MORFOFONEMIK BAHASA NIAS (2)
Oleh Wa’özisökhi Nazara*
Keempat, distribusi alomorf yang disebut suplesi (suppletion). Suplesi, seperti halnya kondisi leksikal, hanya terjadi pada kata tertentu. Dalam bahasa Inggris, misalnya, bentuk good dan better tidak sama. Akan tetapi, good dan better merepresentasikan leksem GOOD. Demikian pula dengan bentuk am, are, dan is. Ketiga bentuk ini jelas berbeda. Akan tetapi, ketiganya merupakan representasi dari lexeme BE.
Sebagian besar modifikasi bunyi yang terjadi ketika morfem terikat (morfem jamak) bergabung dengan morfem bebas (kata), sebagaimana dikemukakan di atas, tergolong modifikasi (asimilasi) progresif. Asimilasi yang tergolong progresif adalah proses perubahan bunyi menjadi mirip dengan bunyi yang mendahuluinya. Akan tetapi, asimilasi progresif bukan satu-satunya proses perubahan yang terjadi ketika dua morfem bergabung untuk membentuk suatu unit yang lebih besar. Bisa terjadi perubahan bunyi yang arahnya berlawanan dengan asimilasi progresif. Perubahan bunyi ini disebut asimilasi regresif, yakni proses perubahan bunyi menjadi mirip dengan bunyi yang mengikutinya. Selain asimilasi progresif dan asimilasi regresif, ada asimilasi resiprokal. Asimilasi ini merupakan perubahan dua fonem berurutan, yang menyebabkan kedua fonem itu menjadi fonem yang lain dari semula. (Kridalaksana 1993; Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa 1995).
Perubahan bunyi (asimilasi) yang terjadi ketika suatu morfem bertemu dengan morfem lain terkait dengan tuntutan artikulasi. Pada waktu seseorang berbicara, alat-alat ucapnya tidak meloncat dari satu posisi ke posisi lain. Pergerakan alat-alat ucap merupakan suatu pergerakan berkesinambungan. Bunyi-bunyi berdekatan saling mempengaruhi dalam pergerakan berkesinambungan itu (Schendl 2001). Itulah sebabnya perubahan bunyi yang terjadi ketika dua morfem bergabung umumnya mempertimbangkan tempat artikulasi.
Perubahan bunyi, termasuk substitusi atau penambahan bunyi nasal, menurut Donohue (1999), sangat umum terjadi dalam bahasa-bahasa di Indonesia, Malaysia, dan Filipina. Dalam bahasa Tukang Besi, misalnya, prefiks hoN- menunjukkan substitusi nasal dalam konsonan tidak bersuara yang mengikutinya. Sebagai contoh, bunyi [h] digantikan oleh bunyi nasal ketika prefiks hoN- bergabung dengan morfem bebas (kata) ha’o ‘pemukul’. Hasilnya adalah kata homa’o ‘memukul secara sengaja’. Akan tetapi, substitusi nasal tidak terjadi apabila bunyi stop bersuara.
3. Pembahasan
Pembahasan mengenai morfofonemik bahasa Nias dalam tulisan ini meliputi proses morfofonemik yang terjadi pada nomina, yang disebut mutasi, dan proses morfofonemik yang yang terjadi pada verba. Proses morfofonemik yang terjadi pada nomina, yang disebut mutasi, disajikan pada bagian 3.1. Proses morfofonemik, yang disebut asimilasi, disajikan pada bagian 3.2.
3.1 Proses morfofonemik yang terjadi pada nomina
Proses morfofonemik yang terjadi pada segmen awal nomina disebut mutasi. Mutasi adalah perubahan kualitas bunyi karena pengaruh bunyi dalam morfem atau kata berdampingan (Crystal 1991). Mutasi pada umumnya terjadi pada segmen awal suatu kata. Menurut Brown (2001), mutasi adalah proses morfofonemik yang mempengaruhi segmen awal nomina, pronomina, relatif tanpa inti (headless relatives), dan nomina derivasi (derived nominals).
