Wawancara Dengan Dr. William P. Sabandar – (4)
Kesehatan
Rumah sakit yang baru saja dibangun di Gunungsitoli kelihatan jauh lebih megah dan layak sebagai rumah sakit daripada gedung rumah sakit lama. Apakah BRR Nias akan membangun hal yang sama untuk Nias Selatan ?
RS Lukas di Nias Selatan telah masuk dalam perencanaan untuk perbaikan. Tahun ini proses perbaikan mulai dilaksanakan. Perbaikan rumah sakit ini sebenarnya bisa lebih cepat terjadi jika terdapat kepastian dan koordinasi yang lebih cepat dengan Pemkab Nias Selatan.
RSU Gunungitoli dikembangkan sebagai pusat rujukan yang melayani baik di Nias maupun Nias Selatan. Rumah sakit ini berada pada jenjang teratas dari sistem kesehatan berjenjang yang kami kembangkan di Kepulauan Nias.
RS Lukas yang mulai diperbaiki berada satu jenjang di bawah RSU Gunungsitoli, yaitu berfungsi sebagai rumah sakit pembantu di Nias Selatan.
Selain pembangunan fisik yang sudah dilakukan, apakah BRR Nias juga memikirkan aspek operasional rumah sakit ini dan keberlangusngannya ke depan ? Apakah tenaga dokter, perawat dan manajemen menjadi bagian tak terpisahkan dari RR Nias di bidang kesehatan ?
Pengembangan sistem keehatan berjenjang di Nias melibatkan bukan hanya BRR tetapi banyak lembaga dan Negara donor. Sebagai misal, pembangunan fisik RSU Gunungsitoli merupakan sumbangan dari Mercy Malaysia (Fase I), Pemerintah China (Fase II), dan Pemerintah Jepang (Fase III).
Sedangkan untuk pengembangan SDM kesehatan, BRR memberikan beasiswa studi lanjut dokter spesialis, dokter umum, manajemen kesehatan dan perawat. BRR juga membangun berbagai infrastuktur lain sebagai bagian dari pengembangan kesehatan berjenjang, yakni Puskemas Plus, Puskesmas rawat jalan, Pustu dan Polindes. Selain itu pengmbangunan gedung farmasi dan gedung pendukung kesehatan lainnya.
RSU Gunungsitoli yang baru saja diserahkan kepada Pemkab Nias didesign sebagai rumah sakit pedesaan dengan biaya operasional yang minimal. Meskipun demikian, kami memandang penting komitmen pemerintah pusat dan pempov Sumut untuk memberikan perhatian dan bantuan untuk pengembangan kesehatan Nias pada masa mendatang. Dalam berbagai kesempatan kami menyampaikan hal ini.
Rumah Sakit Umum Gunungsitoli – Fase I
Manajemen dan Efisiensi Program-Program BRR
Dalam berita tertanggal 2 Oktober di blog BRR Nias (http://news-brr-nias.blogspot.com/) disebutkan mengenai restrukturisasi organisasi BRR Perwakilan Nias, perubahan mana dimaksudkan “untuk menjawab tantangan-tantangan baru organisasi, yaitu meningkatnya pekerjaaan yang tidak sejalan dengan penguatan organisasiâ€. Bisakah Pak Willy menjelaskan Struktur BRR Perwakilan Nias dengan Fungsi dan Pejabatnya masing-masing ?
BRR adalah sebuah lembaga sementara. Salah satu tugas utamanya adalah mengembangkan kelembagaan masyarakat dan pemerintah daerah. Jadi, bukan sebaliknya mengembangkan kelembagaan BRR itu sendiri. Struktur BRR Perwakilan Nias misalnya sangat fleksibel dan dapat berubah setiap saat disesuaikan dengan kebutuhan.
Perubahan yang kami lakukan pada awal tahun 2006 adalah untuk merespon kebutuhan baru terkait regionalisasi BRR dan otonomi yang lebih besar yang diberikan kepada BRR Perwakilan Nias. Wujudnya seperti pembentukan 2 distrik di Nias dan Nias Selatan. Organisasi proyek (satuan kerja) yang dipisahkan di Nias dan Nias Selatan.
Selain itu, pada tahun 2006 juga terjadi peningkatan pengelolaan keuangan dan adanya kebutuhan untuk kontrol dan pengendalian yang lebih besar. Karena itu maka terbentuklah Unit Pengawas Internal selain Satuan Anti Korupsi yang telah lebih dahulu ada.
