Tiga Macam Pertobatan
Oleh PASTOR PAULUS TRI PRASETIJO, Pr.
Sejak waktu itulah Yesus memberitakan: Bertobatlah sebab Kerajaan Sorga sudah dekat! (Matius 4 : 17)
SUDAH sekian lama negeri kita didera oleh bermacam ragam penderitaan. Segala cara sudah diupayakan namun belum menampakkan hasil yang melegakan. Bahkan terasa di sana-sini keadaan masyarakat kita bukan semakin baik malahan semakin parah. Persoalan yang satu belum selesai disusul dengan persoalan yang lain.
Memang tak dapat dipungkiri bahwa akar penyebabnya telah dimulai sejak lama, karena itu tak mudah menanggulanginya dalam waktu singkat. Akan tetapi, kita sangat mengharapkan kesungguhan sikap setiap orang di negeri kita dalam mengupayakan terjadinya penyelesaian semua persoalan itu. Ada sejumlah orang yang ikut berusaha dalam mengatasi persoalan dengan melancarkan gerakan tobat nasional. Pendekatan ini sah-sah saja, tetapi tentang efektivitasnya kita harus melihat lebih jauh dan bagaimana mutu pertobatan itu. Dalam Injil, kita jumpai ada tiga macam pertobatan sebagai berikut:
Pertama, pertobatan tampang, termasuk dalam kelompok ini adalah para orang Farisi dan ahli Taurat yang sering dikecam oleh Tuhan Yesus. Mereka semua disebut sebagai orang munafik atau orang yang berpura-pura dalam melakukan tindakan. Dalam tradisi Yahudi, berpuasa dapat dijadikan sarana pertobatan. Tuhan Yesus mengecam mereka karena tindakan berpuasa mereka adalah berpuasa secara lahiriah.
Mereka berpuasa dengan cara mengubah air mukanya tampak muram, supaya dapat dilihat oleh orang-orang lain, bahwa mereka sedang berpuasa (Matius 6 : 16). Dalam pengamatan Tuhan Yesus, semua tindakan kesalehan mereka yang lain adalah juga supaya dilihat oleh manusia (Matius 23 : 5 a). Akan tetapi, apa yang terlihat baik tak sesuai dengan keseluruhan hidup mereka, sampai Tuhan Yesus melancarkan serangkaian kecaman terhadap sikap keberagamaan mereka (Matius 23 : 1-36). Beberapa di antaranya: Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab cawan dan pinggan kamu bersihkan sebelah luarnya, tetapi sebelah dalamnya penuh dengan rampasan dan kerakusan. Kamu sama seperti kuburan yang dilabur putih, yang sebelah luarnya memang bersih tampaknya, tetapi yang sebelah dalamnya penuh dengan tulang belulang dan pelbagai jenis kotoran (Matius 23 : 25, 27). Nyata, bahwa pertobatan tampang sebenarnya bukan pertobatan yang sesungguhnya karena pertobatan itu hanya lahiriah dan sekadar penampilan di hadapan manusia.
Kedua, pertobatan simbolik. Pada suatu ketika, Tuhan Yesus diundang untuk makan di rumah seorang Farisi (Lukas 7 : 36-50). Saat para hadirin sedang makan datanglah seorang perempuan yang berdosa besar. Dosanya diketahui masyarakat luas sehingga menarik perhatian para hadirin untuk mencermatinya. Ternyata perempuan yang satu ini membasahi kedua kaki Tuhan Yesus dengan air matanya yang mengalir dengan deras. Ia mencium dan menyeka kedua kaki-Nya dengan rambut panjangnya serta membalur dengan minyak wangi berharga mahal yang ia bawa dari rumah.