Perubahan bunyi (mutasi) dalam bahasa Nias dapat dikelompokkan menjadi empat kelompok. Pertama, perubahan bunyi pada segmen awal kata (mutasi) dalam bahasa Nias bisa berupa penambahan bunyi. Kedua, mutasi berupa perubahan bunyi dari konsonan takbersuara menjadi konsonan bersuara. Ketiga, mutasi berupa perubahan bunyi konsonan bersuara menjadi bunyi konsonan bersuara lain. Keempat, mutasi berupa Ø.
3.1.1 Penambahan bunyi konsonan ([n] atau [g])
Penambahan bunyi, [n] atau [g] terjadi pada nomina yang segmen awalnya adalah vokal, seperti yang terjadi pada kata uli ‘kulit’. Ada beberapa kondisi yang menuntut penambahan bunyi [n] atau [g] sebelum bunyi vokal yang mengawali sebuah nomina. Kondisi-kondisi tersebut disajikan berikut ini.
3.1.1.1 Penambahan bunyi konsonan [n]
Apabila sebuah nomina terdiri atas dua suku kata dan diawali oleh bunyi vokal [a] yang diikuti oleh bunyi konsonan [g], [m], [ŋ], [x], [r], [s], [ß], atau [y], maka bunyi konsonan alveolar nasal [n] umumnya ditambahkan sebelum bunyi vokal [a] itu, misalnya ama → nama ‘ayah’.
Apabila sebuah nomina terdiri atas dua suku kata dan diawali oleh bunyi vokal [e] yang diikuti oleh bunyi konsonan [n] atau [x], maka bunyi konsonan alveolar nasal [n] umumnya ditambahkan sebelum bunyi vokal [e] pada awal kata itu, sebagaimana tampak pada ene → nene ‘pasir’.
Apabila sebuah nomina terdiri atas dua suku kata dan diawali oleh bunyi vokal [i] yang diikuti oleh bunyi konsonan[f], [x], [n], atau [ß], maka bunyi konsonan alveolar nasal [n] umumnya ditambahkan sebelum bunyi vokal [i] pada awal kata itu, sebagaimana tampak pada ifö → nifö ‘gigi’.
Apabila sebuah nomina terdiri atas dua suku kata dan diawali oleh bunyi vokal [o] yang diikuti oleh bunyi konsonan [h], [l], [m], [n], [r], [s], atau [ß], maka bunyi konsonan alveolar nasal [n] umumnya ditambahkan sebelum bunyi vokal [o] pada awal kata itu, sebagaimana tampak pada ohi → nohi ‘kelapa’.
Apabila sebuah nomina terdiri atas dua suku kata dan diawali oleh bunyi vokal [∂] yang diikuti oleh bunyi konsonan [s], maka bunyi konsonan alveolar nasal [n] ditambahkan sebelum bunyi vokal [ə] pada awal kata itu. Penambahan bunyi [n] sebelum bunyi vokal [∂] pada awal kata ösi ([∂si] → n∂si]).
Apabila sebuah nomina terdiri atas dua suku kata dan diawali oleh bunyi vokal [u] yang diikuti oleh bunyi konsonan [d], [ŋ], atau [ß], maka bunyi konsonan alveolar nasal [n] umumnya ditambahkan sebelum bunyi vokal [u] pada awal kata itu, sebagaimana tampak pada udu → nudu ‘musuh’.
Nomina yang terdiri atas tiga suku kata dan diawali oleh bunyi vokal [i] yang diikuti oleh bunyi konsonan alveolar hambat bersuara [d], maka bunyi konsonan alveolar nasal [n] ditambahkan sebelum bunyi vokal [i] pada awal kata itu. Penambahan bunyi [n] sebelum bunyi vokal [i] tersebut terjadi pada segmen awal kata idanö ([idan∂] → [nidan∂]).
3.1.1.2 Penambahan bunyi konsonan [g]
Apabila sebuah nomina terdiri atas dua suku kata dan diawali oleh bunyi vokal [a] yang diikuti oleh bunyi konsonan [f], [h], [t], atau [ß], maka bunyi konsonan velar hambat bersuara [g] umumnya ditambahkan sebelum bunyi vokal [a] pada awal kata itu, misalnya afi → gafi ‘sayap’.
