Menghadang Golongan Putih*

Monday, March 2, 2009
By nias

Oleh Erix Hutasoit**

GOLONGAN PUTIH (GOLPUT) belakangan ini menjadi topik obrolan yang paling seru. Topik ini dibahas habis-habisan mulai orang gedongan sampai yang kampungan, dari orang yang paling alim sampai yang paling berdosa. Siapa saja menjadi merasa tidak sah, kalau tidak mengutip langgam golput., baik cuma sekadar berkomentar, mengamati atau sampai yang paling berat: memberikan analisis yang canggih-canggih.

Tiba giliran kita untuk mendiskusikan topik hangat ini. Menurut saya, memahami fenomena golput, tidak bisa lagi an sich merujuk gerakan golput di tahun 1972. Itu sebabnya saya memulai diskusi ini dengan mengajukan tesis: “ golput pasca 1999 agak berbeda dengan golput 1972”.

Untuk mensistematiskan diskusi, saya membagi naskah menjadi empat bagian: (1) Analisis 1968-1997; (2) Analisis 1999-2009; (3) Perbandingan; dan (4) Penutup.

(1) Analisis 1968-1997.

Oktober 1974, sebuah artikel bertajuk Teka-teki Sekitar Garis Keturunan Soerhato diluncurkan majalah POP. Rey Hanityo si pemimpin redaksi cum penanggung jawab POP, pede kalau artikelnya akan baik-baik saja. Musababnya POP punya setumpuk fakta. ”…dari sumber yang bisa dapat dipercaya,” kata Hanityo[1].

Rupanya perhitungan Hanityo meleset. Soeharto murka minta ampun. Soeharto merasa nama baik pribadi, keluarga dan leluhurnya dirugikan artikel itu. Hanityo diseret kepengadilan.

JENDERAL BESAR H.M Soeharto, Presiden Republik Indonesia ke-2. Soeharto naik tahta menjadi kepala republik ditahun 1968. Ketua MPRS, Jenderal Abdul Haris Nasution memahkotai Soeharto , setelah pidato Soekarno, Nawaksara, gagal menyelamatkan kekuasaanya. Dalam sejarah Indonesia, Soeharto dicatat sebagai presiden yang pernah “gemilang” dibidang ekonomi, sekaligus terkejam dibidang politik dan hak Asasi manusia (HAM).

Selama 32 tahun, Soeharto membangun sebuah tirani kekuasaan di Indonesia. Sebuah tirani yang bertumpu pada logika ideologi yang oleh Vedy R Hadiz[3] disebut: ”perampokan sumber daya publik untuk kepentingan pribadi atau kelompok.” Ideologi ini dicirikan dengan[4]:

  1. Orde Baru (Orba) dikenal sebagai jaringan patronase yang berpusat di Cendana dan menyebar-meluas dari mulai ibukota, provinsi sampai ke desa dan dusun.
  2. Merupakan sistem penguasaan dan kontrol atas masyarakat lewat praktek disorganisasi di semua aspek kehidupan.
  3. Merupakan oligarki (komplotan atau persekongkolan sekelompok orang) kapitalis yang menguasai aparatus negara dan sumber daya publik[5].
  4. Kekuasaan bertumpu pada birokrasi militer sebagai perwujudan negara otoriter birokratis[6].

Di tahun 1968, setelah naik menjadi presiden, Soeharto diharapkan membawa angin segar untuk demokrasi. Para pendukung gerakan demokrasi mulai terkejut-kejut ketika pada akhir 1960-an Soeharto menolak permintaan rehabilitasi dua partai yang dulu dilarang, Masyumi dan PSI[7].

Pemilihan umum pertama (pasca Soekarno) terselenggara pada 1972. Sebanyak 10 partai ikut serta. Dua partai yang dicekal Soekarno, membentuk partai baru. Masyumi misalnya, membentuk Partai Muslim Indonesia (Parmusi) sebagai partai barunya. Hanya saja Orba melarang Moh. Natsir sebagai ketua Parmusi. Pelarangan ini dimaksudkan untuk mencekal Moh. Natsir kembali “bermain” digelanggang politik[8].

Soeharto kemudian mengembangkan trilogi pembangunan: pertumbuhan ekonomi-stabilitaspolitik-pemerataan kesejahteraan. Konsep ini menegaskan jalan pembangunan (Orba) yang pro ekonomi pasar[9]. Orba percaya bahwa pertumbuhan ekonomi akan membawa kesejahteraan jika diikuti stabilisasi politik. Untuk memastikan stabiliasi terjadi, maka tugas itu diberikan kepada militer.

Menurut Arief Budiman, pada awalnya konsep trilogi pembangunan ini dapat diterima rakyat. Pemulihan ekonomi menjadi prioritas yang dianggap lebih penting pada masa itu. Sehingga pilihan memberikan Soerhato kesempatan bekerja dianggap sebagai pilihan terbaik.

Walau kondisi ekonomi cukup stabil, namun dalam kurun waktu 1970-1974 terjadi beberapa kali aksi menentang Soeharto seperti: Demonstrasi Mahasiswa Menggugat (1970), Komite Anti Korupsi (1970), dan gerakan anti TMII. Ketiga demonstrasi itu bertemakan anti korupsi. Sedangkan ditahun 1971 terjadi demonstrasi golongan golput yang menentang undang-undang pemilihan umum yang baru.

Pada tahun 1974 terjadi demonstrasi besar yang sering dikenal dengan peristiwa Malari. Demonstrasi yang berujung kerusuhan itu digelar untuk menentang kedatangan Perdana Menteri Jepang, Mr.Tanaka. Produk Jepang yang membanjiri Indonesia dianggap sebagai bentuk intervensi asing terhadap perekonomian Indonesia.

Pasca Malari, sikap Soeharto semakin anti demokrasi. Aksi-aksi massa yang biasanya dihadapi “cukup” baik, kemudian berubah menjadi todongan senapan. Kampus ITB tahun 1978 diduduki tentara karena aksi-aksi penolakan terhadap Orba kerap digelar di sini.

Di atas tahun 1974 sikap politik Soeharto semakin tidak mengenal istilah kompromi. Partai politik kemudian dirampingkan menjadi tiga : Golkar, PDI dan PPP. Anggota partai politik dikenakan penelitian lingkungan (litsus), organisasi politik dilarang mempunyai cabang organisasi di tingkat kecamatan dan desa. Militer melakuan penangkapan-penangkapan kepada siapa saja yang dianggap merongrong kepemimpinan Soeharto.

