THE GLOBAL NEXUS — Sibernetika Indonesia dan AS
Oleh Christianto Wibisono
Harian Kompas Sabtu, 1 Maret 2008 memuat tulisan Budiman Sudjatmiko perihal sibernetika alias politik dan Budiarto Shambazy menulis tentang Obama Fans Club di SD Besuki. Sabtu pagi saya menghadiri aca- ra pemberian gelar Doktor Kehormatan Ilmu Tehnik kepada Ir Ciputra oleh Universitas Tarumanagara dihadiri Mensesneg Hatta Radjasa dan Menteri Perumahan Yusuf Asy’ari. Promotornya adalah Prof Dr Ir Wiratman Wangsadinata, yang sekarang sedang sibuk memimpin Tim Perencana Pembangunan Jembatan Selat Sunda (JSS).Banyak mantan pejabat dan banker yang dulu menjadi kreditor pertama Ir Ciputra hadir, mulai dari Rachmat Saleh. Juga Adrianus Mooy, Iskandar Alisyahbana dan pengusaha kakap seperti Murdaya Poo, The Nien King. Perlu dicatat bahwa ketika Ciputra baru melangkah ke dunia bisnis, pengusaha nasional AM Dasaad dan Hasyim Ning sudah menjadi “konglomerat”. Hasyim Ning dijuluki Henry Ford atau raja mobil Indonesia dan menjadi komisaris serta pemegang saham yang turut memodali PT Pembangunan Jaya bersama Pemerintah DKI.
Dari basis itu Ciputra sukses mengembangkan Ancol sebagai taman wisata ketiga setelah Disneyland Los Angeles dan Disneyland Tokyo serta pengembang ranking puncak. PT Jaya merupakan BUMD go public terbesar di Indonesia dan Group Ciputra pribadi sekarang bergerak di sektor pendidikan dalam skala besar. Jelas merupakan kinerja yang pantas memperoleh penghargaan Doktor. Inti pidato promovendus adalah pentingnya pendidikan entrepreneurship untuk mengatasi pengangguran dan tantangan masa depan.
Kelas Obama
Dari Universitas Tarumanegara saya memantau reuni rekan kelas Obama di SD Besuki Menteng. Promotornya Rully Dasaad, cucu AM Dasaad bersama saudara kembarnya Taufik Dasaad, serta Dewi Asmara Oetojo (putri Oetojo Oesman SH, tokoh SOKSI), Sonni Gondokusumo. Mereka berfoto bersama sambil meneriakkan “Beat Hillary” yang akan dikirim ke Tim Sukses Obama. Juru kamera NHK dan stasiun televisi Indonesia sibuk mengabadikan acara spontan tersebut. Budiarto Shambazy tidak muncul karena sibuk mewawancarai salah seorang mantan Presiden RI.
Jum’at sore sebelumnya, Mayjen (Purn) Saurip Kadi meluncurkan buku yang ditulis dalam bentuk wawancara oleh Justiani alias Liem Siok Lan, anak pemilik pabrik rokok Oepet di Malang yang masuk Islam karena dakwah Buya Syafii Marif (mantan Ketua Umum Muhammadiyah). Saurip Kadi bersama alm. Agus Wirahadikusumah adalah dua reformis militer yang mewarisi intelektualitas alm. Letjen Soewarto. Dalang muda Sujiwo Tejo menyumbangkan lagu “Kalau Aku Jadi Presiden” dan menceritakan ramalan suksesi kepresidenan. Pembedah buku yang dimoderatori oleh Bonie Hargens adalah Sukardi Rinakit, La Ode Ida (Wk Ketua DPD) dan DR Rizal Ramli.
Ben Anderson dalam sambutan buku mempertanyakan kenapa Saurip mengidolakan Thaksin dan bukan Lee Kuan Yew, Mahathir dan bukan Hugo Chavez. Jeffrey Winters dengan galak menuntut pengadilan, penghakiman dan penghukuman terhadap 200 tokoh Orde Baru karena dosa KKN maupun pelanggaran HAM. Baru setelah itu bisa dilakukan pengampunan dan rekonsiliasi. Jendral Wiranto menulis:” Kita sepertinya tengah berada dalam kondisi krisis kepemimpinan justru tatkala kesempatan untuk berki- prah di dunia politik makin terbuka lebar di era demokrasi.”