Pada tahun 2007, organisasi proyek mengalami perubahan lagi, dimana satuan kerja yang dahulu berjumlah 17 kini disederhanakan. Saat ini hanya terdapat 4 Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dan 1 KPA Sekretariat.
Penyederhanaan ini mempemudah kontrol dan pengendalian serta lebih mengefektifkan penggunaan sumber daya. Kami boleh berbangga, organisasi proyek yang ramping ini efektif dan menjadi model pengembangan pengembangan organisasi proyek di NAD.
Saat ini BRR sedang memproses pengurangan karyawan, sejalan dengan persiapan berakhirnya masa tugas BRR pada April 2009. Menjelang berkahirnya masa tugas BRR, beberapa jabatan tidak diperlukan lagi, sehingga ditiadakan. Pengurangan juga diberlakukan terhadap staf biasa yang diseleksi berdasarkan performa dan kebutuhan.
Rumah Sakit Umum Gunungsitoli – Fase II
Pada berita yang sama disebutkan: “Lemahnya pengawasan dan pengendalian berakibat pada tidak sejalannya komitmen pemberantasan KKN dengan kemampuan melakukan penindakan terhadap KKN.†Menurut Pak Willy, apakah restrukturisasi telah meningkatkan kemampuan BRR Nias menekan praktek KKN atau malah sebaliknya ?
Kontrol dan pengendalian terhadap praktek KKN saat ini sebenarnya sudah sangat kuat. Sebagaimana telah kami sampaikan terlebih dahulu, secara ke dalam BRR memiliki Unit Pengawasan Internal dan Satuan Anti Korupsi (SAK). Selain itu, pengawasan dan pengendalian pun datang dari luar lembaga BRR, seperti dari BPK, KPK, BPKP dan lembaga penegak hukum lainnya.
Penindakan yang dilakukan BRR, berkaitan dengan komitmen anti KKN dapat dilihat dari proses hukum terhadap beberapa pejabat atau mantan pejabat proyek BRR yang kini tengah berlangsung. BRR Perwakilan Nias juga telah memutuskan kontrak kepada 14 rekanan/kontraktor.
Dari pernyataan Pak Willy di media massa ada kesan kuat Pak Willy mendorong pengusutan kasus-kasus korupsi di BRR Nias. Yang menjadi pertanyaan adalah: bagaimana sebenarnya mekanisme pengawasan di BRR Nias sehingga masih saja ada oknum yang seakan tidak peduli dengan mekanisme itu dan melakukan korupsi ? Bukankah ini indikasi tidak jalannya sistem pengawasan internal ?
Pendidikan, pengawasan dan penindakan adalah bagian dari upaya pencegahan Korupsi. Ketiganya memiliki nilai yang sama dan saling mendukung dalam upaya pencegahan korupsi.
Dalam budaya KKN yang sangat kuat di Indonesia, Anda tidak bisa mengandalkan salah satu saja lalu berharap semua persoalan korupsi teratasi. Apa yang kami lakukan adalah melaksanakan ketiganya secara berbarengan.
Dalam hal pendidikan, kami bukan hanya memberikan pelatihan dan pengarahan untuk mind-set ke budaya yang bersih kepada seluruh staf dan pelaksana proyek, tetapi juga membuat kebijakan yang secara organisatoris meminimalkan kemungkinan praktek KKN. Hal ini bisa dilihat antara lain, kebijakan pemberian gaji yang lebih besar tetapi tidak ada biaya/tunjangan berupa uang lembur, uang jalan, uang rapat dan tunjangan lainnya. Kampanye di media massa adalah bagian dari upaya edukasi yang bukan hanya ditunjukan kepada BRR tetapi juga bagi lingkungan di sekitar BRR.
Dalam hal pengawasan, terdapat pengawasan internal dan pengawasan eksternal. Untuk pengawasan internal, BRR Perwakilan Nias memiliki Unit Pengawasan Internal (UPI) dan Satuan Anti Korupsi) yang kini merupakan bagian alat dari dewan pengawas BRR. Mereka memiliki kewenangan untuk melakukan pemeriksaan terhadap sebuah projek, mulai dari proses perencanaan hingga berakhirnya masa proyek. Mereka juga menerima pengaduan dari pengawasan masyarakat dan memprosesnya.
Selain itu adalah pengawasan dari eksternal, seperti KPK dan BPK. Pengawasan ini secara rutin dilaksanakan pada setiap program dan proyek. Laporan megenai pengawasan lembaga-lembaga ini dapat diperoleh di lembaga masing-masing.