Orba lantas mengembangkan konsep yang disebut Negara Kekeluargaan. Konsep ini menempatkan negara sebagai kepala keluarga atau “bapak” dan warga sebagai “anak-anaknya”. Warga tidak dibiarkan punya kekuasaan penuh. Ini akan menjadi anarki, karena mereka masih anak-anak (masih bodoh), belum tahu apa yang paling baik bagi mereka. Pengetahuan ini hanya dimiliki oleh sang bapak. Bapaklah yang paling mengetahui apa yang dibutuhkan oleh anak-anaknya. Sang bapak dalam setiap kesempatan terus mengingatkan pentingnya stabilitas politik untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Kita tidak boleh banyak bertikai. Mari satukan langkah dalam derap pembangunan ekonomi. Kalau ada yang tidak sederap, dia itu adalah orang yang mau menyabotase pembangunan. Dia adalah musuh rakyat. Termasuk orang-orang yang selalu bicara soal hak asasi manusia. Bukan karena pemerintah anti hak asasi manusia, tapi dalam era pembangunan ini hak tersebut hendaknya tidak terlalu diutamakan. Katanya[10].

Politik tangan besi Orba membuat rasa aman dan kebebasan menjadi harga yang mahal. Perlawanan-perlawanan mulai bermunculan. Begitu pula tidakan kekerasan militer terjadi dibanyak tempat untuk menghancurkan perlawanan itu. Namun perlawanan laten yang sulit “dihancurkan” Orba adalah golongan putih. Setiap tahun angka golput meningkat, namun Orba tidak begitu perduli dan mengganggap hasil pemilu sebagai hasil demokrasi. Itulah sebabnya demokrasi yang berlangsung di masa Orba disebut pseudo democracy (demokrasi bayang-bayang).

Sampai titik ini saya menyimpulkan bahwa gerakan golput yang bermula di tahun 1971 lebih didasari keinginan untuk memilih “bebas”. Aksi-aksi kekerasan militerisme yang dijalankan Orba dianggap sebagai anti demokrasi. Persoalan kebebasan baik dalam menentukan pilihan maupun dalam keterlibatan dalam politik, lebih menjadi alasan orang untuk golput pada masa itu.

(2) Analisis Periode 1999-2009.

21 Mei 1998, Soeharto muncul di televisi. Suasana hatinya tidak gembira, raut wajah tuanya menyiratkan kesedihan. Sore itu Soeharto mengundurkan diri dari jabatan presiden. Indonesia resmi memasuki transisi demokrasi.

Menurut saya, golput pasca Soeharto lahir dari ironi transisi demokrasi itu. Pada masa awal reformasi, rakyat meletakkan harapan perubahan nasib kepada demokrasi[11]. Demokrasi akan membawa keadilan dan kesejahteraan. Runtuhnya rejim Soerhato dianggap sebagai pertanda keadilan dan kesejahteraan itu akan datang ke Indonesia[12].

Namun fakta berkata lain. Sampai awal tahun 2009, kesejahteraan rakyat tidak kunjung membaik. Diperkirakan dari 100 orang penduduk Indonesia, 15 orang adalah penduduk miskin. Atau secara total ada 35.000.000 penduduk miskin menurut perhitungan Badan Pusat Statistik tahun 2008[13]. Tetapi data BPS menunjukkan, angka tersebut kira-kira hanya selisih 100.000 jiwa dibandingkan jumlah penduduk miskin tahun 2004, padahal saat itu dana pemerintah untuk pengentasan kemiskinan sekitar Rp 19 triliun. Kini dana penanggulangan kemiskinan mencapai sekitar empat kali lipat[14].

Di sektor angkatan kerja, dominasi tingkat pendidikan angkatan kerja di Indonesia dikuasai tamatan Sekolah Dasar (39,363,023 jiwa), SLTP (19,396,319), SLTA umum (19, 899, 839) SLTA kejuruan (6, 708, 693), Diploma (2,660, 606) dan Universitas (3, 769, 002) [15]. Angka-angka ini menjadi indikasi pelayanan publik disektor pendidikan masih rendah. Banyak angkatan kerja yang putus sekolah, dan umumnya disebabkan faktor biaya sekolah yang tinggi.

Dari hasil survey kuantitatif Lingkaran Survey Indonesia (LSI) pada Mei 2008, ditemukan tingginya angka ketidakpuasan terhadap kondisi ekonomi. Sekitar 46.12 persen responden menyatakan kondisi ekonomi sangat buruk dan hanya 13.26 persen yang menyatakan baik. 55.9 persen responden laki-laki menganggap kondisi ekonomi sangat buruk, sedangkan responden perempuan lebih tinggi, 57.7 persen[16].

Lantas apa yang membuat ini bisa terjadi? Menurut saya hal-hal diatas disebabkan karena demokrasi Indonesia masih dipratekkan pada level yang rendah (terbatas). Level yang hanya sebatas itu berkutat pada prosedural dan formalitas semata sehingga menjadi ironi[17].

Menurut saya, rendahnya level demokrasi di Indonesia disebabkan proses transisi demokrasi yang terjadi, terlalu dipengaruhi pemikiran Adam Przeworksi lewat Sustainable Democracy (1996). Menurut Przeworksi, demokrasi akan stabil jika negara yang mengalami transisi demokrasi mengintegrasikan diri ke sistem ekonomi dunia. Caranya: meniru ekonomi, politik dan pola kebudayaan di negara-negara maju. Pemikiran ini terkenal sebagai startegi modernization via internationalization.

Jejak pemikiran Przeworski itu, bisa terlacak jelas dari strategi politik-ekonomi yang dijalankan para Presiden Indonesia pasca Soeharto. Gus Dur, Megawati sampai Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengikuti mantra liberalisasi di bidang politik maupun ekonomi. Pada bidang politik liberalisasi ditandai dengan dibukanya kran politik sebebas-bebasnya yang melahirkan puluhan partai politik baru. Di bidang ekonomi, strategi pertumbuhan neo clasic dipraktekkan secara ketat mengikuti anjuran Washington Consesus. Bahkan di era SBY, bekas direktur International Monetery Fund (IMF) untuk Asia Pasifik, Sri Mulyani Indrawati, didapuk sebagai Menteri Koordinator Pembangunan cum Menteri Keuangan.

Thomas Carothers dalam The End of The Transition Paradigm (2002) menyimpulan bahwa negara-negara yang mengikuti strategi Modernization via Internationalization cenderung gagal menjadi negara demokratis. Dari 100 negara yang diteliti, hanya 20 negara yang benar-benar menuju demokrasi. Sedangakan 80 negara terjebak dalam wilayah politik abu-abu (political gray zone): dimana demokrasi tidak kunjung tiba namun tidak pula kembali kemasa kediktatoran.

