Lho, Bisa Berbahasa Daerah kok Dianggap Buta Aksara?
MEDAN, KOMPAS.com – Masyarakat yang masih menggunakan bahasa daerah masih dianggap pemerintah masuk dalam kategori buta aksara. Pengertian tersebut dikritik, karena mengabaikan kekayaan bahasa daerah yang selama ini turut memperkuat bahasa Indonesia.
Kepala Seksi Pemberdayaan Masyarakat Dinas Pendidikan Sumut Saut Aritonang, Rabu (21/10), mengatakan, pengertian tersebut sempat memicu polemik di sejumlah daerah.
â€Namun kami berpendapat, kompetensi masyarakat tidak cukup hanya dengan menggunakan bahasa daerah. Mereka harus menguasai bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional,†ujarnya.
Saut menjelaskan, pengertian buta aksara, sesuai ketetapan Departemen Pendidikan Nasional, mereka yang tidak bisa mendengarkan, berbicara, membaca, menulis, dan berhitung. Mereka yang dinyatakan bebas buta aksara adalah mereka yang mampu membaca lancar 100 sampai 200 kata dalam kalimat sederhana.
Adapun ngka buta aksara tertinggi di Sumut saat ini terdapat di Kabupaten Nias Selatan, yaitu sebanyak 11.210 orang, disusul Kabupaten Nias 9.997 orang, dan Kabupaten Deli Serdang 9.515 orang.
Menangapi hal tersebut, Kepala Balai Bahasa Medan Amrin Saragih mengkritik pengertian buta aksara oleh Depdiknas. Pengertian tersebut mengabaikan kekayaan bahasa daerah yang selama ini turut memperkuat bahasa Indonesia.
â€Pengertian ini juga akan membuat orang malas mempelajari bahasa daerah,†katanya.
Dari sudut pandang linguistik, lanjut Amrin, pengertian buta aksara mengalami kesalahan. Mereka yang mengerti baca tulis bahasa daerah tidak bisa dikatakan sebagai buta aksara. Mereka, tuturnya, barangkali lebih pandai daripada orang yang berbahasa Indonesia. Hanya saja, mereka belum mengerti penggunaan bahasa Indonesia dengan baik dan benar.
â€Tidak adil jika orang Nias yang memahami simbol tulisan dan lisan bahasa Nias disebut buta aksara,†katanya.
Pembatasan pengertian buta aksara hanya untuk bahasa Indonesia perlu diluruskan. Dia mengingatkan, bahasa Indonesia sendiri berasal dari bahasa daerah. Menurut dia, tidak perlu ada pembatasan istilah buta aksara oleh Depdiknas. (Kompas, 22 Oktober 2009)
pengetahuan akan bahasa daerah adalah kearifan lokal yang harus dilestarikan karena merupakan jati diri dari pada suku bangsa itu sendiri dan hal ini merupakan bagian dari kecerdasan masyarakat. buta aksara adalah tugas kita semua untuk mencerdaskan anak bangsa. untuk itu pendidikan formal hendaknya jangan di jadikan input finansial akan tetapi menjadi output mencerdaskan anak bangsa untuk membangun.(Staf Pengajar di Kota Tomohon Sulawesi Utara )
Boleh – boleh aja Depdiknas memberi Defenisi dari Buta Aksara. Tapi Kalo menurut Saya “Aksara” lebih tepat jika punya arti “Huruf” atau “Angka”.
Jika dikatakan “Buta Aksara” berarti tidak atau belum mengenal Huruf atau Angka, Jika huruf atau angka tidak / belum bisa dikenal oleh seseorang, maka ybs otomatis tidak bisa membaca atau menghitung.
Jika defenisi ini yang digunakan maka tidak bertentangan dengan kemampuan seseorang menguasai bahasa daerahnya atau bahasa daerah lainnya.
Ada beberapa orang yang mampu berbahasa indonesia, mampu berbahasa daerah namun tidak bisa membaca, menulis atau menghitung. Apakah ini juga buta aksara? Tentu tidak tuan……………..?????