Kemunafikan
Jawabannya adalah realitas politik Indonesia telah mengalami proses money politics yang sangat telanjang dan menjadi rahasia umum, tapi ditutupi oleh kemunafikan dari seluruh elite termasuk yang saling bersaing. Terjadi apa yang disebut solidaritas elite untuk menutupi jual beli politik, aliran dana yang ilegal, dan KKN walaupun sebagian telah dengan sangat radikal ditindak oleh KPK. Demokrasi Indonesia mengoper money politics AS tanpa sistem pengawasan, pengendalian dan koreksi efektif.
Di AS dana kampanye capres ataupun calon pejabat yang dipilih melalui pemilu harus transparan dan diawasi ketat oleh publik. Sebuah LSM, Center for Responsive Politics (CRP) memantau dengan serius, saksama dan berkelanjutan arus dana dari siapa ke capres siapa. Tidak ada satu senpun yang lolos dari penelusuran CRP. Di Indonesia tidak ada pengawasan transparan sehingga para donator bisa menempatkan politisi dalam kondisi “berutang budi” dan untuk membalas budi, akan memberikan proyek dari wewenang yang dimiliki sang pejabat.
Transparansi dan supremasi hukum serta fatsoen politik yang menempatkan rasa malu sebagai satu deterrent dan menggugah sportivitas untuk mengundurkan diri bila sang pejabat telah diragukan karena terlibat kasus, tidak ada di Indonesia dan dunia ketiga lain. Yang ada ialah sifat ngotot kalau berkuasa pasti paling benar, tidak mau disalahkan dan kemudian saling mengetahui rahasia lawan sehingga saling memeras bahwa si A tidak akan berani membongkar si B. Inilah yang masih menjerat Republik Indonesia walaupun telah 10 tahun tidak dipimpin Soeharto.
Tapi “Soeharto-Soeharto kecil” di pelbagai bidang, bukan hanya eksekutif tapi legislatif dan yudikatif semua mempunyai penghasilan transaksional dari wewenang hukum yang dimiliki. Dalam suasana saling peras dan saling mengetahui isi perut lawan politik itu, amat sulit memunculkan kekuatan atau tokoh baru yang relatif bersih dari praktek KKN sejak zaman Orde Baru, bahkan sudah sejak zaman Orde Lama. Negara telah dirambah dan dibajak oleh kaum kleptokrat yang menyalahgunakan wewenang. Inilah yang disebut state capture type of corruption.
Kelas menengah tidak tercipta karena elite birokrat yang terjun ke bisnis hanya bisa bekerja atas dasar captive market, order dan kontrak dari pemerintah melalui APBN atau APBD dan tidak mampu bersaing secara sehat. Ini berlaku juga bagi BUMN yang dibentuk untuk jadi tulang punggung negara, tapi malah merugi atau kondisinya melarat sedang pejabatnya kaya raya. Ini sebabnya banyak BUMN Indonesia yang didirikan jauh sebelum BUMN negara tetangga kondisinya ketinggalan zaman dan peringkatnya kalah dari pendatang yang lebih junior. Sementara konglomerat swasta karena lebih lincah dan lihai memanfaatkan peluang bisnis tumbuh pesat sampai terjadi krismon. Secara politis konglomerat swasta diidentikkan dengan minoritas warga keturunan Tionghoa sehingga tidak mungkin menjadi pengimbang birokrasi seperti dalam sistem demokrasi liberal yang meritokratis. Ketika krismon melanda Asia, seluruh dunia bisnis termasuk yang profesional seperti Ciputra terkena dampaknya.
Setelah 10 tahun dalam keterbukaan, elite tetap mengeluh dan rakyat tetap menderita. Perubahan mendasar sistemik yang diinginkan oleh sebagian elite seperti Budiman Sudjatmiko dan sebagian besar masyarakat hanya akan terwujud bila ada kenegarawanan yang berani dan didukung oleh sistem yang adil dan menghormati meritokrasi. Dengan demikian orang berkualitas seperti Obama bisa muncul walaupun junior, malah berasal dari minoritas tapi mampu memberikan tawaran perubahan dan program kepemimpinan yang disambut hangat oleh masyarakat. Obama muncul karena sibernatika AS memungkinkan suksesnya Obama.. Hanya sistem demokrasi liberal bisa mengorbitkan Obama, sedang sistim oligarki kleptokrasi Dunia Ketiga dan Indonesia hasilnya ya lu lagi lu lagi.
Penulis adalah pengamat masalah nasional dan internasional
Sumber: www.suarapembaruan.com, Last modified: 2/3/08