Membangun Keagungan Pemilu
Oleh Thomas Koten*
Pemilu adalah kenduri demokrasi yang menjadi landasan politik bangsa dan negara dalam membangun masa depan yang lebih baik. Pemilu juga merupakan medium sentral bagi pengembangan yang efektif seluruh mesin politik yang mengantarkan bangsa dan negara dalam meraih demokrasi dan membangun peradabannya. Selain itu, pemilu juga sebagai momentum evaluatif yang sangat penting bagi sebuah rezim kekuasaan dalam mewujudkan cita- cita negara kemerdekaan.
Pemilu dengan seluruh aktivitasnya mengantarkan harapan politik untuk mengangkat bangsa ke titik kesejahteraan. Atau, pemilu menjadi “tolok ukur” yang paling jitu untuk mengetahui sejauh mana perjalanan bangsa dan negara dalam menjelmakan cita-cita pendirian negara, yakni kesejahteraan dan kemakmuran. Sehingga, pemilu men- jadi sebuah “kontrak sosial” yang dapat memberikan tekanan pada setiap kekuatan politik dalam memperjuangkan kepentingan rakyat.
Maka, mencuatlah persoalan yang memiriskan hati ketika pemilu, selama ini, hanya ditempatkan sebagai jangkar penting untuk menarik keuntungan kelompok atau momentum untuk mengelola politik memperebutkan ambisi kekuasaan. Lalu, pergelaran kenduri demokrasi itu pun dinilai tidak lain sebagai “dagelan” politikg sekadar menguntungkan segelintir elite dan bukan sebagai acuan dalam perjalanan demokrasi untuk mencapai kesejahteraan rakyat dan meningkatkan peradaban bangsa.
Oleh karena itu, para politisi dan penguasa mesti menyadari dan memahami karakteristik pemilu sebagai sosok agung yang di dalamnya para politisi dapat mengembangkan bakat politiknya demi kepentingan rakyat.
Penyadaran dan pemahaman ini menjadi penting bagi para politisi agar di dalamnya mereka dapat mempertanggungjawabkan segala praktik dan perjuangan politik secara jelas, utuh, efektif, dan bermanfaat. Karena pemilu memang tidak lain sebagai sebuah titik pijak bagi para politisi untuk merumuskan “skema” perjuangannya.
Mesti diakui, pemilu yang sudah kerap dilaksanakan selama ini tidak juga menghasilkan sebuah program riil bagi perbaikan nasib bangsa. Atau, pemilu selama ini bukan saja gagal melahirkan pemimpin-pemimpin besar dengan pemikiran-pemikiran besar, melainkan juga tidak sanggup mengedepankan agenda-agenda besar yang menguraikan seluruh cita-cita perjuangan bangsa dan negara demi menggapai masa depan keindonesiaan. Sehingga, tidak juga dari ruang sakral pemilu mencuat pemikiran-pemikiran yang cukup manjur, punya keistimewaan dalam merepresentasikan imajinasi programatik yang progresif atas kompleksnya persoalan mutakhir.
Ketidakpastian
Pemilu selain hanya meninggalkan kegetiran dan kepiluan, yang di dalamnya hanya menyembulkan konstruksi kekuasaan yang begitu angker di hadapan publik, juga telah menggiring rakyat pada ketidakpastian, kegamangan, dan kegoyahan tentang masa depannya. Titik krusial pun lalu tercuat ketika proses politik hanya menggiring demokrasi sebagai sebuah rutinitas hajatan lima tahunan dengan segala seremoni yang menelan biaya yang berlimpah, yang tidak sebanding dengan peningkatan kesejahteraan rakyat yang menjadi tujuan utamanya.
Para politisi akhirnya tetap terpenjara pada egoisme yang mengutamakan kepentingan sempit seputar kekuasaan. Rakyat dibiarkan tetap terjerembap dalam kegetiran untuk terus merangkak di bawah lorong kenestapaan. Maka, terciptalah gelagat politik kekinian yang begitu ironis, yakni krisis kepedulian pemerintah dan para politisi terhadap nasib rakyat kecil yang menderita. Atau, sosok pemerintah dan atau penguasa dan para politisi yang tidak memiliki kepekaan dan intensi terhadap nasib rakyat yang semakin nestapa pascapemilu. Dengan kata lain, sosok penguasa dan para politisi yang tidak memiliki kepekaan dan intensi politik, telah membuat nasib rakyat yang menderita semakin terabaikan.
