Mencegah Ekonomi Karam
Oleh Wim Tangkilisan*
Krisis finansial yang mulai merembet ke pilar perekonomian lainnya, merupakan tantangan berat bagi pemerintah. Mencegah agar krisis 1998 tak terulang, menjadi fokus utama, di tengah resesi yang mulai dialami sejumlah negara saat ini. Indonesia yang bersiap menghadapi pemilu tahun depan, tentu berharap memiliki pemerintahan baru (dan DPR baru tentunya) yang tanggap merumuskan kebijakan taktis dan terukur, agar perekonomian tak karam.
Harapan itu sangat logis, mengingat krisis saat ini sejatinya menyimpan potensi daya hancur terhadap perekonomian yang lebih dahsyat bila dibandingkan dengan krisis satu dekade silam. Pasalnya, kali ini ada faktor Amerika Serikat (AS) yang menjadi korban utama dari krisis. Terlepas dari berbagai kelemahan dan kritik terhadap praktik ekonomi di negara itu, kita masih harus mengakui posisi AS sebagai patron perekonomian global belum tergeser.
Dengan ambruknya AS, ibaratnya tak ada yang bisa diandalkan menjadi penyelamat pada saat krisis. Bila sepuluh tahun lalu, AS bisa tampil mengulurkan bantuan, kini justru banyak negara yang terseret jatuh terkena dampak dari krisis yang dialami negeri Paman Sam itu.
Kita pun menyadari level krisis kali ini begitu dalam. Siapa yang menyangka lembaga investasi terbesar di dunia, Lehman Brothers akhirnya tekuk lutut. Orang pun terkejut mendengar kabar Citigroup terpaksa menerima dana bailout dari pemerintah US$ 20 miliar, dan memperoleh fasilitas penjaminan aset-aset bermasalahnya hingga US$ 306 miliar.
Krisis yang memelintir sendi-sendi sektor finansial tersebut, telah bermetamorfosis menjadi krisis total. Sehingga tak mengherankan manakala the big three produsen otomotif di AS, yakni Ford, General Motors, dan Chrysler, mengiba kepada Kongres AS, dana bailout senilai US$ 25 miliar. Kongres pun mematok adanya rencana bisnis yang memadai sebagai imbal atas bailout yang bakal digelontorkan.
Tak hanya sektor otomotif yang terkoyak, sektor riil lainnya pun limbung. Akibatnya, daftar perusahaan yang bakal memutuskan hubungan kerja dengan karyawannya pun mengular.
Perkembangan terbaru, AS dinyatakan telah mengalami resesi sejak Desember 2007. Parameternya tak semata diukur dari kontraksi ekonomi selama dua kuartal berturut-turut, tetapi melihat angka pengangguran sebagai faktor penentu utama.
Memang berdasarkan data, pengangguran di AS meningkat dalam tiga bulan terakhir, dan mencapai puncaknya pada Oktober lalu dengan jumlah 10,08 juta orang, atau 6,5 persen dari total 155 juta angkatan kerja.
Dengan demikian, tampak nyata kedalaman krisis di AS, setelah dua sektor usaha utama mereka, yakni finansial dan otomotif terpukul hebat. Negara lain pun pada akhirnya mengidap persoalan yang mirip, yakni terpuruknya sektor finansial, dan sektor riil yang mulai tertatih-tatih.
Mencermati kenyataan tersebut, memang kurang bijaksana menempatkan AS ibarat sumber solusi dari seluruh problema perekonomian dunia. Sebab, harus disadari krisis yang berkembang, justru berawal dari mazhab ekonomi pasar liberal yang dilakoni AS. Lemahnya intervensi negara untuk mengatur praktik ekonomi modern, menjadikan semua seolah tak terkendali.
Dengan demikian, AS-lah yang saat ini membutuhkan solusi atas apa yang dialami. Oleh karena itu, terbukti apa kata pepatah, “Di atas langit masih ada langit.” Tak ada satu pun negara di muka bumi ini yang jawara secara absolut di segala bidang. Niscaya, akan ada kekuatan ekonomi baru yang muncul menjadi lokomotif penghela perekonomian global kembali ke relnya. Dipastikan, lokomotif itu bukan lagi AS.
Belajar dari Krisis
Bagaimana dengan Indonesia? Satu catatan penting, bahwa krisis satu dekade silam menjadi pengalaman sangat berharga. Berbagai kelemahan sistemik dalam manajemen krisis, seharusnya dapat diantisipasi sejak dini, agar dampak berganda yang umumnya menyertai setiap krisis sektor finansial, bisa dihindari.
Hal itulah setidaknya yang bisa kita cermati pada kala Bank Indonesia dan pemerintah kompak mengatasi kesulitan yang dialami Bank Century pertengahan November lalu. pada saat sejumlah lembaga keuangan terkemuka di AS bertumbangan, Indonesia mampu mencegah, sehingga tidak menimbulkan efek negatif berantai di sektor perbankan yang sungguh mengerikan.
Memang skala bisnis Bank Century bila dibanding Lehman Brothers, bak bumi dan langit. Namun, cara penyelamatan yang dilakukan pemerintah dan BI, cukup terukur, sehingga bisa terhindar dari malapetaka krisis kepercayaan terhadap sistem keuangan di dalam negeri.
Terbukti Bank Century mampu beroperasi secara normal, di sisi lain kepercayaan nasabah dan masyarakat terhadap perbankan nasional tidak goyah. Jelas, kecermatan dalam mengatasi krisis likuiditas yang terjadi di Century tak lepas dari pengalaman saat menyembuhkan sektor perbankan 10 tahun silam. Tinggal sekarang BI dan pemerintah sungguh-sungguh menelisik pelanggaran yang dilakukan manajemen dan pemegang saham pengendali Bank Century.