Apabila sebuah nomina terdiri atas dua suku kata dan diawali oleh bunyi vokal [e] yang diikuti oleh bunyi konsonan alveolar aproximan bersuara [l] atau [r], maka bunyi konsonan velar hambat bersuara [g] ditambahkan sebelum bunyi vokal [e] pada awal kata itu, sebagaimana tampak pada eha → geha ‘batuk’.
Apabila sebuah nomina terdiri atas dua suku kata dan diawali oleh bunyi vokal [∂] yang diikuti oleh bunyi konsonan alveolar aproximan bersuara [l], konsonan bilabial nasal [m], atau vokal [∂] maka bunyi konsonan velar hambat bersuara [g] ditambahkan sebelum bunyi vokal [∂] pada awal kata itu, sebagaimana tampak pada ömö → gömö ‘utang’.
Bunyi konsonan velar hambat bersuara [g] ditambahkan sebelum bunyi vokal [u] pada awal nomina yang terdiri atas dua suku kata dan diawali oleh bunyi vokal [u] yang diikuti oleh bunyi konsonan alveolar aproximan bersuara [l] atau [r], bunyi [ndr], [mb], atau bunyi [t], misalnya uro → guro ‘udang’.
3.1.2 Perubahan bunyi konsonan (dari tidak bersuara menjadi bersuara)
Bunyi konsonan alveolar frikatif tidak bersuara [s] yang mengawali nomina yang terdiri atas dua suku kata berubah menjadi bunyi konsonan alveolar frikatif bersuara [z]. Perubahan bunyi [s] menjadi [z] tidak dipengaruhi oleh bunyi vokal yang mengikuti bunyi konsonan [s] di awal kata, misalnya simbi → zimbi ‘rahang’.
Bunyi konsonan labio-dental frikatif tidak bersuara [f] yang mengawali nomina yang terdiri atas dua suku kata berubah menjadi bunyi konsonan bilabial aproximan bersuara [ß]. Perubahan bunyi [f] menjadi [ß] tidak dipengaruhi oleh bunyi vokal yang mengikuti bunyi konsonan [f] di awal kata. Ini berarti bahwa vokal apa pun yang mengikuti bunyi konsonan [f] di awal kata, bunyi konsonan [f] harus menjadi bunyi konsonan [ß], misalnya feto → weto ‘enau’.
Bunyi konsonan alveolar hambat tidak bersuara [t] yang mengawali nomina yang terdiri atas dua suku kata berubah menjadi bunyi konsonan alveolar hambat bersuara [d]. Perubahan bunyi [t] di awal nomina menjadi [d] tidak dipengaruhi oleh bunyi vokal yang mengikuti konsonan [t] itu, misalnya talu → dalu ‘perut’.
Bunyi konsonan velar hambat tidak bersuara [k] yang mengawali nomina yang terdiri atas dua suku kata berubah menjadi bunyi konsonan velar hambat bersuara [g]. Perubahan bunyi [k] di awal nomina menjadi [g] tidak dipengaruhi oleh bunyi vokal yang mengikuti konsonan [k] itu, misalnya kara → gara ‘batu’.
3.1.3 Perubahan bunyi konsonan bersuara menjadi bunyi konsonan bersuara lain
Bunyi konsonan alveolar hambat bersuara [d] yang mengawali nomina yang terdiri atas dua suku kata berubah menjadi bunyi konsonan dento-alveolar hambat bersuara [ndr]. Perubahan bunyi [d] di awal nomina menjadi [ndr] tidak dipengaruhi oleh bunyi vokal yang mengikuti konsonan [d] itu, misalnya dege → ndrege ‘batas’.
Bunyi konsonan bilabial hambat bersuara [b] yang mengawali nomina yang terdiri atas dua suku kata berubah menjadi bunyi konsonan bilabial getar bersuara [mb]. Perubahan bunyi [b] di awal nomina menjadi [mb] tidak dipengaruhi oleh bunyi vokal yang mengikuti konsonan [b] itu, misalnya böbö → mböbö ‘ikat’.
* Drs. Wa’özisökhi Nazara, M.Hum. adalah Dosen/Pembantu Ketua I pada STBA Prayoga Padang. Tulisan ini telah diterbitkan oleh APTISI Wilayah X-A (KOPERTIS Wilayah X) di Jurnal AKADEMIKA Volume 11 No.2: Oktober 2007
Bersambung ke bagian 3 …..