ICW: Bantahan BRR Hanya Kosmetika “Public Relations”
[JAKARTA] Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai bantahan yang disampaikan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) atas tudingan adanya sejumlah penyimpangan dalam proyek BRR di Aceh dan Nias, hanya berupa kosmetika public relations (PR), terutama dalam penyimpangan proyek pengadaan buku.
“Sebab bantahan itu tidak menjawab persoalan dan pertanyaan-pertanyaan yang muncul di masyarakat. Dua poin penting dalam temuan kami yang seharusnya dijawab adalah prosedur pengadaan buku yang salah karena tidak dilakukan tender terbuka dan adanya mark up (penggelembungan harga) buku,” ujar peneliti ICW, Firdaus Ilyas, kepada Pembaruan di Jakarta, Selasa (29/8).
Dia menanggapi bantahan BRR atas tudingan ICW yang disampaikan Pelaksana Tugas Sekretaris BRR, Teuku Kamaruzzaman dalam jumpa pers di Jakarta, Senin (28/8).
Kamaruzzaman mengatakan, tudingan BRR membelanjakan hingga Rp 3,2 miliar untuk pencetakan buku tidak tepat. Sebab berdasarkan penelusuran BRR, dana sebesar itu tidak hanya untuk pencetakan buku tetapi penerbitan brosur dan leaflet, pencetakan laporan, materi presentasi, penyelenggaraan sejumlah acara dengan negara-negara donor, dan penyediaan peralatan komputer untuk penyusunan buku.
Namun BRR mengakui karena waktu yang mendesak, ada beberapa item pekerjaan yang mengalami kekeliruan administrasi dan prosedur. “Ada tendensi menggeneralisasi berbagai kategori kegiatan publikasi, even, penyediaan prasarana kerja dan penunjangnya ini dalam satu terminologi yakni kegiatan pencetakan buku. Sehingga mengaburkan kebenaran informasinya,” ujar Kamaruzzaman.
Menurut Firdaus, bantahan itu tidak menjawab tudingan ICW. BRR tidak bisa menjelaskan mengapa buku berjudul “Meletakkan Pondasi Membangun Harapan” yang dicetak PT Wahana Multiguna Mandiri (PT WMM) sebanyak 500 eksemplar dengan nilai kontrak Rp 264 juta atau setara Rp 528.000 per buku.
Kemudian PT WMM juga mencetak buku “Membangun Tanah Harapan” dengan nilai kontrak Rp 376,2 juta atau sama dengan Rp 627.000/buku. “Padahal buku seperti itu ongkos cetak hanya Rp 120.000. Jadi terlalu mahal jika harganya di atas Rp 500 ribu, bahkan hingga Rp 600 ribu,” ujar Firdaus. Dia mencontohkan untuk spesifikasi buku yang sama yang dicetak untuk BRR ukuran 20 x 24,5 cm, kertas HVS 85 gr, 300 halaman, full color, cover Ivory 230 gr ongkos cetak normalnya hanya Rp 120.000/buku untuk oplah 500 buku. Jika oplah cetak menjadi 1000 buku, maka harga cetak turun menjadi Rp 70.000/buku.
Lebih Besar
Dengan kalkulasi harga standar percetakan untuk 500 buku yaitu Rp 120.000, maka dari lima paket pekerjaan pencetakan buku terjadi selisih harga sebesar Rp 1,01 miliar. Kerugian keuangan negara akan lebih besar lagi mengingat setidaknya ada 15 kontrak yang berkaitan dengan pencetakan buku di BRR.
“Kalau dikatakan pekerjaan itu untuk brosur dan leaflet juga, memangnya berapa nilai brosur dan leaflet. Sama sekali tidak ada penjelasan ke masyarakat,” kata Firdaus.
Lucunya, tambah dia, BRR beralasan, dana itu bukan untuk pencetakan buku saja, melainkan untuk pengadaan komputer guna penyusunan buku setahun tsunami.”Terlihat sekali mereka ingin berkilah,” ujar dia.
Sebab, kontrak untuk pengadaan komputer antara BRR dan CV Fortuna Basindo dilakukan 23 Juni 2006 melalui Surat Perintah Kerja Nomor SPK-97/PPK-JKT/ VI/2006 dengan nilai kontrak Rp 289,9 juta.
Padahal, kata Firdaus, pekerjaan pencetakan buku setahun tsunami sudah selesai awal 2006. “Pengadaan komputer jelas mengada-ada. Sebab untuk apa pengadaan komputer guna penyusunan buku sementara bukunya sudah selesai dikerjakan empat bulan sebelumnya,” kata dia.
Lagipula, bukankah pengadaan peralatan merupakan tanggung percetakan. Indikasi seperti ini juga terjadi untuk PT Theta Ekatama Usaha, dalam pekerjaan Belanja barang non operasional pembuatan buku satu tahun tsuna- mi tanggal 9 Januari 2006 senilai Rp 48,95 juta. [Y-4]
Sumber: www.suarapembaruan.com, Last modified: 28/8/06