Sjahrir, `Pemberontakan` Ditutup Senyum Tenang
Jakarta – Puluhan pelayat mengiringi kepergian Dr Sjahrir ke tempat peristirahatan terakhirnya di Blok AAI, Taman Pemakaman Umum (TPU) Tanah Kusir, Jakarta Selatan, Selasa.
Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) bidang ekonomi itu dimakamkan sekitar pukul 08.20 WIB setelah jenazahnya dilepas oleh Ketua Wantimpres, Ali Alatas, dari rumah duka Jalan Sukabumi No 15, Menteng, Jakarta Pusat.
Usai pemakaman, Sahabat dekat Sjahrir, Emil Salim, menyampaikan kata-kata kenangan tentang ekonom yang diingatnya sebagai orang tidak pernah berhenti berjuang.
Meski dirinya kian lemah digerogoti kanker paru, Sjahrir tetap bersikeras menjalani harinya seperti orang tidak berpenyakit.
“Ada sikap membantah. Sebulan lalu, bahkan fighting spiritnya masih tinggi, ingin hadir pada pernikahan Pandu, anaknya,” tutur Emil.
Emil yang mendampingi keluarga Sjahrir ketika pendiri Partai Indonesia Baru (PIB) itu menghembuskan napas terakhir di RS Mount Elizabeth, Singapura, Senin pagi, juga mengisahkan pemberontakan dilakukan Sjahrir mengatasi penyakitnya.
“Tanggal 24 Juli lalu, Sjahrir mulai mengomel, minta gado-gado dan minta dicopot semua alat-alat di tubuhnya itu,” ujarnya.
Saat itu, Emil mengatakan, ia senang karena kebangkitan dan semangat Sjahrir itu menandakan proses kesembuhan.
“Tapi ternyata, naiknya semangat itu kemudian meluncur ke bawah, sehingga napasnya tinggal satu per satu,” kata Emil.
Mantan menteri Lingkungan Hidup pada era orde baru itu mengenang Sjahrir sebagai orang yang selalu bersemangat berbicara tentang keadilan.
“Jika berbicara tentang ekonomi, adil adalah jiwanya. Sedangkan kemakmuran, katanya, bisa dibangun,” kata Emil.
Sampai hari terakhirnya di Wantimpres, lanjut dia, Sjahrir selalu berbicara bersemangat tentang ekonomi berkeadilan.
Usai Emil, putra Sjahrir, Pandu, menyampaikan kata-kata kenangan tentang ayahnya.
Pandu menuturkan kalimat yang dipesankan Sjahrir pada hari pernikahannya pada Juni 2008.
Ayahnya berpesan agar ia mencontoh sikap hidupnya yang menjalani setiap hari seolah hari terakhirnya berada di dunia.
“Ayah berpesan agar saya menemukan apa yang paling saya sukai di hidup ini. Lalu, ia meminta saya bekerja sekeras mungkin dalam bidang yang saya cintai itu,” tuturnya.
Pandu mengatakan, sosok Sjahrir seperti yang dipesankan kepadanya itulah yang ia kenal selama ini.
“Itulah ciri-ciri Bapak saya, meski di ekonomi atau politik, ia menemukan apa yang ia sayangi dan setia setiap hari menekuni itu,” ujarnya.
Pandu menuturkan saat-saat terakhir Sjahrir berjuang melawan penyakit di Singapura.
“Kita melihat tekanan darah tiba-tiba turun. Yang aneh, beliau seperti senyum, tidak ada perasaan sakit dan takut. Yang menangis justru kita, karena belum siap ditinggal pergi,” ungkapnya.
Hadir pada pemakaman Sjahrir di antaranya Menteri Perhubungan Jusman Syafii Djamal, tokoh-tokoh senior seperti Jakob Oetama, serta rekan sesama anggota Wantimpres.
Istri Sjahrir, Kartika, serta dua anaknya Pandu dan Gita tampak tegar mengikuti prosesi pemakaman.(*) (Ant/29/07/08)