Merajut Asa, Membangun Kembali Nias
Aluijiduhu (50) berdiri mematung. Kedua matanya menatap buih-buih ombak yang bergulung-gulung menerjang pantai. Dia menarik napas dalam-dalam. “Nias hancur,” ucapnya singkat, saat berbincang dengan SP, beberapa waktu lalu.
Gempa di Nias dua tahun lalu kembali menyeruak di pikirannya. Dia mengatakan, masyarakat Nias harus ikut membangun kembali wilayah mereka yang hancur.
Sekitar pukul 23.00, tatkala kalender menunjuk hari Kamis tanggal 28 Maret 2005, gempa berkekuatan 8,7 pada Skala Richter (SR) itu, yang berpusat di 90 Km tenggara Kota Sinabang di Pulau Simeuleu, Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), pada kedalaman sekitar 30 km, mengguncang daerah-daerah lainnya di kawasan Pantai Barat Sumatera, di antaranya NAD, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Jambi, Sumatera Utara.
Gempa itu adalah hasil pergeseran lempeng-lempeng sepanjang 350 km ke arah selatan. Pergeseran lempeng yang sama pernah menyebabkan tsunami tiga bulan sebelumnya. Lempeng itu kini terperosok 6 meter.
Guncangan itu menyebabkan perubahan permanen pada kondisi geografisnya. Tak kurang dari 900 jiwa melayang, sekitar 6.000 orang terluka, dan 40.000 lainnya kehilangan hunian. Rumah, sekolah dan prasarana hancur.
Sedemikian dahsyatnya gempa itu, sampai-sampai permukaan tanah bagian barat terangkat sekitar dua meter. Desa Bawolato di pesisir timur tenggelam. Seonggok karang di Desa Lahewa sampai terangkat ke atas permukaan laut. Sekitar 1.500 orang mengungsi ke Pulau Hinako.
“Infrastruktur luluh-lantak,” kata Kepala Badan Pelaksana Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)-Nias, Kuntoro Mangkusubroto, di sela-sela peresmian gedung RSU Gunungsitoli Fase I dan II, di Nias, Jumat (9/11). Kuntoro menuturkan, BRR membangun kembali seluruh infrastruktur yang rusak. Setelah semuanya selesai adalah tugas pemerintah daerah untuk memeliharanya.
Menurut Kuntoro, pembangunan rumah bagi rakyat Nias adalah program prioritas. Sampai akhir tahun 2007, sebanyak 15.000 rumah akan selesai dibangun. Sementara, target akhir pembangunan rumah pada 2009 adalah 140.000 unit.
Selain pembangunan rumah, fasilitas listrik juga memegang peranan vital. Namun, infrastruktur kelistrikan yang dibangun BRR NAD-Nias seolah mubazir. Bagaimana tidak, sarana kelistrikan pascabencana di Pulau Nias senilai Rp 42 miliar itu tidak diikuti dengan penambahan sumber daya manusia dari PT Perusahaan Listrik Negara.
“Sayang sekali, kami sudah memperbaiki jaringan listrik tetapi tidak ada penambahan daya. Padahal kami ada dana jika PLN menyetujui pembangunan pembangkit. Tetapi, permintaan kami tidak ada responsnya,” kata Direktur Regional BRR Perwakilan Nias William P Sabandar..
Menurut William, dana senilai Rp 42 miliar itu dipakai merehabilitasi 362 sambungan listrik dengan panjang kabel 72 km telah selesai. BRR juga merehabilitasi 35 travo distribusi yang terpasang di empat kecamatan di Kabupaten Nias dan Nias Selatan.
Dia mengatakan, peluang untuk menambah daya di Nias tidak dimanfaatkan PLN. Padahal, jika mau, BRR telah mengalokasikan dana guna membangun pembangkit baru untuk menambah daya listrik di Nias. “Kami usulkan beli generator baru untuk mencukupi kebutuhan listrik, tetapi tidak ada sambutannya,” katanya.
BRR mengalihkan dana yang semula dialokasikan ke PLN ke proyek pembangunan lain. William mengatakan, BRR sudah membangun pilot project di Kecamatan Alasan, Kabupaten Nias, dan Kecamatan Gomo, Kabupaten Nias Selatan. Di dua daerah itu, BRR membangun pembangkit listrik tenaga mini hidro (PLTMH) yang pengelolaannya diserahkan kepada masyarakat.
“Jika operasional PLTMH di dua daerah ini efektif, maka kami akan mengembangkan untuk daerah lain. Proyek ini lebih efektif daripada harus terbentur pada persoalan birokrasi,” katanya.
William mengemukakan, warga Nias dan Nias Selatan sulit berkembang karena kekurangan listrik. “Banyak rumah yang baru dibangun tidak ada listriknya. Sementara jaringan listrik ke daerah itu sudah diperbarui. Ini (sarana baru) sayang sekali tidak bisa dioptimalkan,” tuturnya.
Salah seorang pelaku usaha yang terpukul akibat krisis listrik, yaitu Agus M Mendrofa. “Bagaimana kami bisa berkembang dan bangkit setelah bencana jika listrik tidak ada,” kata mantan Wakil Bupati Nias itu.
Agus menuturkan, pembangunan pascabencana yang dilakukan BRR memang membuka keterisolasian Nias. “Tapi apakah setelah BRR selesai pada April 2009, Pemkab Nias sanggup memelihara seluruh sarana yang sudah dibangun,” katanya.
Menurut Agus, akselerasi pembangunan di Nias seolah menjadi shock culture bagi masyarakat asli Nias. Bagaimana tidak, sebelum gempa terjadi, Nias merupakan daerah yang terisolir.
Agus mencontohkan, jalan-jalan, gedung sekolah banyak yang rusak. Kini, setelah BRR membangun di Nias, semua jalan mulus, sekolah tidak ada lagi yang rusak. “Nah, yang terpenting bagi Nias adalah menyiapkan segala upaya bagi pemeliharaan seluruh bangunan yang sudah berdiri. Warga Nias harus melihat harapan baru. Harapan agar mau melihat ke luar,” katanya.
Ditanyakan salah satu potensi yang mampu membuka keterisolasian Nias, Agus menegaskan, pemkab Nias dan Nias Selatan harus memacu pertumbuhan sektor pariwisata. “Pariwisata bisa menjadi andalan Nias. Apalagi, ada wilayah di Nias yang ditetapkan sebagai warisan dunia (world heritage),” katanya.
Mungkin, sebelum BRR mengakhiri tugasnya, ada baiknya Pemkab Nias dan Nias Selatan mau ikut berbenah diri. Misalnya, dengan memperkuat tata kelola pembangunan yang transparan, akuntabel, dan komitmen yang kuat mulai dari aparatur pemerintah daerah hingga masyarakatnya untuk mau melakukan penguatan internal pembangunan. [SP/Willy Masaharu]
Sumber: Suara Pembaruan, 5 Desember 2007