BRR kini berada di tengah pusaran kepentingan berbagai pihak. Uniknya, semua pihak yang terkait itu justru adalah stakeholder dalam program RR di Nias. Sebagai suatu badan bentukan pemerintah pusat dengan tanggungjawab besar menjawab kebutuhan mendesak masyarakat korban bencana, BRR juga harus berkoordinasi dengan semua badan politik dan pemerintahan di semua level. Mulai dari pusat, propinsi hingga DPRD serta Pemkab Nias dan Nias Selatan.
Kita tidak mentolerir KKN, meskipun bukan berarti dengan demikian BRR menjadi lembaga yang steril korupsi. Ada budaya korupsi yang kuat. Ada kepentingan kelompok dan orang per orang untuk mendapatkan proyek. Ada aspirasi murni masyarakat. Ada juga upaya KKN meskipun dengan suara manis mengatasnamakan aspirasi masyarakat umum.
Belajar dari pengalaman pelaksanaan RR di tahun pertama dan kedua, harapan masyarakat ialah bahwa pelaksaan RR pada tahun ketiga hingga tahun kelima nanti semakin membaik. Peningkatan kinerja BRR Nias ini tentulah terwujud dalam bentuk makin mengecilnya “kebocoran†anggaran BRR. Bisakah Pak Willy memberikan angka-angka, berapa % kebocoran pada tahun pertama (2005), tahun kedua (2006) dan tahun anggaran yang sedang berjalan (2007) ?
Upaya pemberantasan korupsi adalah sebuah kerja besar yang membutuhkan dukungan dan kejujuran dari semua pihak. Kami boleh sedikit lega, jumlah kebocoran anggaran RR Nias sebagai mana laporan dari berbagai badan pengawas (SAK, UPI, SPI, BPKP, BPK) adalah sebesar 1 persen dari total dana Rp.1,3 triliun (2005 dan 2006) atau sekitar Rp. 19 milyar.
Dari total dana Rp. 19 milyar yang bocor tersebut, hingga kini 40 persen telah dituntaskan atau sekitar Rp. 8 milar telah dikembalikan ke negara. Sisanya sedang diproses oleh semua unit internal BRR. Jika tidak ada kerjasama baik, maka kasus-kasus tersebut diserahkan ke polisi dan penegak hukum lainnya.
Sebagai bagian dari penindakan terhadap terjadinya kebocoran ini adalah pemberian status black list kepada 14 kontraktor yang berlaku selama 2 tahun di semua dinas dan departemen pemerintah.
Dalam mengelola projek-projek BRR Nias, apa saja faktor yang menurut Pak Willy menjadi penghambat ? (Sosial – kultural ?)
Masyarakat Nias telah lama miskin dan terkucil karena terlupakan dalam proses pembangunan. Kebijakan pembangunan yang tidak memihak Nias ini berdampak luas bukan hanya terhadap sosial ekonomi, tetapi juga terhadap kohesivitas masyarakat, solidaritas sosial dan termasuk perilaku terhadap perubahan.
Apa yang terjadi sekarang adalah dampak dari ketidakadilan yang terjadi sebelumnya. Dengan kata lain, yang menjadi masalah bukanlah sosial dan kultural tetapi kelemahan dalam program dan kebijakan pembangunan yang terjadi selama ini.
Tantangan kami adalah kompleksitas kemiskinan dan keterisoliran yang mempengaruhi proses rekonstruksi. Apa yang kami alami kini adalah tuntutan kebutuhan yang menyulitkan penetapan prioritas, karena hampir semua sektor sama pentingnya. Masyarakat melihat BRR sebagai dewa yang akan menyelesaikan semua hal pada saat yang bersamaan.
Kebutuhan rekonstruksi pada satu sektor menuntut rekonstruksi pada sektor yang lain, dan seterusnyaa dan seterusnya yang saling terkait satu sama lain.
Pembangunan rumah penduduk atau sekolah yang hancur di suatu desa terpencil sulit dimulai jika tidak tersedia jalan yang memadai untuk mobilisasi logistik. Membangun infrastruktur transportasi yang memakan banyak biaya dan waktu harus berpacu dengan kebutuhan masyarakat untuk pengembangan ekonomi, dan lain-lain.
Saat ini, bahkan pasir dan batu tidak cukup tersedia di Nias. Kapasitas pembangunan yang begitu besar telah mengancam lingkungan. Kami meminta agar kontraktor mendatangkan material pasir dari seberang, tetapi bagaimana dengan nasib kontraktor lokal (kecil) yang tidak memiliki modal besar?