Maka, apa yang kita lihat, demokrasi tidak lagi menjadi ruang agung bagi publik untuk berpolitik secara benar, dan politik pun tidak lagi menjadi “alat” dan “sarana” untuk menyalurkan kehendak-kehendak baik yang tersembunyi di tengah pengapnya kekuasaan. Pemilu semakin tidak bermakna untuk dijadikan sebagai landasan perjuangan demi peningkatan kesejahteraan rakyat selanjutnya. Ujungnya, krisis multidimensi yang sebenarnya dapat dijadikan sebagai sokoguru yang mengajarkan tetang etika kehidupan dan moralitas perjuangan menjadi sia-sia. Bangsa ini pun kemudian tidak bisa keluar dari perangkap krisis dan aneka kesulitannya.
Lalu, untuk apa berpolitik, berpartai, dan menggelar pemilu dengan biaya yang supermahal, jika minus makna bagi rakyat? Ingat, hakikat politik, demokrasi, partai, dan pemilu adalah sebagai landasan pengentasan kemiskinan dan segala kompleksitas persoalan masyarakat serta gerbong yang mengantarkan rakyat pada kesejahteraannya. Artinya, politik, demokrasi, parpol, dan pemilu merupakan sarana untuk mendefinisikan dan menyederhanakan segala persoalan bangsa. Maka, tatkala krisis bangsa terasa sulit diselesaikan, solusinya adalah membuka kembali kotak pandora politik, demokrasi, parpol, dan pemilu untuk melihat sejauh mana semua itu dijalani dan diselenggarakan.
Karakter Politisi
Elite politik pasti mengetahui lanskap politik-demokrasi dan pemilu yang diselenggarakan selama ini selalu tidak jauh dari upaya kaum politisi untuk meraih ambisi kekuasaan. Maka, kekuasaan senantiasa menjadi paradigma yang terus menancapkan kekuatannya dan menjadi sosok yang begitu angker di hadapan publik. Ini tidak lain, karena perilaku egoisme yang begitu menyengat di kalbu politisi. Realitas kehidupan antara kaum elite dan rakyat kebanyakan semakin berjarak.
Oleh karena itu, jika ingin menyelenggarakan pemilu yang agung dan sakral demi terbangunnya masa depan bangsa dan negara yang sejahtera, makmur dan beradab, maka egoisme politisi harus segera dihilangkan dan dikembangkan perilaku sosial yang peduli pada penderitaan rakyat. Pemilu yang adil dan jujur pun perlu dijadikan momentum untuk membebaskan perilaku sempit para politisi, lalu membangun karakter kaum politisi yang mendahulukan kepentingan rakyat.
Tidak semudah membalik telapak tangan untuk mewujudkan urgensi ideal dalam kerangka membebaskan kaum politisi dari jeratan kepentingan sempit pribadi dan golongan. Tetapi, perwujudan ini penting. Jika tidak, maka kekuasaan yang telah mendapatkan legitimasi demokrasi pemilu gagal menjadi gerbong untuk membongkar kebuntuan-kebuntuan bangsa menuju kesejahteraan dan kemakmuran.
Politikus yang bebas dari jeratan kepentingan sempit pribadi dan golongan adalah cermin politisi moralis. Politisi moralis adalah politisi yang selalu berjalan dalam bingkai moral, dan selalu menjadikan moralitas sebagai pedoman bagi setiap aktivitas politiknya.
Meminjam pendapat Immanuel Kant, politisi sejati pada hakikatnya bertingkah laku sebagai politisi moralis, bukan moralis politis. Kepada merekalah harapan untuk membangun keagungan dan kesakralan pemilu digantungkan.
Catatan, jika pemilu tidak dijadikan sebagai bangunan agung dan ruang sakral bagi aktivitas politik dan demokrasi, sebagai landasan untuk membangun masa depan masyarakat yang sejahtera, maka akan melahirkan “kutukan” politik berkepanjangan yang membuat bangsa ini tidak pernah keluar dari perangkap krisis dan bebas dari lindasan roda penderitaannya.
*) Penulis Direktur Social Development Center
Sumber: Suara Pembaruan