Menurut Coen Husain Pontoh dalam Malapetaka Demokrasi Pasar (2005), Indonesia adalah salah satu negara yang terjebak dalam political gray zone itu. Keterjebakan ini bisa ditelusuri berdasarkan dua ciri demokrasi Indonesia. Pertama, adanya sindrom feckless pluralism, yaitu terdapatnya sejumlah ciri demokrasi seperti kebebasan politik, pemilu regular dan rotasi kekuasaan antarkelompok politik yang berbeda secara hakiki. Tetapi di sisi lain, demokrasi tampak seperti ilusi dan ironi, karena aspirasi rakyat diberi ruang yang terbatas.

Pembatasan itu dilakukan: (1) melalui desain politik massa mengambang (political mass design)[18]. Warga tidak diberikan ruang untuk terlibat langsung dalam proses pengambilan kebijakan publik. Rakyat memang boleh mengirimkan delegasi, berdemonstrasi dan melakukan lobi-lobi politik. Hanya saja proses pengambilan keputusan, pada akhirnya “dibajak” oleh segelintir orang di eksekutif maupun legislatif. Ironisnya, keputusan yang dibuat teralalu sering bertentangan dengan kehendak warga. Keputusan politik lebih mengutamakan kepentingan elit-elit politik. Pratek seperti inilah yang dikenal sebagai “rule by the few” (kekuasaan oleh sekelompok) atau dalam sehari-hari disebut oligarki[19]. (2) jika warga terus mendesak untuk terlibat secara aktif. Maka alat-alat kekerasan negara akan “dilibatkan” untuk menjamin kekuasaan oligarki ini. Termasuk menggunakan para preman dan jagoan untuk melakukan intimidasi dan kekerasan.

Sindrom yang kedua adalah dominant-powers politics. Yaitu terjadinya kekaburan antara kekuasaan negara dan partai penguasa. Negara dijadikan aset utama sebagi sumber uang, pekerjaan, informasi public dan kebijakan kekuasaan yang secara bertahap menempatkan aset-aset negara digunakan untuk melayani kepentingan partai penguasa secara langsung. Akibatnya korupsi dalam skala besar-besaran tidak terhindarkan, kroni kapitalisme menggejala dikalangan elit dan pelanggaran hak-hak sipil politik terjadi. Semua kejahatan sosial ini dilakukan demi satu tujuan: mempertahankan kekuasaan[20].

(3) Perbandingan 1971-1997 dan 1999-2009
Ahli politik Eep Saifulah Fatah (2007) membagi golput menjadi empat macam: Pertama, golput teknis yakni mereka yang karena sebab-sebab teknis tertentu menjadi golput. Misalnya karena kecelakaan, anggota keluarga meninggal, atau karena sakit parah dan tidak bisa memilih. Kedua, golput teknis-politis, yakni golput karena kesalahan teknis KPU atau diri sendiri. Seperti mereka yang tidak terdaftar sebagai pemilih. Ketiga, Golput politis yakni mereka yang merasa tidak mempunyai pilihan dari kandidat yang tersedia atau tidak percaya bahwa pemilu akan membawa perubahan dan perbaikan. Keempat, golput ideologis yakni mereka yang tidak percaya pada mekanisme demokrasi (liberal) dan tidak mau terlibat didalamnya entah karena alasan fundamentalisme agama maupun politik-ideologi lainnya[21].

Saya sendiri membagi alasan warga memilih golput menjadi dua[22]. Pertama, faktor tidak sengaja. Hal ini bisa dalam bentuk: (1) Warga tidak terdata sebagai calon pemilih, penyebabnya bisa karena berpindah domisili. Ini yang menyebabkan warga kehilangan hak pilih; (2) Warga sudah tercatat sebagai pemilih, namun meninggal dunia; dan (3) Warga melakukan kekeliruan pada saat melakukan pecoblosan, sehingga suaranya dianggap tidak sah.

Kedua, sengaja untuk golput. Kondisi kedua dapat terjadi dalam bentuk: (1) Warga sengaja menghindari pendataan atau sengaja tidak terdaftar sebagai calon pemilih; (2) warga sudah terdaftar tapi pada hari pemilihan tidak menggunakan hak pilihnya; dan (3) warga sengaja melakukan kekeliruan agar suaranya batal.

Untuk keadaan kedua atau sengaja untuk golput, tindakan ini umumnya bermakna politik. Pelakunya (orang yang golput) melakukannya sebagai bentuk “perlawanan”. Perlawanan itu bisa saja dipicu dengan pelbagai alasan, misalnya: (1) Perlawanan terhadap mekanisme politik yang terjadi saat itu, seperti yang dilakukan Arief Budiman dkk di tahun 1971 yang memboikot pemilu karena Masyumi dan PSI dilarang mengikuti pemilu; (2) Figur-figur yang muncul di pemilu dianggap tidak kredibel, seperti yang dilakukan Prof. Bactiar Hasan Miraza di tahun 2004. Prof. Bactiar merasa kecewa karena banyak calon legislatif yang menggunakan ijasah palsu, sehingga dia merasa ogah memilih orang-orang seperti itu.

Menjelang pemilu 2009 ini, alasan warga untuk sengaja menjadi golput akan bertambah[23]. Sedikitnya ada dua alasan yang kerap disampaikan: (1) Karena demokrasi yang sudah berlanggsung tidak membawa kesejahteraan rakyat, yang sejahtera hanya elit dan lingkaran kekuasaannya; dan (2) Tidak ada tokoh atau partai yang benar-benar “berbeda” secara ideologi maupun program. Dan ironisnya, hampir-hampir tidak ada partai yang mau menyediakan alat ukur dan alat kontrol, terhadap program yang ditawarkan. Program yang disampaikan hanya bagus diatas kertas, namun tidak untuk dilaksanakan.

Golput di tahun 2009 sangat berbeda dengan 1971, karena faktor kebebasan tidak lagi menjadi persoalan utama. Ruang untuk mencalonkan diri juga terbuka. Hanya saja praktik teknis demokraris membawa ironi. Kesejahteraan hanya dinikmati para elit dan orang-orang yang “dekat” dengan para elit. Sedangkan kehidupan warga semakin sulit[24].

Sampai disini, saya berkesimpulan bahwa perkembangan golput pasca 1999 sangat dipengaruhi tingkat kesejahteraan rakyat yang cenderung memburuk. Janji perubahan lewat demokrasi liberal yang didegung-dengungkan, ternyata ditanggapi berlawan. ”Jika demokrasi sudah baik, mengapa kami tetap susah (miskin),” begitu kira-kira komentar yang muncul.

(4) Penutup : Adakah alternatif ?

Memahami golput tidak cukup dibahas dalam ranah pesimis ataupun ranah optimis.

Pertama, golput akan selalu hadir “menggerogoti” demokrasi, selama demokrasi itu tidak bisa dinikmati secara praktis dan komunal (bersama-sama).