Masalah lain adalah rendahnya kapasitas rekanan/kontraktor, baik mengenai kemampuan melaksanakan proyek maupun kemauan baik melaksanakan pekerjaan secara bertanggungjawab. Hal ini terkait erat dengan budaya KKN yang telah berurat akar. Keadaan ini tidak banyak berbeda dengan upaya berbagai kelompok kepentingan/orang yang menggunakan cara lama untuk mendapatkan peluang bagi kepentingan sendiri.
Pada saat yang bersamaan, kami juga harus berjuang dari dalam untuk mind-set budaya baru di antara para pelaksana proyek yang telah terpatri dengan pendekatan lama pemerintah yaitu “pendekatan proyekâ€. Penerapan standar kualitas tinggi dengan mekanisme kerja yang baru tidak dengan gampang terlaksana jika Anda masih bekerja bersama mereka yang terbiasa dengan budaya kerja sebelumnya.
SIB tertanggal 21 September mengungkapkan kekuatiran Bank Dunia akan Proses Rekonstruksi Nias. Ahya Ihsan, Peneliti Bank Dunia untuk Aceh dan Nias mengatakan: “Alokasi dana sekitar Rp 5 triliun, namun belum terlihat kemajuan karena sebagian besar habis untuk belanja rutin.†Bagaimana pendapat Pak Willy ?
Bank Dunia tidak menyatakan demikian, dan untuk itu Bank Dunia telah memberikan bantahan yang dimuat di harian yang sama. (lihat berita: Klarifikasi Dari Bank Dunia Jakarta)
Secara keseluruhan, biaya operasionil di BRR hanya sekitar 3 hingga 4 persen dari total dana pada setiap tahun anggaran.
Dalam berita yang sama, Enrique Blanco Armas – Kepala Tim Ekonomi Bank Dunia mengkuatirkan RR Nias menjadi sia-sia, karena katanya: “Dari seluruh dana yang ada hanya dua persen dianggarkan untuk pemeliharaanâ€. Barangkali kenyataan ini yang mendorong Pak Willy meminta agar pemerintah pusat meningkatkan DAU/DAK untuk kedua Kabupaten di Nias (Berita Tempo tgl 10 September 2007). Kekuatiran ini sangat berasalan. Bukankah BRR ikut bertanggung jawab terhadap “masa depan†aset-aset BRR itu kelak ? Selain permintaan Pak Willy kepada Pemerintah, adakah strategi khusus dari BRR untuk mengantisipasi hal ini ?
Sekali lagi berita ini pun keliru. Bank Dunia menganalisis belanja publik Pemerintah Kabupaten Nias dan Nias Selatan. Kritik Bank Dunia adalah bahwa terlalu banyak dana untuk anggaran rutin pemerintah daerah, terutama perjalanan dinas.
Kritik Bank Dunia ini penting untuk dicermati. Menurut hemat kami, kritikan yang disampaikan adalah pelajaran penting mengenai hal yang juga sangat penting, yaitu terkait kesiapan pemerintah daerah dan masyarakat Nias melanjutkan proses pembangunan pasca masa rekonstruksi.
BRR telah memfasilitasi pertemuan antara Pemprov Sumut dan Pemkab Nias/Nias Selatan dan BRR melalui sekretariat bersama, untuk membicarakan berbagai hal terkait operasi pemeliharaan aset-aset yang telah dibangun. Selain itu, dalam berbagai kesempatan, kami meminta pemerintah pusat memberikan perhatian yang lebih besar terhadap Nias.
Waktu Kerja BRR di Nias kurang lebih satu setengah tahun lagi. Bagaimana rencana program kerja BRR Nias demi memaksimalkan pelaksanaan misi dalam waktu yang relatif pendek itu ? Bagaimana rencana dan program kerja BRR untuk memotivasi seluruh lapisan masyarakat sehingga berpartisipasi penuh ?
Secara efektif, program BRR sebenarnya hanya tinggal 1 tahun angaran lagi yaitu pada tahun 2008. Apa yang kami lakukan sekarang adalah fokus pada pengembangan infrastruktur ekonomi, seperti transportasi.
BRR hanya akan mengerjakan sektor-sektor yang strategis. Dana dan kemampuan BRR terbatas dan tidak mungkin semua masalah dapat diatasi sendiri oleh BRR. Pemerintah daerah perlu berperan serta yaitu dengan cara mengarahkan sumber daya yang ada pada bidang-bidang yang belum ditangani oleh BRR.
(Bersambung)