Tsunami dari Longsoran Mengintai
Tulisan ini merupakan artikel yang dimuat di situs Suara Pembaharuan dalam rubrik Sorotan beberapa waktu lalu. Karena keterbatasan tempat, maka foto tidak bisa ditampilkan. Untuk melihat tayangan foto dan peta, silakan Anda membuka situs yang tertera di catatan narasumber. (Redaksi/katitira)
Pengantar
Indonesia dikenal sebagai negeri “kaya” bencana alam. Meletusnya Gunung Krakatau di Selat Sunda pada 27 Agustus 1883 dan gempa yang mengakibatkan tsunami pada 26 Desember 2004 di Aceh menjadi catatan sejarah bencana yang tergolong terbesar di dunia. Bangsa ini sepertinya tidak mau belajar dari sejarah, sehingga ketika bencana berulang, korban jiwa maupun kerusakan yang parah sulit dihindari. Masalah ini diulas wartawan SP, Willy Masaharu dan Erwin Lobo dalam tulisan berikut:
Tsunami yang diakibatkan gempa berskala 8,7 skala richter (SR) di barat Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan dua gempa besar di Kepulauan Nicobar dan Andaman, India, yang terjadi dalam selang waktu sekitar dua jam kemudian, menewaskan sekitar 150.000 penduduk di kawasan Asia Tenggara dan Asia Selatan. Catatan sejarah gempa di Mentawai menyebutkan, kepulauan ini pada tahun 1833 pernah diguncang gempa berkekuatan 9 SR.
Periode pengulangan gempa di wilayah ini terjadi setiap 200 tahun. Bila wilayah tersebut sampai terguncang gempa besar lagi, maka daerah yang akan terkena dampaknya bukan hanya Padang dan Bengkulu, tapi juga Singapura dan Jakarta, yang masing-masing berjarak lebih kurang 300 km dan 600 km dari sumber gempa itu.
“Prediksinya seperti itu,” kata peneliti dan pakar kegempaan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Danny Hilman Natawidjaja, saat berbincang dengan SP, di Jakarta, Jumat (7/3).
Dua kota besar ini, katanya, daratannya terdiri dari tanah aluvial, hasil sedimentasi, dan reklamasi. Adanya gelombang besar yang merambat sampai di lapisan tanah ini dapat menjadi besar atau teramplifikasi, memberi dampak yang parah.
Bahaya tsunami juga mengancam wilayah Padang dan Bengkulu di masa mendatang. Gempa yang berpusat di sekitar Mentawai akan menimbulkan tsunami yang bakal menerjang ibu kota Sumatera Barat dalam waktu 10 menit setelah gempa terjadi.
Ancaman gempa besar dan tsunami di pantai barat Sumatera ini, menurutnya, bukan hanya datang dari Pulau-pulau Pagai Utara dan Pagai Selatan, tapi juga pulau lain di gugusan Kepulauan Mentawai, yaitu Pulau Sipora yang terguncang gempa tahun 1600-an dan Siberut di tahun 1797.
“Sejak itu keduanya tertidur panjang untuk menghimpun kekuatan. Saat ini, kondisi keduanya sudah cukup ‘matang’ untuk sewaktu-waktu mengadakan serangan kembali,” katanya.
Artinya, dia menerangkan, proses pengumpulan energi di dua pulau itu sudah cukup besar yang mampu ditahan oleh struktur geologi di bawahnya. “Kondisi ini diibaratkan seseorang menekan pegas ulir secara mendatar dari satu sisi. Bila dia tidak kuat lagi menekan pegas itu, maka ia akan terdorong ke belakang dan pegas akan meregang kembali ke posisi semula,” ujarnya.
Ketika terjadi gempa berkekuatan 7,6 SR di Pulau Simeulue, NAD, tahun 2002, Danny mengemukakan, sebenarnya sudah mencemaskan bahwa guncangan itu akan memicu sistem kegempaan di pulau-pulau yang berada di sebelah selatannya, seperti Pulau Nias yang pernah dilanda gempa berkekuatan 8,5 SR pada tahun 1861. Hal itu disebabkan karena gempa di Simeulue merupakan pragempa yang akan menaikkan tekanan blok di sebelahnya.
“Ibaratnya pulau-pulau itu bekerja sama dan berbicara satu sama lain. Ketika satu blok terkena gempa, ada daerah antara blok sebelahnya yang tegang atau mengalami shadow stress,” tuturnya.
Namun, yang terjadi dua tahun kemudian, gempa Simeulue itu justru memicu bagian lempeng di utaranya yang mengakibatkan kehancuran di Meulaboh dan Banda Aceh. Hal itu bisa terjadi, karena dorongan lempeng Indo-Australia dari arah selatan terhadap lempeng Eurasia di utara menyerong ke arah barat laut, mengarah ke Teluk Andaman. Diakui Danny, selama ini penelitian gempa di Simeulue dan pantai barat NAD tidak dilakukan, karena kendala faktor politis dan keamanan. Dengan meneliti bentuk dan struktur lapisan karang itu dapat diketahui Kepulauan Mentawai pernah dilanda gempa besar pada tahun 300-an, 1360, dan 1610.