Kedua, setinggi apapun angka golput, itu tidak akan mempengaruhi rejim yang memenangkan pemilu. Pengalaman pemilu di Amerika Serikat (AS) dan Jepang menujukkan angka keterlibatan warganya dalam pemilu cukup rendah. Akan tetapi rejim yang terpilih tetap baik-baik saja.

Ketiga, berdasarkan poin nomor dua, kampanye golput bukanlah langkah yang signifikan. Karena angka golput sendiri tidak akan terlalu banyak mempengaruhi legitimasi pemerintahan. Besar atau kecil angka golput, rejim terpilih akan tetap go a head. Pemilihan kepala daerah dibanyak tempat menjadi contohnya.

Keempat, langkah untuk memboikot pemilu juga bukan langkah yang strategis. Langkah boikot hanya effektif jika di luar kelompok pro pemilu tersedia gerbong besar kelompok yang secara signifikan bisa melancarkan pemilihan umum alternatif (tandingan). Memboikot pemilu tanpa kekuatan sama saja buang-buang energi.

Kelima, alternatif menghadang golput hanya bisa dilakukan dengan membuat demokrasi itu nyata dan terasa. Itulah tantangan terberat bagi kelompok-kelompok pro demokarsi terlebih-lebih bagi mereka yang mengaku progresif. Untuk melakukan itu gerakan harus: (1) re-orientasi gerakan dari bersifat nasional menjadi lokal, (2) re-orientasi program yang lebih smart[25]; (3) re-orientasi program yang secara praktis dirasakan; dan (4) lebih kreatif dalam menciptakan ruang untuk rakyat terlibat dalam aktivitas-aktivitas demokrasi.

Menurut saya, jika gerakan tidak melakukan re-orientasi, maka selama itu goplut menjadi bahan kampanye langganan setiap periodik. Dan selama itu pula, kampanye golput tidak akan menghasilkan apa-apa. Organisasi progresif pun hanya jadi penonton cum pecundang.

*Naskah ini disampaikan dalam diskusi politik Kelompok Diskusi Progresif (KDP), Rabu, 25 Februari 2009 di Pendopo Lapangan Merdeka, Medan, Sumatera Utara, INDONESIA.
**Penulis adalah Editor CEFIL 19 (Civic Education for Future Indonesian Leaders Angkatan XIX)

Catatan kaki:

  1. Misteri Anak Desa Kemusuk dalam Edisi Khusus Tempo ; Setelah Dia Pergi, Edisi 4 -10 Februari 2008 hal. 106-107.
  2. Menurut Asvi Warman Adam dalam artikel Habis Manis Sepah Dibuang, Tempo Edisi 4-10 Februari 2008: Soeharto meraih kekuasaannya setelah suksesnya kudeta merangkak. Kudeta merangkak adalah rangkaian kegiatan untuk mengambil kursi kepresidenan secara bertahap sejak 1 Oktober 1965 sampai 1966 (keluarnya Supersemar) atau 1967 (pejabat presiden) atau 1988 (menjadi presiden). MPRS adalah lembaga yang melakukan kudeta merangkak itu.
  3. Meraih Ph.D lewat disertasi,“worker and state in New Order Indonesia,” di Asian Research Centre, Murdoch University Perth Australia, 1996.
  4. Very R Hadiz,” Agenda Politik versus Agenda Rakyat,” dalam Qua Vadis Transisi Demokrasi Indonesia, Benget Silitongan (ed), Bakumsu, Medan, 2004, hal. 104.
  5. Richard Robison (1986) dalam Indonesian: The Rise of Capital, menujukkan dengan cermat bahwa klaim tiadanya kelas kapitalis di Indonesia tidak berlaku di akhir 1970an. Kaum kapitalis di Indonesia bukan para borjuasi yang independent dari pemerintah, melainkan para pejabat negara sendiri, para perwira militer, keluarga, sanak dan teman mereka, serta para pedagang Cina yang dekat dengan mereka. Kelahiran mereka sebagai kapitalis berasal dari penguasaan mereka atas monoppli, kontrak dan konsesi dalam proyek-proyek pembangunan orde baru. Dari situ mereka berkembang menjadi pangeran kerajaan bisnis yang sekarang kita kenal (B. Herry Priyono, Demokrasi & Kapitalisme, BASIS, Edisi Maret- April 2000).
  6. Keterlibatan militer dalam politik dipelopori pertama sekali oleh Angkatan Darat (AD). Intervensi AD secara telanjang ke wilayah politik sipil untuk pertama kalinya dilakukan pada 17 Oktober 1952. Pada hari itu, AD mengerahkan ribuan massa beserta meriam-meriamnya dengan menggunakan truk-truk tentara ke depan istana Merdeka. Mereka bermaksud menekan Presiden Soekarno agar bersedia membubarkan parlemen. Peristiwa 17 Oktober ini gagal karena Presiden tidak bersedia mengabulkan tuntutan AD sembari mengatakan dirinya tidak (mau) menjadi diktator ( Coen Husain Pontoh, Menentang Mitos Tentara Rakyat, Resist Books, Yogyakarta, 2005, hal. 139); Oleh Undang-Undang Dasar Sementara 1950, posisi militer dibelenggu. Mereka ditempatkan di bawah Kementrian Pertahanan dan peran politik mereka dipangkas. Kinerja mereka dibahas di parlemen- yang oleh serdadu disebut “mencuci baju kotor di muka umum”. (KASAD) Nasution bergerak. Ia menekan presiden agar membubarkan parlemen dan mengambalikan UUD 1945. Setelah melewati hari-hari yang menengangkan, cita-cita Nasution tercapai : Presiden mengeluarkan dekrit dan demokrasi liberal runtuh diujung senapan (Demokrasi di Ujung Senapan, Tempo Edisi 13-18 Agustus 2007, hal.79); Enam tahun kemudian (11 November 1958) Nasution memperkenalkan “Jalan Tengah Tentara” yang membawa militer memasuki politik resmi. Belakangan konsep Nasution dikenal sebagai Dwi Fungsi ABRI (TNI sekarang).
  7. Arief Budiman, “Matinya Masyarakat Madani,” dalam Tempo Edisi 4-10 Februari 2008, hal. 94-95.
  8. Kebijakan Orba itu mendapatkan protes dari kelompok Arief Budiman dkk. Bentuk protes itu dengan melacarkan aksi golongan putih. Akan tetapi aksi tidak tergolong sebagai “perlawanan” politik. Budiman hanya menyebutnya sebagai tindakan protes terhadap undang-undang yang tidak demokratis (Arief Budiman,”Golput Muncul Lagi?,” dalam Kebebasan, Negara, Pembangunan ; Kumpulan tulisan 1965-2005, Pustaka Alvabeth dan Freedom Institute, Jakarta, 2006. hal. 105-106.
  9. Pasca tumbangnya Soekarno yang antikapitalisme, hampir dipastikan tidak ada lagi kekuatan penghalang masuknya paham ekonomi (kapitalisme) itu ke Indonesia. Jenderal Soeharto lewat Orde Baru (Orba) memilih logika “ekonomi pasar” sebagai jalan pembangunan. Sederet ekonom-cum ditugasi menyusun cetak birunya. Sederet ekonom itu merupakan jeboban dari AS yang dikenal “Tim Widjojo”. Oleh aktivis pro demokrasi, tim inilah yang dijuluki “Mafia Berkeley”. Secara konkret program Tim Widjojo meliputi: (1) kebijakan anggaran yang ketat dan penghapusan subsidi, (2) meliberalisasi sektor keuangan (3) meliberalisasi industri dan perdagangan, dan (4) melakukan privatisasi.
  10. Arief Budiman,” Mitos Ideologi di Indonesia,” dalam Kebebasan, Negara, Pembangunan: Kumpulan Tulisan 1965-1999, Pustaka Alvabeth dan Freedom Institute, Jakarta, 2006, hal.20.
  11. Demokrasi dianggap sebagai mekanisme yang paling “ideal” dalam transfer kekuasaan. Transfer kekuasaan ini menyangkut ekonomi-politik. Ekonomi menyangkut sumber daya yang berhubungan dengan kesejahteraan. Sedangkan politik merujuk pada keterlibatan kekuasaan Negara untuk membuat keputusan tentang siapa yang dapat, apa, kapan dan bagaimana dalam sebuah masyarakat.
  12. Pemilu di tahun 1999 sering disebut pemilihan yang paling demokratis pasca Soeharto. Assumsi itu diambil dari tingginya partisipasi warga dalam pemilu. Partisipasi yang tinggi dipengaruhi bahwa pemerintahan yang terpilih melalui pemilu yang demokratis akan akan bekerja secara maksimal untuk kesejahteraan rakyat. Karena legitimasi wakil rakyat hasil pemilu berasal dari rakyat, sehingga tugas utama para wakil rakyat adalah memperjuangkan kepentingan rakyat.
  13. http://www.bbc.co.uk/indonesian/programmes/story/2009/01/povertyseries.shtml
  14. Besarnya dana untuk penanggulangan kemiskinan ternyata tidak berdampak terhadap penuruanan angka kemiskinan secara signifikan.
  15. Hendri Saparini, Ph.D, Re-Orientasi Kebijakan Ekonomi Indonesia, presentasi slide, Seminar Jalan Baru Ekonomi: Merdeka dari Neo-Kolonialisme, UMSU, January, 2009.
  16. ____________, Indonesian Political Review, Vol 1 No.2 Juni 2008, Lingkaran Survey Indonesia (LSI), Jakarta, 2006.
  17. Atalio A. Boron dalam The Turth of Capitalism Democracy (2006) menyimpukan bahwa demokrasi memilik empat “wajah” yang berbeda. “…there are four possible level of democratic development conceiaveble (ada empat level konsep pengembangan demokrasi)…,” kata Boron. Level pertama adalah electoral democracy (demokrasi elektoral/pemilu). Model demokrasi ini ditandai adanya pemilu regular dan kompetisi antar partai politik guna memperebutkan suara warga. Electoral democracy menganggap demokrasi sebatas pelaksanaan pemilihan umum yang bersih, jujur dan adil. Model demokrasi ini tidak perduli dengan isi, karena tujuannya hanya untuk menghasilkan para wakil partai pada posisi puncak legislatif dan eksekutif. ”A first level (are) the most rudimentary and elementary (level pertama adalah yang paling terbatas dan sederhana)…,”kata Boron. Demokrasi level kedua adalah political democracy (demokrasi politik). Boron menyebut demokrasi level kedua ini sebagai participation democracy (demokrasi partisipasi). Level kedua ini lebih luas dan lebih baik dari level pertama. Level ini ditandai dengan ada partisipasi warga yang lebih besar dalam menentukan kebijakan. Eksekutif dan legislatif tidak lagi menjadi satu-satu lembaga yang berhak menentukan kebijakan publik. Referendum dan konsultasi popular menjadi ciri level demokrasi level kedua ini. Praktik anggaran parsitipatif di kota Porto Alegre, Brazil dan model referendum Venezuela di bawah kepemimpinan Presiden Hugo Havez adalah contoh. Level ketiga adalah social democracy (demokrasi social). Level ini merupakan kombinasi dari elemen-elemen yang melekat pada dua level demokrasi sebelumnya, misalnya, lahirnya kewargaan sosial, ada jaminan yang luas akan spektrum hak-hak warga negara seperti: standart hidup yang baik, akses terhadap pendidikan, perumahan, dan pelayanan kesehatan. Level terkahir demokrasi adalah economic democracy (demokrasi ekonomi). Pada tahap ini, pemerintahan yang berkuasa dimandatkan untuk menghapus keistimewaan yang dimiliki oleh sekelompok kecil orang atas sumberdaya ekonomi, dan membuka akses yang luas kepada mayoritas untuk mengontrol dan mengendalikan sumberdaya ekonomi terbatas itu. Dengan demikian, tidak ada lagi pemisahan antara politik dan ekonomi, atau masyarakat sipil dengan politik. Dengan kontrol atas sumber daya ekonomi yang menyebar, politik tidak lagi merupakan hal yang istimewa yang diperebutkan dengan taruhan nyawa.
  18. Praktek politik massa mengambang dapat terditeksi dari dua hal. Pertama, tipisnya kelas menengah dalam keanggotan partai-partai politik di Indonesia. Kelas menengah tidak berada pada pucuk pimpinan partai, tetapi pada tingkat lapisan bawah. Kader-kader dari kelas menengah tidak ada. Akibatnya massa partai dibiarkan menjadi pendukung partai yang fanatic tanpa memiliki filter yang mampu menyaring dan mengartikan infomasi yang benar dari minimnya keterlibatan kelompok masyarakat kelas menengah pada posisi strategis partai-partai politik. Hal ini sangat berbeda dengan kondisi tahun 1960-an. Pada saat itu, selain pimpinan partai sampai ke cabang banyak dipimpin kelompok menengah juga mereka adalah orang-orang politik yang professional. Akibatnya, para pemimpin partai saat itu benar-benar bewibawa di muka anggota-anggotanya. Kedua, tidak adanya pendidikan politik yang teratur oleh pimpinan partai terhadap anggota-anggotanya. Akibatnya anggota benar-benar merupakan floating mass (massa mengambang) dari satu pemilu ke pemilu lain. Hal ini mengakibatkan patai-partai politik pada hakikatnya belum merupakan partai politik yang modern, apalagi apabila dibandingkan dengan partai-partai politik tahun 1960-an. Hal ini terkait pula dengan kebijakan pembangunan politik yang bertujuan mendepolitisasi proses pembangunan.
  19. Contoh oligarki yang terbaru adalah kasus Lapindo Brantas Inc. Groups Bakrie yang menjadi pemodal PT. Lapindo Brantas seolah tidak “tersentuh” oleh kekuatan apapun agar dapat membayar ganti rugi. Sekalipun ribuan korban Lapindo berdemonstrasi dan bertemu dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), namun ganti rugi tidak terwujud 100 persen. Presiden SBY seperti tidak punya powers untuk memaksa Bakrie Groups. Konon ketidakberdayaan ini disebabkan Bakrie adalah donatur besar bagi SBY ketika masa kampanye 2004 yang lalu.
  20. Sejak Jusuf Kalla dilantik sebagai Wakil Presiden RI tanggal 20 Oktober 2004, dan terpilih sebagai Ketua Umum DPP Partai Golkar, dua bulan kemudian, PT. Bukaka Teknik Utama milik Jusuf Kalla dan adik-adiknya mulai kebanjiran order membangun PLTA di Sulawesi. Di Sulawesi Selatan, Bukaka mendapatkan order pembangunan PLTA di Ussu, bekas pusat kerajaan Luwu’ di Kabupaten Luwu’ Timur, berkapasitas 620 MW; sebuah PLTA senilai Rp.1,44 trilyun di Pinrang; Sebuah PLTA kecil berkapasitas 1 MW di Desa Mappung, Tompobulu, di perbatasan Kabupaten Gowa dan Sinjai ; sebuah PLTA berskala menengah berkapasitas 8 MW di Bantaeng; serta sebuah PLTA kecil di Salu Anoa di Mungkutana, Kabuoaten Luwu’ Utara. Saat ini Bukaka sedang membangun PLTA dengan tiga turbin di Sungai Poso, Sulawesi Tengah, yang akan berkapasitas total 780 MW (George Junus Aditjondro, Dinamika Modal di Sulawesi: Apa yang dapat dilakukan aktor pro demokrasi?, kajian, Jurnal Progresif Indoprogress, 2006); George Junus Aditjondro, Korupsi Kepresidenan; Reproduksi Oligarki Berkaki Tiga: Istana, Tangsi, dan Partai Penguasa, LKiS, Yogyakarta, 2007).
  21. Faktul Anas,” Golput, Solusi Ditengah Fesimisme,” dalam KH. Abdulrahman Wahid dkk, Mengapa Kami Memilih Golput, SAGON, 2009 hal. 65.
  22. Erix Hutasoit, Orang Bijak Tidak Golput (?), Harian Analisa, Medan, Kamis, 6 September 2007.
  23. Perhatikan: Golongan putih memenangkan pilkada Jawa Timur yang digelar pada 23 Juli lalu. Berdasar hasil final penghitungan suara, golput (golongan putih) “meraih” 327.037 suara. Daftar pemilih tetap (DPT) 809.100. Berarti, warga yang tidak menyalurkan hak politiknya mencapai 40,42 persen (VHRmedia.com). Dalam pilkada Sumatera Utara golput memperoleh suara sebesar 5 juta orang atau 43 persen. Hasil rekap suara pemilihan kepala daerah Kalimantan Timur yang dilakukan KPUD Balikpapan menunjukkan hasil yang mencegangkan. Setidaknya 50 persen suara dari para pemilih di Tingkat II Kabupaten/Kota Balikpapan memilih golput (okezone.com). GOLPUT menang di pilkada Jabar. Sebesar 34,67 persen (kompas.com) (Dian Purba, Orang Golput Orang Bijak, www.cefil19.co.cc)
  24. Sebagai contoh kesenjangan social yang terjadi : Dua ibu rumah tangga masing-masing memiliki anggaran Rp 15.000 dan Rp 20.000 untuk berbelanja ke pasar, sementara ada seorang politisi yang mampu membeli buku hingga jutaan rupiah per bulan (BBC, 27-31 Januari 2009)
  25. Smart merupakah istilah pembuatan program dalam bahasa Inggris: S= Specific (jelas), M= Measureable (terukur), A = Area Bond (jelas wilayahnya), R= Realistic (Realistis) dan T= Time Bond (Ukuran Waktu).