Kasus Century, tentu belumlah seberapa dibanding luasnya cakupan krisis yang terjadi saat ini. Sebagaimana yang terjadi saat pada 1997-1998, krisis finansial bermetamorfosis menjadi krisis di seluruh elemen ekonomi.
Kini kita sungguh-sungguh memerlukan strategi jitu agar bahtera ekonomi nasional tak karam. Tren ekonomi global saat ini menyeret banyak perekonomian ke tengah pusaran krisis yang mahadahsyat.
Data yang dilansir mengenai proyeksi pemutusan hubungan kerja (PHK), sungguh mencengangkan. Organisasi Perburuhan Internasional (ILO), misalnya, melansir perkiraan sekitar 210 juta orang di seluruh dunia bakal menganggur pada akhir 2009, naik 20 juta orang dari data 2007. Jumlah 210 juta itu setara 3 persen dari total populasi dunia, yang kini diperkirakan 6 miliar jiwa. Data itu cukup menggambarkan daya rusak krisis saat ini terhadap konstruksi ekonomi dunia yang dibangun bertahun-tahun lamanya.
Menyimak statistik ekonomi, sebenarnya menunjukkan kondisi perekonomian kita belum separah negara-negara lain, yang umumnya sudah memasuki ambang resesi.
Dalam kaitan ini, Badan Pusat Statistik mencatat, pertumbuhan ekonomi nasional pada kuartal III tahun 2008 sebesar 2,5 persen jika dibanding kuartal sebelumnya. Sementara pertumbuhan jika dibanding periode yang sama tahun sebelumnya pertumbuhannya mencapai 6,1 persen.
Prioritas Kebijakan
Untuk menyelamatkan perekonomian domestik dari tarikan pusaran krisis, prioritas yang harus ditempuh pemerintah adalah memberi ruang bagi sektor riil untuk tetap bergerak. Hapus semua hambatan yang mencengkeram dunia usaha dengan merumuskan stimulus yang tepat.
Mengapa dunia usaha yang diprioritaskan? Karena pergerakan dunia usaha memiliki dampak berganda yang luar biasa terhadap ekonomi, antara lain berupa peningkatan produksi, mempertahankan tingkat penghasilan masyarakat, serta menjaga daya serap atau konsumsi.
Mencermati kondisi khas yang terjadi di Indonesia saat ini, ada beberapa hal yang bisa direkomendasikan agar dilakukan pemerintah bersama Bank Indonesia (BI) tentunya. Langkah dimaksud, antara lain menurunkan suku bunga BI Rate. Persoalan suku bunga menjadi krusial, karena menyangkut biaya atas fasilitas pendanaan yang dibutuhkan sektor riil. Di sisi lain, suku bunga yang tinggi menyebabkan sistem finansial menjadi kaku, tidak luwes dalam menyikapi kebutuhan dan perkembangan yang terjadi di ekonomi riil.
Dalam kondisi darurat, pilihan paling bijak yang bisa ditempuh BI adalah menurunkan bunga BI Rate. Dengan satu bulan tersisa, BI sudah bisa memperhitungkan berapa laju inflasi tahun ini, sehingga bisa lebih menajamkan kebijakannya untuk membantu sektor riil, dengan sedikit melonggarkan kebijakan moneternya.
Langkah lain yang perlu ditempuh adalah menurunkan harga bahan bakar minyak (BBM), termasuk solar. Penurunan harga premium Rp 500 per liter mulai 1 Desember lalu, tak memberi dampak yang meringankan perekonomian secara keseluruhan. Dampaknya hanya sebatas pada konsumsi rumah tangga.
Dengan melihat perkembangan harga minyak dunia yang terus turun hingga di bawah level US$ 50 per barel, cukup ruang bagi pemerintah untuk kembali menurunkan harga premium dan solar. Khusus solar, penurunan harganya diyakini akan memberi dampak positif pada ekonomi nasional. Sebab, solar sangat dibutuhkan untuk angkutan penumpang umum, angkutan barang dan nelayan.
Pemerintah juga bisa melihat kemungkinan insentif perpajakan (termasuk bea masuk). Sebab, Dirjen Pajak Departemen Keuangan, Darmin Nasution, telah meyakinkan bahwa penerimaan pajak tahun ini diperkirakan 5 persen di atas target APBN Perubahan 2008. Darmin memperkirakan pihaknya akan mampu membukukan sekitar Rp 560 triliun, melampaui target Rp 534,5 triliun. Optimisme itu didasari kenyataan, hingga akhir Oktober lalu penerimaan pajak mencapai Rp 463 triliun.
Dengan perhitungan itu, pemberian insentif pajak, tak akan mengganggu penerimaan negara. Justru sangat diperlukan untuk menopang pergerakan sektor riil, guna menyelamatkan perekonomian domestik.
Selaras dengan itu, percepatan pencairan anggaran belanja pemerintah di APBN, sangat krusial untuk menghela roda ekonomi. Realisasi proyek pemerintah yang dibiayai APBN, akan menghidupkan elemen-elemen ekonomi penunjang di masyarakat.
Pemerintah harus menyadari, bahwa situasi krisis ekonomi di mana pun, pemerintah adalah sumber solusi. Sebab, sendi-sendi sektor swasta lumpuh. Kesadaran itu harus diwujudkan dengan cara pandang dan tindakan di luar kelaziman, namun terukur.
*Penulis adalah Pemimpin Umum Suara Pembaruan
Sumber: Suara Pembaruan