Selama mengalami proses penekanan oleh lempeng, pulau-pulau kecil itu bergerak mendekat ke Sumatera. Namun, kala terjadi gempa tektonik yang menyebabkan energi yang menekan itu lepas, maka pada saat bersamaan pulau-pulau yang tertekan dan mendekat ke pulau Sumatera itu terlempar menjauh ke posisi semula.
Hal ini dapat diketahui berdasarkan data dari sensor global positioning system (GPS), yang menunjukkan jarak antarpulau itu dari waktu ke waktu. Ketika proses penekanan oleh lempeng samudera Indo-Australia yang berada di bawah Samudera Hindia berlangsung selama puluhan hingga ratusan tahun, pulau-pulau itu akan cenderung menurun 2-3 meter sedangkan pantai dalam penelitian gempa tektonik di pesisir barat Sumatera.
Peringatan
Pemasangan peringatan itu harus dikaitkan dengan analisis pascagempa. Bila jajaran pulau mulai dari Simelue, Kepulauan Nicobar, hingga ke Kepulauan Andaman terangkat setelah diguncang gempa tektonik, maka ancaman gempa dan tsunami kemungkinan baru akan muncul lagi 200 hingga 300 tahun lagi.
Laporan sementara menyebutkan, selain Simeulue, Nicobar juga terangkat tiga meter. Bila semua pulau itu terangkat, itu artinya ancaman sudah lewat di kawasan itu. Kini, yang justru harus mendapat perhatian adalah pulau-pulau di sebelah selatan Simeulue. Jaringan pemantau dan peringatan dini gempa bumi dan tsunami (tsunami early warning system) harus dibangun di bagian selatan pulau di NAD itu. Dan kalau dibangun sistem peringatan dini tsunami harus yang memiliki kecepatan penyampaian datanya di bawah 10 menit begitu gempa muncul.
Hal ini dikaitkan dengan jarak pertemuan lempeng samudera relatif dekat dengan daratan Sumatera. Bila gempa tektonik terjadi di Mentawai, maka dalam waktu 10 menit gelombang pasang yang ditimbulkannya sudah sampai di Padang.
Ditanyakan prediksi tsunami di Bengkulu dan Padang, Danny menjelaskan, untuk wilayah Bengkulu, tsunami bisa lebih tinggi 7 meter dan sepanjang 3 km dari bibir pantai.
Bengkulu memiliki dataran tinggi sehingga potensi tsunami mengalir lebih jauh ke perkampungan lebih kecil. Namun, jika menggunakan skenario terburuk dengan gempa kekuatan 9 SR, tsunami yang terjadi di Padang setinggi 5 meter dan sepanjang 2 km.
“Saya berharap masyarakat bersiap jika merasakan gempa yang guncangannya lebih besar ketimbang gempa sebelumnya. Jadi, mereka tidak usah menunggu peringatan dari BMG atau siapa pun,” ujarnya.
Longsor Bawah Laut
Ancaman tsunami yang dipicu oleh gempa ternyata belum berakhir. Tim dari Institut de Physique du Globe (IPG) de Paris, Prancis, yang bekerja sama dengan sejumlah peneliti dari LIPI, baru-baru ini melakukan penelitian struktur dasar laut perairan barat Sumatera. Hasilnya terbilang fenomenal. Longsor bawah laut ternyata amat berpotensi menimbulkan tsunami.
“Pemicu tsunami mungkin tak hanya gempa besar berkekuatan di atas 6,5 SR dan berpusat di kedalaman kurang dari 10 kilometer seperti yang menjadi acuan selama ini. Longsor bawah laut yang dapat dipicu gempa kecil juga patut diwaspadai sebagai pemicu tsunami, bahkan risikonya lebih besar,” kata Direktur Institut de Physique du Globe (IPG) de Paris, Prancis, Satish Singh, saat memaparkan penelitiannya, di Jakarta, Jumat (7/3).
Penelitian itu menemukan penumpukan endapan material di lereng bawah laut pulau-pulau di Kepulauan Mentawai, sebelah barat Sumatera, yang berisiko runtuh sewaktu-waktu. “Endapan dari pulau menumpuk di lereng bawah laut. Proses ini terjadi terus-menerus dan suatu saat akan bergerak jatuh,” ujarnya.
Padahal, terangnya, endapan tersebut terkumpul di lereng yang terjal sehingga jika terjadi longsor sangat berpeluang memicu tsunami. “Bahkan tsunami yang lebih besar,” katanya.
wilayah cakupan penelitian meliputi daerah sepanjang 500 km pada segmen Timur Laut Kepulauan Mentawai. Data terbaru, jelasnya, menunjukkan adanya serangkaian patahan balik aktif (back thrust) Timur Laut Kepulauan Mentawai.
Penelitian ini juga mengungkapkan bahwa patahan balik dapat diaktifkan gempa kekuatan kecil dan memicu longsor bawah laut. Danny berharap, pemerintah mau memperhatikan temuan penting ini.
Selain itu, penyadaran dan sosialisasi tentang bencana alam harus dilakukan lewat kurikulum ilmu kebumian mulai dari tingkat SLTP bahkan SD. Selama ini yang diajarkan lebih ditekankan pada eksplorasi dan eksploitasi hasil bumi, dan kurang mengangkat hal yang berkaitan dengan potensi bencana dan upaya agar terhindar dari bencana itu. *
Sumber:http://www.suarapembaruan.com/News/2008/03/12/Sorotan/sorot01.htm, OL tgl. 12/03/2008 (DE)