Daftar Pustaka:

  • Arief Budiman, Kebebasan, Negara, Pembangunan: Kumpulan tulisan 1965-2005, Pustaka Alvabet dan Freedom Institute, Jakarta, 2006.
  • Atalio A. Boron, The Truth about the Capitalist Democracy, http://www.socialisregister.com
  • Benget Silitonga (ed), Qua Vadis Transisi Demokrasi Indonesia, Bakumsu, Medan, 2004.
  • Coen Husain Pontoh, Menentang Mitos Tentara Rakyat, Resist Books, Yogyakarta, 2005.
  • Coen Husain Pontoh, Malapetaka Demokrasi Pasar, Resist Books, Yogyakarta, 2005.
  • David Bourchier & Vedi R. Hadiz (ed), Pemikiran Sosial dan Politik Indonesia: Periode 1965-1999, Grafiti Press dan Freedom Institute, Jakarta, 2006.
  • Dian Purba, Orang Golput Orang Bijak, www.cefil19.co.cc
  • Erix Hutasoit, Orang Bijak Tidak Golput(?), Harian Analisa, Kamis, 6 Sepertember 2007.
  • George Junus Aditjondro, Korupsi Kepresidenan; Reproduksi Oligarki Berkaki Tiga: Istana, Tangsi, dan Partai Politik, LKiS, Yogyakarta, 2007.
  • George Junus Aditjondor, Dinamika Modal di Sulawesi: Apa yang aktor pro demokrasi bisa lakukan, Kajian, Jurnal Progresif Indoprogress, 2006.
  • Hendri Saparini, Ph.D, Re-Orientasi Kebijakan Ekonomi Indonesia, presentasi slide, Seminar Jalan Baru Ekonomi: Merdeka dari Neo-Kolonialisme, UMSU, Januari, 2009.
  • KH. Abdulrahman Wahid dkk, Mengapa Kami Memilih Golput, SAGON, 2009.
  • Majalah Tempo, Pergulatan Demokrasi Liberal 1950-1959:  Zaman Emas atau Hitam, Edisi 13-19 Agutus 2007.
  • ___________, Setelah Dia Pergi, Edisi 4-10 Februari 2008.
  • ___________, Indonesian Political Review, Vol 1 No.2 Juni 2008, Lingkaran Survey Indonesia (LSI), Jakarta, 2008.
  • http://www.bbc.co.uk/indonesian/programmes/story/2009/01/poverty3.shtml

5 Responses to “Menghadang Golongan Putih*”

  1. 1
    Syahrial P. Says:

    Selamat bertemu kembali Bapa Erix.

