli Suku Nias (Bagian II)
Seperti diterangkan di bagian pertama tulisan ini, daerah Fondrakõ itu terdiri dari beberapa kampung atau desa, yang disebut banua yang di dalamnya bergabung beberapa banua hada (desa adat) yang masing-masing mempunyai sanuhe dan stafnya. Para yang dituakan dari masing-masing kampung tadi menghimpun tua-tua kampungnya dan melaksanakan pula fondrakõ itu di dalam kampungnya. Fondrakõ ini di sebut Fondrakõ ba Mbalõ Mbanua.
Karena di dalam kampung atau desa tadi telah ada beberapa banua hada, maka masing-masing banua hada melaksanakan pula pengumuman dan pelaksanaan fondrakõ itu dalam kelompok masing-masing, inilah yang disebut Fondrakõ Barõ Nadu.
Ada kalanya orang-orang yang serumpun tetapi tidak se-banua hada, mempererat persaudaraan / pertalian kekeluargaan mereka dengan melakukan perpakatan fondrakõ yang disebut Fondrakõ ba Ngafu yang turut dihadiri oleh para fadono (semenda) dan famili terdekat.
Keturunan dari orang yang memancangkan fondrakõ itu pada pertama kalinya yang meneruskan pelaksanaan fondrakõ itu di kemudian hari.
Bila di kemudian hari dirasa perlu meninjau beberapa materi Fondrakõ misalnya karena terjadi bala, maka merupakan keharusan bagi keturunan pemancang Fondrakõ itu melakukan musyawarah untuk melaksanakan Manotou Fondrakõ. Dan apabila nilai-nilai hukum yang telah dipatok sanksinya terlalu berat, maka diadakanlah peninjauan yang disebut Mombuwu (melonggarkan, memgurangi – Red).
Perlu kiranya diterangkan bahwa Fondrakõ Ono Niha berlandaskan lima dasar utama yaitu:
1. Fo’adu – Pemujaan patung
2. Fangaso Fa’ehowu – Pemilikan harta terberkati
3. Fo’õlõ’õlõ – pembudidayaan keindahan (kesenian)
4. Fobarahao – urusan kemasyarakatan
5. Bõwõ masimasi – hubungan dalam pengasihan
Pelaksanaan dasar yang lima itulah yang dihukumkan dan menjadi ketentuan – ketentuan yang wajib dita’ati oleh seluruh warga, dan ancaman-ancaman hukum yang bersifat sakral dan nyata turut diserukan dan diumumkan, dibarengi dengan pelaksanaan ritusnya.
Pengumuman ancaman/sanksi yang sifatnya sakral itu adalah sebagai berikut. Pada suatu lapangan tempat melaksanakan musyawarah Fondrakõ itu dipersiapkan:
a. Sebuah unggun api, yang terdiri dari kayu diho semata-mata; lebar, tinggi dan panjangnya masing-masing 5 hasta.
b. Sebuah patung berkala Fondrakõ yang diperbuat dari kayu Esõni yang disebut Golu Wondrakõ. Di hadapan berhala ini, didirikan sebuah tonggak batu yang menyerupai meja bundar; di atas bundaran itu diletakan sebuah piring / pinggan besar, yang disebut Figa Lame. Di atas pinggan ini, diletakkan:
• Lauru (kulak) yang telah ditetapkan sebagai contoh bagi seluruh daerah itu.
• Di dalam lauru, ditegakkan afore dan digantungkan Fali’era (timbangan) bersama-sama saga ni’omanumanu dan saga bua geu serta balõ gondrekhata.
• Di dalam bulatan yang terpegang oleh Siraha Golu Wondrakõ, diletakkan hamo-hamo gana’a (emas yang menyerupai pasir / abu, hasil dari pengikiran, bulu surai babi yang dipotong sebagai sesajen dengan segala isi rongga dada babi (hati, jantung, paru-paru, limpa dan buah pinggang).
• Seperangkat lengkapan sirih (sirih, pinang, gambir, kapur dan tembakau).
c. Di sebelah kiri unggun, dipancangkan sebuah patung berhala lain, yang dibuat dari sebatang jelatang yang masih hidup, yang disebut Siraha Lato. Pada batang patung berhala jelatang ini, diikatkan:
– 9 batang lidi kelapa bekas serangan halilintar
– 1 buah mayang kelapa yang masih kuncup
– 1 ekor ayam jantan berbulu hitam/merah
– 1 ekor anjing jantan berbulu hitam/merah
– 1 buah kapak yang panjangnya sejengkal
Setelah siap seluruhnya, maka imam (ere) fondrakõ mengumumkan semua apa yang telah ditetapkan sambil memukul fondrahi (sejenis tambur) sambil berseru:
Mi’erõnu ono wobanua,
mi’erõnu ono mbarahao,
yae mege goroisa langi,
yae mege goroisa luo,
oroisa lowalangi ba ndrege,
oroisa lowalangi luo zaho,
oroisa fangazõngazõkhi,
oroisa fangehangehao
…. dst.
Selanjutnya ia menjejerkan segala hukum, segala ukuran, segala takaran, hubungan antar manusia, cara memiliki harta dan lain sebagainya.
Kemudian ulama Fondrakõ mengucapkan hukuman-hukuman bagi pelanggar, sebagai berikut:
Bõi gõ manawõ Fondrakõ: haniha zanawõ, ya afatõ waha
Bõi gõ sumui wondrakõ: haniha zanui, ya ateu mbagi
Bõi nõnõ wondrakõ: haniha zonõnõ, ya asila dõdõ, ya aboto dalu
Bõi alõsi wondrakõ: haniha zangalõsi, ya asila hulu ya aeru waha
Bõi r’au dan bõi osilõ’õgõ wondrakõ: haniha zondra’u ba sangosilõ’õgõ fondrakõ, ba danõ lõ mowa’a, ya lõ molehe ba mbanua, aetu nungo gõtõ-gõtõ, ya gõ mate lõ lewatõ, ya si taya lõ mila zau
Terjemahan bebas dari Redaksi:
Jangan melanggar fondrakõ (hukum adat) – yang melanggar semoga patah pahanya
Jangan membelakangi / menyepelekan fondrakõ – siapa yang menyepelekan semoga lehernya putus
Jangan menambah fondrakõ – yang menambah semoga terbelah jantungnya, semoga pecah perutnya
Jangan mengurangi fondrakõ – siapa yang mengurangi semoga punggungnya terbelah, semoga pahanya mengecil
Jangan menyangkal fondrakõ – siapa yang menyangkal semoga tak berakar di bumi, tak bertunas di langit, putus keturunannya, mati tiada berkubur, hilang tak berkabar.
(bersambung)
Sumber: Buku Sejarah Perjuangan Masyarakat Nias (1987)
Artikel ini sangat menarik kita tau.Cuman kami kurang paham aja pada point tentang Larangan – larangan yang di terapkan para ulama Fondrako di mana di sini ada Suatu penghakiman tentang Ono Mbanua yang melanggar aturan2 itu.Bisa di katakan Pihak Ulama Fondrako sudah mengambil Kuasa Tuhan.Nah yang bisa kami tanyakan adalah :
@.apakah Larangan – larangan itu sudah terbukti pada waktu itu..?
@.pada saat sekarang itu Larangan itu masih berlaku gak sich..?
terima kasih
salam dari kami
Berkat Jaya Lase,AM,d