Sebuah tindakan yang demonstratif bukan? Kenyataan itu mengusik pikiran tuan rumah, namun Tuhan Yesus tidak berkeberatan atas tindakan perempuan tersebut. Tentu bukan karena Ia gila hormat, melainkan karena tindakan perempuan itu keluar dari hati yang tulus dan merupakan ungkapan simbolik sebagai bentuk penyesalan atas dosa besar yang pernah dilakukannya. Oleh karena itu, Tuhan Yesus berkata: “Dosamu telah diampuni, imanmu telah menyelamatkan engkau, pergilah dengan selamat.” Jadi, pertobatan simbolik ini memang dinilai sebagai pertobatan yang mengungkapkan penyesalan yang dalam. Ia melihat isi hati perempuan itu.
Ketiga, pertobatan dengan aksi konkret sebagaimana dilakukan oleh Zakheus, kepala pemungut cukai (Lukas 19 : 1-10). Ia bertugas untuk memungut cukai dari warga masyarakat Yahudi dan menyerahkan hasil pungutannya kepada pemerintah jajahan Romawi sesuai dengan ketentuan. Ia memang tidak mendapat bayaran untuk tugas itu, namun ia diperbolehkan memungut lagi di luar jumlah yang wajib disetorkan sehingga berakibat amat memberatkan masyarakat. Oleh karena itu, ia juga tergolong orang yang besar dosanya dan dibenci oleh warga masyarakat pada umumnya.
Alkisah, Zakheus yang postur tubuhnya pendek berniat untuk melihat siapa sebenarnya Tuhan Yesus itu. Lalu ia naik ke sebuah pohon ara, agar dengan mudah melihat-Nya. Ternyata Tuhan Yesus justru menyapa dia dan berseru, agar ia lekas turun dari pohon karena Tuhan Yesus hendak mampir di rumahnya. Zakheus merasa mendapat kehormatan yang besar, sebaliknya orang-orang lain bersungut-sungut karena Tuhan Yesus mau menumpang di rumah orang berdosa itu.
Entah apa yang dibicarakan-Nya dengan Zakheus dalam perjumpaan itu, yang jelas Zakheus menyatakan tekadnya demikian: “Tuhan, setengah dari milikku akan kuberikan kepada orang miskin dan sekiranya ada sesuatu yang kuperas dari seseorang akan kukembalikan empat kali lipat.”
Pernyataan Zakheus ini tentu mengejutkan keluarganya, tetapi Tuhan Yesus menyambutnya dengan kata-kata: “Hari ini telah terjadi keselamatan kepada rumah ini karena orang ini pun anak Abraham. Sebab Anak Manusia datang untuk mencari dan menyelamatkan yang hilang.”
Kita yakin, bahwa tindakan Zakheus ini bukan tindakan untuk mencari muka, juga bukan tindakan “pencucian uang”, melainkan buah dari pertobatannya. Sebagaimana pertobatan simbolik, pertobatan dengan aksi konkret adalah juga pertobatan sejati yang mengungkapkan penyesalan dengan berbuat sesuatu bagi orang yang telah dirugikan akibat perbuatannya pada masa yang lalu.
Meskipun pertobatan simbolik dan pertobatan aksi konkret sama-sama pertobatan sejati, alangkah baiknya jika pertobatan simbolik itu dilanjutkan dengan perbuatan konkret, terlebih pula jika dosa yang dilakukan itu merugikan orang lain. Perbaikan dan perubahan dalam kehidupan kita tidak akan terjadi jika kita berdiam diri saja, atau mengeluh, menyalahkan orang lain, menyalahkan alam, dan menyalahkan Tuhan.
Semua sikap itu hanya mengalihkan kewajiban dan tanggung jawab kita yang sebenarnya, mengingat kita semua yang telah membuat kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara menjadi karut-marut. Segeralah bertindak, akuilah dosa kita yang sekecil apa pun menurut perkiraan kita, dan bertobatlah kepada Tuhan karena Kerajaan Sorga sudah dekat. Amin.***
*Penulis, pastor Gereja Katolik, tinggal di Bandung.
Sumber: Pikiran Rakyat, 7 Juli 2007