    Tak terasa sudah beberapa bulan kita tak berkomunikasi lewat diskusi di situs ini.

    Saya baru membaca sekilas tulisan Bapa Erix yang baru ini, dan saya ingin mengajukan sejumlah pertanyaan:

    Pertama-tama, golput 1972 (paragraf 2) kurang saya fahami. Apakah yang dimaksud golput pada pemilu 1972? Pemilu apa itu yang terselenggara pada tahun 1972?

    Karena saya baru sempat ‘scanning’, maka komentar saya kedua menyangkut bagian akhir dari tulisan Bapa Erix.

    Ada kesan, Bapa Erix ‘anti’ dengan golput:
    “Pertama, golput akan selalu hadir “menggerogoti” demokrasi, selama demokrasi itu tidak bisa dinikmati secara praktis dan komunal (bersama-sama).” tulis Bapa Erix.

    Emang kenapa rupanya kalau golput terus ada? Apa salahnya ?

    Saya mempertanyakan sikap Bapa Erix pada butir pertama itu karena pada butir kedua, golput kan gak ada apa-apanya dalam kaitannya keabsahan rejim yang menang dalam pemilu, ia tidak lebih absah atau kurang absah. Bapa Erix menulis:

    “Kedua, setinggi apapun angka golput, itu tidak akan mempengaruhi rejim yang memenangkan pemilu. Pengalaman pemilu di Amerika Serikat (AS) dan Jepang menujukkan angka keterlibatan warganya dalam pemilu cukup rendah. Akan tetapi rejim yang terpilih tetap baik-baik saja.”

    Lalu kenapa kok dipermasalahkan sampai menulis panjang-panjang ?

    Pada butir ketiga Bapa Erix menulis:
    “Ketiga, berdasarkan poin nomor dua, kampanye golput bukanlah langkah yang signifikan. Karena angka golput sendiri tidak akan terlalu banyak mempengaruhi legitimasi pemerintahan. Besar atau kecil angka golput, rejim terpilih akan tetap go a head. Pemilihan kepala daerah dibanyak tempat menjadi contohnya.”

    Apa yang dimaksud dengan ‘kampanye golput’? Apakah kampanye untuk memperbesar angka golput atau sebaliknya, kampanye untuk memperkecil jumlah golput ?

    Saya berulang-ulang membaca poin dua dan poin tiga itu, kok sama saja? Lalu mengapa poin 2 dimekar menjadi 2 poin: poin 2 dan poin 3? Kayak pemekaran daerah yang lagi hangat-hangatnya nih 🙂

    Poin kelima lebih gawat lagi, Bapa Erix.
    “Kelima, alternatif menghadang golput hanya bisa dilakukan dengan membuat demokrasi itu nyata dan terasa. ”

    Amerika baru-baru ini melangsungkan pemilihan presiden paling ‘spektakuler’, di mana pemilih sebanyak 63.1% dari suara yang berhak memilih, angka terbesar sepanjang sejarah pemilihan presiden di Amerika.

    Tetapi angka yang tak memilih (golput) masih tetap cukup besar: 36.9%. Apakah Bapa Erix masih menganggap demokrasi di Amerika itu belum ‘rasa dan nyata’?

    Segitu aja dulu Bapa Erix, saya melanjutkan di lain kesempatan, sambil menunggu tanggapan Bapa Erix.

    S.P.

  2. 2
    erix hutasoit Says:

    Dear Bung SP,

    Senang bertemu, setelah sekian lama “berpisah”. Mari kita mulai perdebatan yang tertunda dulu (hehehe..)

    (1) Saya tidak “anti” golput. Naskah itu saya tulis untuk diskusi politik dengan gerakan progresif. Naskah itu lebih sebagai kritik atas ketidakmampuan gerakan progresif memberikan alternatif pilihan kepada warga. Karena golput sendiri bukanlah gerakan politik yang bertujuan “memperbaiki” sesuatu. Golput tidak lebih sebagai sikap “diam”. Diam kan ngak merubah apa-apa.

    (2) Tentang kampanye golput. Coba cari bung buku baru ini : KH. Abdulrahman Wahid dkk, Mengapa Kami Memilih Golput, SAGON, 2009.

    (3) Soal demokrasi di Amerika Serikat. Ini pendapat saya ” menempatkan Amerika Serikat (AS) sebagai ‘kampiun’ demokrasi, ini jelas keliru kalau bukan kesesatan. Karena seolah-olah, demokrasi di negara seperti AS ‘lebih baik’ sehingga dianggap pantas ditiru. Padahal William I. Robison (2006), profesor sosiologi dan studi internasional dari universitas California, Santa Barbara (AS), pada artikelnya Democrary or Poliarchy menegaskan di AS tidak ada demokrasi yang ada adalah poliarchy.” (itu artikel yang pernah saya tulis, lengkapnya baca di : http://cefil19.blogspot.com/2007_08_01_archive.html#5374450035381647254

    Coba baca catatan kami nomor (17) baik-baik tentang level demokrasi.

    Terima Kasih,

    Salam,

    E-

    (4)

  3. 3
    Erix Hutasoit Says:

    Bung SP,

    Maafkan saya, jika jawaban nomor # 2 tidak begitu sistematis dan runut saya tulis. Saya jadi tidak enak hati karena itu. Kemarin malam, ada persoalan teknis dengan komputer yang saya pakai, sehingga saya agak kesulitan. Agar diskusi kita tidak menyimpang, saya relakan waktu untuk menulis ulang jawaban saya.

    (1) Soal pemilu 1972: itu adalah typo (salah pengetikan). Pemilu pertama ORBA terjadi pada tahun 1971. Terima kasih, Anda sudah membantu saya menemukan kesalahan teknis itu. Anda punya bakat menjadi editor sepertinya.

    Tapi jika anda pernah baca buku “Arief Budiman, Kebebasan, Negara, Pembangunan: Kumpulan tulisan 1965-2005, Pustaka Alvabet dan Freedom Institute, Jakarta, 2006.” Budiman bahkan menulis disitu kalau gerakan golput terjadi di tahun 1970. Tapi yang pasti, tahun 1970-1972 adalah waktu dimana golput ramai diperbincangkan dengan serius.

    (2) Soal anti golput: saya sudah cukup panjang menjelaskan bahwa golput tidak membawa perubahan apa-apa. Nah, disinilah mungkin cara saya dan bung SP berbeda memahami fenomena itu. Bagi intelektual seperti bung yang terbiasa berumah di atas angin dan memandang dari menara gading, selau menganggap perubahan akan datang dengan sendirinya seiring waktu. Tapi tidak dengan kami. Bagi kami orang-orang yang dipaksa tidur beralaskan dingin dan berselimutkan angin, perubahan sosial adalah pilihan. Kami tidak menunggu perubahan itu, tapi membuatnya menjadi nyata. Seperti kata orang-orang PRD : Bangkit Melawan atau Tunduk Tertindas.

