Sumut/Medan Perlu Antisipasi Gempa Susulan Dengan CBDM Dan SMZ

Monday, May 29, 2006
By susuwongi

Medan (SIB)

Kalangan pakar geologi di Medan menilai, peristiwa gempa di Jogyakarta yang terjadi Sabtu pagi (27/5) kemarin, tak terlepas dari rentetan indikasi akan terjadinya gempa – gempa susulan di sejumlah daerah rawan gempa di Indonesia, termasuk di kawasan Medan/Sumut.

Ketua Dewan Pakar Ikatan Ahli Geologi Indonesia (DP IAGI) Sumatera bagian Utara (Sumbagut) Ir Jonathan Ikuten Tarigan menyatakan, ada empat indikator geologis yang menunjukkan sejumlah daerah di Indonesia rawan gempa dan sewaktu-waktu terancam akan diguncang dengan skala kekuatan menengah hingga besar.

“Peristiwa gempa di Jogya kemarin (Sabtu pagi 27 Mei pukul 05.55 WIB), sesungguhnya menunjukkan bahwa sejumlah daerah di Indonesia termasuk Sumut/Medan sendiri, sedang tak aman dari gangguan atau ancaman gempa. Jadi, untuk antisipasinya sangat perlu dilakukan upaya pencegahan risiko gempa berbasis masyarakat (Community Base Disaster Mitigation–CBDM) dan pemetaan kegempaan mikro (Seismic Micro Zonation–SMZ) secara dini oleh berbagai pihak, khususnya oleh pemerintah,” ungkap Jonathan Tarigan kepada SIB, Sabtu (27/5).

Dia mengutarakan hal itu ketika menghubungi SIB untuk memaparkan prediksi geologis berdasarkan data-data ilmiah akurat terhadap kondisi dan potensi Sumut/Medan akan kemungkinan terjadinya gempa susulan, menyusul terjadinya peristiwa gempa di Jogyakarta yang mengakibatkan ribuan korban tewas dan puluhan ribu cedera. Selain peristiwa gempa Jogya kemarin yang terjadi akibat potensi ancaman di jalur lintasan Sunda dan Selatan Jawa, indikator bahwa Medan/Sumut juga rawan bahkan tak aman dari gempa adalah terjadinya gempa-gempa susulan walaupun dalam skala kecil (di bawah 6 atau 5 Richter) di Pulau Nias selama beberapa bulan ini.

Secara geologis, ujar dia, ada 4 (empat) indikator ancaman gempa-gempa susulan di sejumlah daerah atau kawasan di Indonesia, yaitu: (1) Jalur Nias-Mentawai yang merupakan lintasan berpotensi gempa-gempa besar 8 Richter hingga 9 Richter, sebagaimana meluluhlantakkan Nias pada 28 Maret 2005 lalu dan kemudian gempa di Solok. (2) Jalur Patahan Sumatera (khususnya pada lintasan Renun (Dairi), Batang Toru dan Angkola (Tapsel) dengan potensi kekuatan 6 Richter hingga 7,5 Richter. (3) Jalur Selat Melaka dengan potensi 5 Richter hingga 6 Richter, dan (4) Jalur Selatan Jawa yang telah mengguncang Jogyakarta (daerah Bantul dan Klaten) kemarin.

Gempa Jogya kemarin berkekuatan 5,9 Richter dengan kedalaman pusat gempa 33 kilometer di bawah permukaan laut, dikategorikan persis dengan peristiwa gempa di kota Agadir (negeri Maroko) pada 1960 silam. Kekuatannya hampir sama, 5,7 Richter dengan korban 12.000 tewas dan 60 persen bangunan runtuh walau kedalaman pusat gempanya hanya separuh (15 kilometer) dari gempa Jogya. Bandingan lainnya adalah peristiwa gempa serupa di kota Mexico City di negeri Mexico dengan kedalaman pusat gempa 400 km pada 1989 lalu.

“Ingat, Medan-Nias itu mencapai 350 kilometer. Tapi karena posisinya persis pada Jalur Patahan Sumatera atau Jalur Himalaya, potensinya justru lebih mengerikan karena bisa melebihi 9 Richter dan kawasan ini akan langsung remuk bila gempa terjadi pada skala dangkal. Jadi, antisipasi fisis dan psikis berupa CBDM dan SMZ itu mutlak diperlukan. Jangan nanti seperti kasus gempa kota Pam di negeri Iran, 2000 tahun memang tak dilanda gempa, tapi pada 26 Desember 2003 lalu 40.000-an tewas dan 70 persen bangunan runtuh, padahal gempanya hanya 6 Richter,” papar Jonathan mewanti-wanti.

Hal senada juga ditegaskan pakar geologi Ir Raya Timbul Manurung bahwa peristiwa gempa di sejumlah daerah di Pulau Jawa termasuk di Jogya telah diprediksi sejak jauh-jauh hari berdasarkan data-data dan aktivitas geologis. Sehingga, semua pihak hendaknya bersikap ‘welcome’ terhadap upaya-upaya antisipasi dan mitigasi untuk pencegahan maupun tindakan penyelamatan.

Di satu pihak, katanya, maraknya bencana alam belakangan ini juga merupakan peringatan agar manusia jangan terlalu mudah abai atau menganggap sepele hal-hal yang bersifat prediksi ilmiah, walaupun lebih dari itu semua peristiwa merupakan kuasa Tuhan. Bahwa prediksi ilmiah ditegaskan bukanlah merupakan pernyataan untuk menakut-nakuti orang banyak, melainkan semata-mata bagian dari hikmat dan talenta manusia yang dianugerahkan Tuhan antara lain berupa pengetahuan dan kemampuan mengolah data-data alam.

“Upaya mitigasi itu adalah CBDM bagi masyarakat untuk melatih diri soal sistem dan kendali penyelamatan dan antisipasinya adalah melakukan pemetaan kawasan rawan gempa terhadap bangunan-bangunan agar terhindar dari risiko yang lebih besar bila terjadi gempa. Semua itu penting karena kita telah ditakdirkan hidup dan tinggal di tempat yang kebetulan rawan gempa. Soal kapan terjadinya, itu urusan Tuhan. Tapi soal apa yang perlu disiapkan, itu mutlak upaya kita,” kata Jonathan sembari menambahkan pihak pemerintah mulai dari tingkat pusat hingga daerah selama ini cenderung kurang respon dan tak peduli pada upaya mitigasi.

Padahal, secara geologis, karakteristik Kota Medan sama dengan kota Mexico City. Posisi atau kondisinya sama-sama berada di atas tanah yang rawan likuafaksi. Mexico City berada di atas lapisan tanah liat sekitar danau, dan Medan di sekitar puluhan sungai besar dan tepi laut. Hal ini telah dibuktikan dengan terjadinya pergeseran posisi satu bangunan plaza besar di tengah kota Medan akibat likuafaksi baru-baru ini. (A14/B10/u)

Sumber: Harian SIB Online, Minggu 28 Mei 2006

Leave a Reply

Kalender Berita

May 2006
M T W T F S S
1234567
891011121314
15161718192021
22232425262728
293031