    (3) Kampanye Golput : Saya sudah singgung sedikit di atas. Kampanye golput sendiri kini marak, jika anda suka bermain di dunia maya, banyak sekali blog-blog yang menyebut dirinya sebagai GOLPUT. Bahkan di toko buku sekarang ada buku yang isinya menjelaskan alasan-alasan untuk menjadi golput. Saya sendiri melihat, gerakan begini tidak ada manfaatnya. Toh, tidak akan ada perubahan apa-apa yang terjadi seandainya golput mencapai 40-50 persen.

    (4) Soal demokrasi ala “amerika” : saya sudah link kan anda dengan tulisan saya. Tapi saya mahfum dengan anda: intelektual yang lahir dengan cara berpikir liberal, suka-suka dan tiba-tiba menjadi pintar. Bagi anda, barangkali demokrasi cuma ada satu di dunia ini. Tapi tidak bagi kami. Demokrasi adalah paroses pencarian bentuk, sebagaimana di Amerika Selatan mempraktekkan hal itu. Saya sarankan kalau punya waktu lowong, cobalah “main-main” ke amerika selatan dan coba membaca naskah politik bagus yang ditulis Atilio A. Boron judulnya The Truth of Capitalist Democracy (2006). Atau silahkan baca kembali naskah diatas, dan lihat catatan kaki nomor 17.

    Viva Socialista Illa Liberta bung,

    E-

  4. 4
    Syahrial P. Says:

    Bung Erix (lebih akrab rasanya pake bung yach 🙂 )

    Kalau Arief Budiman mengatakan ‘terjadi’ (istilah anda) pada tahun 1970 maka masuk akal bung, wong untuk menghadapi pemilu setahun kemudian, tahun 1971 🙂

    Kalau anda sudah mengakui kesalahan penulisan tahun 1972 maka sebenarnya, kutipan berikut juga saya pertanyakan:

    “Tapi yang pasti, tahun 1970-1972 adalah waktu dimana golput ramai diperbincangkan dengan serius.”

    Mengapa masih ngotot menyebut tahun 1972 ? Ada referensikah ? Atau hanya perkiraan ? Kalau perkiraan mengapa pakai kata ‘pasti’ ? 🙂

    Dengan demikian, apakah saya membaca atau tidak buku Arief Budiman yang anda rujuk itu, sama sekali tidak mengurangi keabsahan sorotan saya pada kekhilafan anda yang masih juga setengah-setengah anda akui. Ilmuwan itu bung perlu sekali-sekali rendah hati mengakui kesilafan 🙂

    Bisa juga kita katakan, menyebut-nyebut referensi sebagai kiat mengelakkan sorotan bisa menjadi bumerang apabila diterapkan tanpa kehati-hatian. (Dan .. ternyata ini sudah menjadi tipe tulisan anda rupanya semenjak diskusi pertama kita beberapa waktu yang lalu).

    ***
    Soal pernyataan bahwa ‘golput’ tidak membawa perubahan apa-apa, sehingga kelihatannya begitu merisaukan Bung Erix, mari kita coba membuat suatu pengandaian.

    Andaikanlah sistem kita mewajibkan setiap warga negara yang sudah cukup umur untuk memilih. Dengan demikian setiap orang menjadi pemilih, tiada lagi istilah golput.

    Dalam keadaan seperti itu … bisakah anda menjamin bahwa ketidakhadiran golput akan “membawa perubahan apa-apa” ? Bisakah anda memastikan bahwa tanpa golput hasil pemilu jauh lebih baik ?

    ***
    Saya tersenyum-senyum membaca pernyataan anda di butir kedua, yang menggolongkan saya (Syahrial P.) sebagai “intelektual yang terbiasa berumah di atas angin dan memandang dari menara gading, selau menganggap perubahan akan datang dengan sendirinya seiring waktu”, sementara anda (Bung Erix) sendiri ke dalam golongan: “yang dipaksa tidur beralaskan dingin dan berselimutkan angin, perubahan sosial adalah pilihan.”

    Saya pikir Bung Erix terlalu mendramatisir masalah, padahal kaum intelektual jarang-jarang melakukan yang seperti itu lho, setahu saya. Yang suka melakukan itu ya para politisi, biasanya 🙂

    Bayangan saya, Bung Erix, selaku orang yang sudah melanglang buana ke berbagai negeri, termasuk kenal dengan Mandela (ini saya tahu dari diskusi kita terdahulu), dan menyampaikan makalah yang cukup panjang pada diskusi politik “Kelompok Diskusi Progresif (KDP), Rabu, 25 Februari 2009 di Pendopo Lapangan Merdeka, Medan, Sumatera Utara,” rasa-rasanya tidaklah masuk ke dalam kelompok “orang-orang yang dipaksa tidur beralaskan dingin dan berselimutkan angin, perubahan sosial adalah pilihan”. Tentulah Bung Erix masuk ke dalam kelompok yang lebih ‘elite’ dari situlah 🙂

    Pada butir 3 Bung Erix, ada pertanyaan saya sedikit. Kalimat:
    “Saya sendiri melihat, gerakan begini (maksudnya golput) tidak ada manfaatnya.” dengan kalimat yang di bawahnya: “Toh, tidak akan ada perubahan apa-apa yang terjadi seandainya golput mencapai 40-50 persen.” kok rasa-rasanya gak nyambung tuh 🙂 Atau barangkali typo (salah pengetikan) ya? Bisakah dijelaskan agak lebih jelas lagi?

    ***
    Untuk butir 4, soal demokrasi dan jalan-jalan ke amerika selatan, lain kali kita bahas ya. Aku harus balek shift malam nih :(.

    S.P.

  5. 5
    Erix Hutasoit Says:

    Bung SP,

    Menurut saya semua sudah jelas kok. Cobalah baca naskah saya pelan-pelan. Jangan pakai emosi membacanya (hehee…)

    Hmmm… apakah karena saya pernah berkunjung ke banyak tempat atau ke negara lain, sehingga saya bisa disebut “elite”? Hmmm… Bung SP, Tenaga Kerja Indonesia (TKI) bersebar di seluruh dunia dan banyak diantara mereka yang pintar-pintar lho. Tapi pernahkah mereka disebut “elite” karena itu? Saya kira anda cukup cerdas untuk tahu jawabannya.

    Salam,

    E-

Leave a Reply

Comment spam protected by SpamBam

Kalender Berita

March 2009
M T W T F S S
 1
2345678
9101112131415
16171819202122
23242526272829
3031